Sunday, August 31, 2008

Reunian bareng Monyet

Selain cerita manis dan menggemaskan yang menemani saya selama mencicipi Arjuna Welirang kemarin ada satu cerita yang rasanya sayang untuk saya lewatkan begitu saja.
Saya menemukan monyet itu lagi di sana. Monyet yang sempat menjalin dan membagi kisah hidupnya selama di Jakarta dua tahun lalu. Pertemanan erat yang diwarnai dengan suka dan duka yang selalu terkenang dalam tiap memori hidup saya, bahwa saya pernah memiliki sahabat seekor monyet sepertinya.


Jujur, meskipun pada awalnya ada rasa agak segan bertemu lagi dengan monyet satu ini, nyatanya saya menikmati sekali bersanding dengannya, berbagi minuman dan makanan, saling kejar-kejaran dan juga melakukan kegilaan lain selama perjalanan. Namun yang tak pernah ketinggal adalah kebiasaan kami untuk selalu saling tukar cerita. Kegiatan yang dulu sempat kami lakukan bertiga sebelum Linda pergi menggapai cintanya di pulau seberang. I wish Linda knew how we missed her so much…
Monyet itu namanya Ella. Perempuan yang saya temui di mana ya pastinya? Lupa. Seingat saya pertama ka
li bertemu saya sempat jutek sekali dengannya. Saat itu di markas saptapala jam 11 malam saya dikenalin dengannya yang sedang nongkrong di sana. Niat saya cuma ingin mengantarkan teman yang sibuk dengan acara pinjam meminjam peralatan naik gunung dimana saat itu saya belum tertarik sama sekali. Ntah di mana markas itu berada pastinya. Yang jelas naluri perempuan saya mengatakan ga bagus saja seorang perempuan masih berada di markas yang anggotanya banyak sekali cowonya (mending di markas yang anggotanya cuma satu, cowo pula! Jadi kalo kenapa-kenapa jelas…hahahahaha)

Seiring sering ketemuan di kos -yang kala itu saya masih berbagi kamar dengan Melly Ginting di Kalibata- akhirnya saya sering bertemu dengannya dan secara tidak langsung berbagi cerita dengan Linda juga. Kami berempat saya, Melly, Linda dan Ella sering bersama-sama. Hingga akhirnya Melly menghilang entah ke mana dan tinggal kami bertiga yang masih sering ketemuan. Terkadang ketemuan di PGC (secara jarak kami jauh, saya di cempaka putih, linda di pondok gede dan ella di Ciganjur), suka nongkrong di kamar kos saya sambil curha
t-curhatan sampai lupa waktu, ngga terlalu suka kulineran kecuali ada bahan yang pengen di”diskusikan” bareng sehingga kami kudu ketemuan di satu foodcourt tertentu atau nongkrongin rumahnya Linda dan nunggu emaknya masakin buat kita. Namun diantara kami bertiga yang memiliki banyak kesamaan bacot dan cerita itu, mungkin aku dan Ella yang memilik beberapa kemiripan :

1. Sama-sama suka ngebut kalau naik motor (tapi ngebutnya monyet satu ini lebih gila dari saya)
2. Sama-sama suka emosi (meskipun ella lebih suka meredamnya dan saya lebih senang mengekspresikannya)
3. Sama-sama ga bisa
cuek sama orang bawel. Terutama sama perempuan-perempuan bawel yang kadar bawelnya kurang berkualitas.
4. Sama-sama…. Ah yang ini disensor aja deh (Kalau boleh kembali saya akan memilih untuk menghapus kisah ini diantara pertemanan saya, Ella dan Linda)

Apa yang membedakan hanyalah dia lebih tinggi dari saya selain kulit saya yang jauh lebih hitam juga darinya, dari Linda juga sih. Ah yang jelas, saya paling jelek. Hahahaha.. Ntah kenapa mereka mau bergaul sama saya … Dan satu lagi, Ella seorang perempuan pemanjat nan handal, saya? Lebih memilih suka lelaki yang pinter manjat aja deh. Hehehe…

Back to our story in AW. Selama pendakian kemarin saya dan Ella tanpa disadari ternyata sering jalan bersamaan, meskipun ga selalu. Namun tiap kali jalan bersama ada saja yang dibahas. Tentang kegiatannya sekarang yang dah jadi seorang istrilah, tentang
keinginannya yang cepet pengen hamil lah, tentang Linda yang berada jauh dari jangkauan kami, (padahal kami ingin sekali mendaki bersama bertiga menuju salah satu puncak tinggi di bumi ini). Jadi janji di bawah papan panjat pasfes yang belum tercapai, ngecamp di Mandalawangi bersama dengan peserta cewe semua. No guy at all deh.

Tapi sepertinya AW kemarin berhasil memenuhi janji itu meskipun cuma berdua saja. Saya baru sadar selama summit, Ella beriringan terus bersama saya dan berhasil menapakkan kaki di atas Arjuna bersamaan.

Yang mencengangkan adalah tingkah polahnya ketika kami sama-sama beriringan lagi menuju tretes dari pon
dok welirang dimana saat saya harus menahan kaki untuk benar-benar berhati-hati menuruni tanah makadam dan berdebu itu.

“San, kek La aja turunnya, liat nih!” Sruuuutttt…. Saya melongo melihatnya turun. Jongkok, dan langsung meluncur masih dengan posisi jongkok atau lebih tepatnya duduk dan membiarkan celananya jadi alas kemerusutannya. Saya tertawa ngakak melihatnya meluncur tanpa dosa. Bener-bener kelakuan monyet nih perempuan.
“La, aku coba deh.” Masih dengan ketawa ngakak yang tertahan itu, saya melempar trekking pole untuk menuju Ella yang berada beberapa meter di bawah saya. Dan sruuuuuttttt. Ella menahan saya. Sesudahnya kami tertawa. “Lw gila, Nyet!” Kata saya. “Dan gw
lebih gila lagi nurutin Lw!” saya menambahi.
Wakakakakakak…. Untung celana ngga jebol!!!
Turunan yang kami lewati memang terjal dan melelahkan serta membuat kami menahan napas beberapa kali untuk berjalan lagi. Kalau dihitung mungkin lima kali lebih saya dan Ella terjatuh dengan saling mentertawakan, sumpah tanpa tangis. Karena lucu sekali kepeleset di situ. Itu belum termasuk rekor saya jatuh ketika beriringan dengan Pak Lurah yang ada di belakang kami. Satu-satunya kejadian jatuh yang menyakitkan adalah ketika pantat kiri saya kudu mencium batu yang tumpul dan agak lacip.
“Gw tadi mau ngetawain lw san, secara lw ngetawain gw mulu kan. Tapi sesudah ngeliat batunya lancip gw ga tega. Hahahahaha….” Katanya sambil menolong saya meluruskan kaki yang uratnya sempat ketarik itu.
Dasarrrrr, Monyet! Seneng banget dia liat temannya ketusuk dari bawah (hahahaha)

Namun, saya mencatat Ella sekarang lebih bersahaja meskipun masih demen sama yang namanya monyet - karenanya dia dipanggil Nguk-nguk (halah…) ngga bawel lagi kek dulu (kehilangan tandem bawel deh), tapi yang masih tetep di dirinya adalah kemampuannya mengalahkan bacotnya kisut yang hobi banget ngecengin orang. Mungkin susuknya Cuma berlaku untuk melawan serangan Kisut kali ya… Ella juga sekarang sudah ngga petakilan seperti dulu, sudah ngga manja, sudah ngga jadi miss Ring-Ring yang selalu telpon sana sini sampai acara kelar. Ella yang sekarang sudah banyak diam (mungkin dia sudah diikutkan kursus kepribadian di Ciganjur sebelum nikah) dan menurut gossip sih, dia dah pandai memasak buat suaminya meskipun ketika di AW kemarin dia sempat memasak dan akhirnya sukses membuat Wondo melipir di malam hari karena mules. Tapi bukan itu saja. Meskipun dah jago masak (menurut pengakuannya sendiri) Sang suami masih sering bertanya, “ini masakan apa, La?” (wakakakakak)

Mungkin terlalu dini membuat tulisan ini tentangnya, tapi berhasil muncak ke satu gunung tertentu bersama seekor monkeychi merupakan hal yang di luar jangkauan perkiraan saya, bahwa gunung ternyata masih bisa mempertemukan kita lagi dan membuat saya percaya bahwa keajaiban itu selalu ada jika kita yakin.

Secuil mimpi yang masih tersimpan sempat kuingatkan padanya, “La, Ingat Kita masih punya janji ke Pangrango barengan Linda.” Haiyayayayaya…


Thursday, August 28, 2008

Gerimis Malam di Balik Jendela


Pada gerimis malam yang menimpahi jendela kamar yang tak seberapa luas ini
Kutitipkan salam rinduku pada mimpi yang sempat terputus itu.

Mimpi ketika kuingin sebuah hening menemani derai riang kita di malam berirama ilalang serta savana yang kutinggalkan dan terhembus hingga menembus keempat beton penyekat yang mengkotakkan kita di dalamnya.

Tentang keinginanku mendengarmu bercerita betapa kamu mengagumi Piyu dalam Harmoninya hingga tuntas. Tentang betapa kau ingin menuntaskan langkah kakimu ke belahan-belahan tinggi itu. Atau cerita-cerita lugu yang akan membuatku lupa kisah-kisah sedih yang lalu.

Kemudian ketika jedah itu tiba, aku akan memecahkankannya dengan meringkas sebuah buku yang baru katam kubaca. Ataupun menceritakan tentang galaksi-galaksi maha luas yang membentangi awang-awang itu. Jangan bertanya apakah itu sungguh atau hanya mungkin, karena aku hanya menyadurnya dari bacaan yang kumakan tiap pagi. Namun aku yakin, apapun yang kudongengkan, kau pasti tak kan lelah menyimakku berceloteh seperti aku yang tak sanggup untuk menghentikanmu menikmati kopi hangat dan semburan asap dari balik cerutumu.

Menikmatimu sama halnya seperti menikmati gerimis malam yang menimpahi jendela kamar yang tak seberapa luas ini.


Menjelang puasa di kotaku...


Surabaya makin panas menjelang Ramadhan sepertinya sudah biasa.

Ketika sahur tiba, kami seakan sudah berteman dengan keringat hasil semburan udara yang makin ngelunjak di bulan ini.


Siang menyambut dengan terik. Sepertinya sudah tak sempat untuk mengeluh meratapi matahari terang yang kian menusuk pori-pori.


Ketika berbuka, es degan dan es kolak pisang rasanya sudah cukup menjadi ajang balas dendam sepanjang siang menahan haus dan dahaga.


***
Sekedar ingin memberitahumu saja bahwa kotaku makin gerah, panas dan berkeringat.
Dan sekaligus menyisipkan pesan satu saat aku juga berharap bisa menikmati subuh berselimut dingin di kotamu itu.

Kamu sebagai imamnya dan aku pengikutmu..


Wednesday, August 27, 2008

Roti Isi Mami

Rogut, saya menyebut cemilan yang berisi wortel, kentang bercampur tepung maizena berlumur seledri serta tumisan bawang. Rogut biasanya disajikan untuk isian risoles dengan tambahan daging didalamnya. Rogut juga bisa diisikan pada lembaran-lembaran kulit roti ataupun kabin-kabin kecil lalu dicampur telur dan digoreng. Disajikan hangat bersama cabe rawit, well… it’s a great morning appetizer.

Setidaknya untuk mengisi perut-perut kosong penghuni kelas UPW (Usaha Perjalanan Wisata) kala itu. Tiap pagi pelanggan-pelanggan setia dari kelas yang dicap sebagai kelas paling ugal-ugalan sepanjang sejarah di sekolah kejuruan paling favorit di kota panas itu sudah menunggu di depan kelas menunggu si penjual roti berisi rogut tersebut menenteng jajanan hangat tersebut sebelum berebut memilih roti yang ukurannya paling besar untuk mereka makan. Jajanan hangat itu sengaja dibuat kala Subuh menjelang, lalu menempati keranjang sepeda ontel berwarna merah yang sekarang ntah sudah diontel siapa. Lalu roti itu akan ditransfer dengan mikrolet berwarna kuning menuju wilayah ter-coret di Surabaya, di sudut sekolah dimana lokasinya dekat TPA yang kadang menebarkan bau parfum sampah antah berantah ketika murid-muridnya sedang asyik bercengkrama dengan buku-buku kala pelajaran sedang dimulai. Hemmm….

Namun jangan kira bau-bau itu mempengaruhi penciuman penghuni kelas tersebut. Dengan lahap mereka akan sudah terlanjur memakan roti-roti berisi rogut itu untuk dikonsumsi dipagi hari sebelum bel berdentang. Bahkan ketika pelajaran sudah dimulaipun, roti-roti tersebut masih menghuni ruangan di bawah meja masing-masing. Bagaimana kalau guru-guru yang super disiplin itu mengetahui? Well, jangan Tanya. Terkadang pak Akhir (guru bidang studi Geografi Pariwisata) itu akan menghampiri si penjual dan berkata,

“Et, aku diingahi Roti isi siji karo tahu isi.” (Et, saya disisain satu roti sama tahu isi, ya)
“Terus apa lagi, Pak?”
“Wis.”

Sayapun tersenyum saja sambil manggut-manggut melihat tubuhnya yang melengos sesudah memesan roti isi itu. Seusai pelajaran usai, Pak Akhir akan keluar membawa buku-buku sandingannya sambil menenteng sebungkus jajanan sesudah membayarnya yang kadang kembaliannya tidak ia minta. Pak Akhir hanya contoh salah satu guru yang suka cemilan itu.

Lemet, kacang goreng, tahu isi juga menjadi side appetizer untuk dikonsumsi penghuni kelas itu di pagi hari. Bukan berarti jualan itu akan langsung habis sebelum bel berbunyi. Terkadang menu-menu yang saya bawa itu masih terkulai dalam tempatnya. Bila sudah seperti itu maka saya akan menyerukan

“Weiii tuku wei… mbayar mene!” (Weiii ayo beli… bayar besok deh!)

Langsung saja mereka menyerbu dan bisa diperkirakan roti dan side menu yang masih tersisa ludes dalam beberapa menit sesudah ACC untuk memberi mereka kredit cemilan itu.

Lima tahun kemudian ketika diadakan reuni kecil-kecilan mereka tetap mempertanyakan keberadaan roti isi itu pada saya. “Kenapa ga diterusin lagi jual roti isinya, Mi?” Roti isi mami. Kata mereka.

*****

Menu :
Roti isi  Rp. 250,-
Lemet   Rp. 250,-
Tahu Isi Rp  250,-
Kacang Rp. 200,-

Wednesday, August 13, 2008

Nickname

Membuka lagi cerita lama dari apa yang dia sempilkan padaku dalam percakapan kecil kami yang membuat aku teringat akan masa-masa dahulu yang mengundang lucu dan tawa jika diingat.
“Aku ngga mau manggil kamu seperti orang lain memanggilmu.” Begitu katanya.

Dan kukisahkan beberapa nama kecil yang pernah melekat padaku. Bahwa mereka pernah memanggilku dengan sebutan Tomboy karena saking seringnya berantem sama teman-teman cowo waktu masih duduk di bangku sekolah dasar (Tapi sayangnya paling-paling aku akan menang kalau ada beberapa teman cowo lain ikutan membantu pertempuran kecil yang dipicu oleh hal sepele).

Dia sepertinya tidak suka memanggilku dengan sebutan agak tidak tau kodrat itu. Lalu kukisahkan lagi sebutan paling lama yang mengantarku hingga aku lulus SMA.

“Mami???” Dia ngakak. Pasti pikirannya aku waktu itu mirip sama mami-mami Junior yang siap-siap mengkader teman-temanku di mall-mall dan selalu ngompori mereka supaya cabut dari kelas pas jam tambahan kursus inggris, kemudian jadi pelajar yang ngantongin nomer om-om senang terus mengoperkan mereka di kala om-om itu pengen daun muda (lha!!!! kok jadi blog sesat dan mesum gini) Ya nggak kalee.. Jadi waktu masih SMP memang sudah bakat suka sama om-om (halah balik lagee….)Waktu SMP aku sudah kesengsem sama guru Geografi, Mr. R namanya. Jadi Mr. R ini memang manis banget sampai tiap pelajarannya pasti aku perhatikan dengan seksama (wajah manisnya bukan penjelasannya tentang batas-batas Negara dan lain-lain), nilai ulangan Geografiku? Jangan ditanya mengikuti hatiku lah. Kalau Mr. R ini ngga masuk sekali aja, hati serasa hampah, gundah gulanah, mata berkunang-kunang dan akhirnya akan ada roh lain yang merasukiku lalu datang dukun anti surup yang membacakan mantra sambil muntahin air di mukaku (Waduh alam banget deeeeehhhh…. Sory sory mbelok bangetttt). Back to Mr. R. Jadi Mr. R itu selalu dipanggil “Papi” sama teman-teman. Duh… cakep-cakep kok dipanggil Papi. Buat aku kala itu, panggilan Papi itu sama noraknya dengan manggil Mami.

Tapi dasar malang tak dapat ditolak. Aku yang diciptakan sebagai makhluk super ekspresive tentang perasaan yang aku punya, langsung aja main curhat asal-asalan. Menyatakan betapa aku fall in love ma Pak R ini. Hasilnya???? Seluruh murid kelas 3 pada tahu, termasuk gebetan-gebetan norak yang kala itu langsung sukses melancarkan demo tak mau mengenal aku, secara mereka sadar ternyata aku seleranya om-om (bhuahahahahahaahaha). Teman-teman cewe tanpa tedeng aling-aling langsung mengesahkan aku sebagai “Mami” karena menurut mereka Mr. R ini serasi untuk aku - melihat kedekatan dia dan aku (siwer kali mata teman-temanku itu! Serasi dari Segitiga Bermuda!!! Rek, Pak R itu selalu memanggilku ke mejanya kan Cuma karena dia mengira aku rajin mencatat tiap materi yang dia terangkan. Maklum kala itu guru memang ngga punya sekretaris khusus untuk mengingatkan akan materi mana yang sudah diberikan- which is sekarang juga tetep guru itu ngga punya sekretaris pribadi getohhhh)Dan sukseslah aku dipanggil Mami. Hingga aku berpindah di sekolah menengah Kejuruan di mana aku juga akhirnya jatuh cinta lagi sama guru Bahasa Inggrisku yang ampiuuuuunnnn kekarrr banget badannya. Cukk selama di Kejuruan jarang banget deh ketemu cowo. Adanya bule-bule aja kalau kita lagi magang di Biro-biro perjalanan or tempat wisata. Yang jelas kita lack of man deh sampai guru juga sempat mampir di hati muridnya. Wakakakaakakak….

“Hemmmm… Mami ya?“ Pikirnya menimbang-nimbang nama yang enak untuk memanggilku.

Belum puas, kubuka lagi cerita tentang nama panggilan yang sampai sekarang kadang mampir menghampiriku di depan rumah saat beberapa teman kuliah datang. “Pas kuliah teman-teman sempat memanggilku “Stress.”

Dia langsung ketawa. Jadi pernah dalam satu kesempatan ketika menengok IP Sementara semester 2 di ruang computer (Which is Aku dah lupa apa nama ruangan itu), mereka (geng-geng gila n sering mabok itu) mendapati bahwa tak ada satupun nilai B dalam mata kuliahku kalah itu. Semua A. Maka sukseslah aku mendapat IP 4 beserta embel-embel “Stress” saat mereka memanggilku. Dan anehnya lagi kenapa aku reflek langsung menoleh saat mereka memanggilku demikian? Aku benar-benar stress atau mereka yang stress? Ntahlah, I don’t give a damn. Yang jelas jika ingat nilai kuliah yang aku sesali Cuma satu, satu-satunya nilai terburuk adalah C dan itu ada pada mata pelajaran Pancasila. Benar-benar tidak bermoral!
Dia menolak.

“Ya sudah panggil aja Etik Susanty, SS. sekalian gimana? Sesuai KTP?”
“Kepanjangaannnn.”
“Aku panggil kamu mami aja, gimana?”

Aku katakan padanya, “Terserah! Aku ngga ambil pusing orang manggil aku apa. Mami, San, Say,” Sumpah pengen meledak aja tawa ini saat aku mengatakan itu padanya. Duh kek ABG aja pake janjian kudu manggil apa. Sejak itu dia memanggilku “Mam..” … sumpeh deh ngga kuat juga aku dipanggil gituan, serasa bakal jadi mam beneran aja pas bangun pagi. Dan akhirnya dia menyerah dan bilang, “Ga enak ternyata manggil kamu mam.. Aku lebih pas panggil kamu Chan aja deh. Ga papa ya sayang…”
Hahahahaha… Katanya Chan, kok ada sayangnya.

Apalah artinya panggilan. Dulu ada yang selalu memanggilku “Cinta” tapi Cuma di bibir semata dan panggilan sayang lainnya yang mereka sematkan untukku ternyata seperti itu saja. Tidak abadi.

Jadi, bukan seperti apa kamu akan memanggilku, sayang, namun jika rasa itu benar ada untuk kunikmati jangan lepaskan lagi, biar saja kudendangkan seperti alunan semilir angin yang menghempaskan peluh perih yang sudah menyayati kulit di bawah terik mentari yang tak habis-habisnya membuatku tersedu….
Aku ingin menikmati kepulihan ini lewat semilir yang kau hembuskan. Itu saja.
C.h.a.n.


Monday, August 11, 2008

To Write is to Express

“Lu nulis aja. Kalau keburu merit, ntar inspirasi Lw ilang lo.”

Saya tertegun membaca message seseorang yang ia tulis tadi. Kebetulan teman saya ini suka membaca tiap tulisan tentang perjalanan yang saya lakukan. Sesuatu yang sudah jadi kewajiban untuk saya goreskan ketika selesai melakukan perjalanan. Rasanya ada hutang untuk tidak berbagi cerita seru dalam tiap perjalanan yang saya lakukan. Biasanya sih, apa yang orang-orang di sekitar saya lakukan itu terekam kuat di otak saya dan jika menarik saya tulis, biasanya akan saya abadikan dalam beberapa sudut cerita yang membumbui cerita tersebut.

Mungkin benar jika dikatakan bahwa tulisan itu bermutu ketika kita tidak monoton menggunakan pilihan kata, disusul dengan penambahan informasi yang super lengkap dengan gaya bahasa yang asyik, bukan seperti pemberitaan formal ataupun dibikin komedi supaya pembaca bisa membedakan antara lawakan dan catatan perjalanan yang sebenarnya.
Namun saya sangat setuju jika ada yang berpendapat bahwa ruh satu karya tulis adalah dari pengalaman si penulis sendiri. Mari ambil contoh kasus tulisan bertemakan “cinta” yang sering jadi bahan obralan dalam karya tulis. Jangan berharap orang akan merasukkan kisah cinta yang luluh lantak ataupun yang mengharu biru ke dalamnya jika si penulis tidak pernah merasakan cinta yang sesungguhnya. Seorang menulis tentang kisah perselingkuhan dengan riuh rendah dan mempesona juga akan dapat dinikmati orang lain jika ia pernah merasakan angin nadi yang naik turun dalam kesedihan bercampur kebahagiaan. Saya pernah mencoba menulis tentang cerita sains fiction mengenai UFO meskipun saya memiliki banyak referensi tentang si piring terbang itu tapi saya sunguh-sungguh tidak merasakan jiwa saya ada di situ. Dan bisa ditebak, kalimat pertama yang muncul ketika saya menyerahkan karya itu ke seseorang, dia bilang kurang sedap.

Contoh lain adalah seorang teman nan jauh di sana yang selalu saya kagumi bentuk tulisannya benar-benar terasa ruhnya ketika ia sedang jatuh cinta. Namun ketika cinta membuatnya terpuruk, tulisannya makin indah. Dan saya makin senang membacanya, menikmatinya. Tapi sayang akhir-akhir ini dia tidak menulis dengan dahsyatnya. Usut punya usut ternyata dia sedang menjalani hidup yang biasa-biasa saja tanpa perasaan cinta yang mendalam yang mewarnai hari-harinya. Juga tanpa sakit hati yang membuatnya malas membahas semua cerita hidupnya.

Tapi cinta, konflik dan patah hati saja tak cukup. Diperlukan sebuah cerita yang benar-benar mendalam. Hana (bukan nama sebenarnya) dulu begitu hebat membuat pembaca menunggu karya tulis berikutnya. Termasuk saya sebagai salah satu penggemarnya. Namun ketika Hana dihadapkan pada kisah cinta yang biasa-biasa saja ternyata tulisannya jadi sangat hambar (menurut saya). Sudah tidak memacu adrenalin lagi seperti sebelumnya ketika ia sedang bergulat mendapatkan cinta yang sesungguhnya dari lawan jenisnya.

Lalu apa hubungannya dengan ucapan teman tadi? Apa saya harus menunda untuk menemukan kebahagiaan abadi berdampingan dengan seseorang? Lalu tetap berada dalam konflik dan menjalaninya supaya saya bisa menulis dengan indah?

Entahlah. Yang jelas untuk seorang susan yang hidupnya sering terdampar pada “derita” plus “bahagia” (ciee bahasanya) adalah suatu kepuasan tersendiri bisa membagi cerita dengan para pembaca. Saya juga sadar bahwa saya selalu meniupkan sedikit selentingan kecil yang bergolak dalam hati ketika saya bahagia ataupun ketika saya terluka dalam tiap catatan perjalanan yang saya persembahakan untuk teman-teman saya. Rasanya puas sekali bisa mengekspresikannya dalam warna kata yang saya tuangkan di atasnya. Seorang yang pernah mengalami patah hati akan bisa tiba-tiba menjadi “expert” ketika menuliskan sakitnya, begitupula seorang yang sedang dilanda cinta, kesedihan yang ia tonjolkan di karyanya seakan-akan menjadi sebuah hal romantis yang patut dinikmati semua orang. Dan seorang yang pernah mengalami drama hebat petualangan antar galaxy pasti akan membuat para pembaca ingin dan ingin lagi membaca tulisannya.

Intinya ketika sudah mengalami masa-masa hidup yang lurus-lurus aja, saya kira karya tulis seseorang hanya akan menjadi sebuat flat and bare works. Tidak ada naik turunnya, kurang sense of attraction-nya. Kalau dalam dunia masak memasak namanya cemplang alias hambar. Berbeda dengan orang yang sedang berada di kehidupan yang mengalami pergolakan (let’s say so) tulisannya akan berasa lebih hidup karena ada emosi yang tersangkut di dalamnya. Dan kembali pada dunia kuliner, karya macam ini serasa sedap dan membuat orang ingin nambah dan nambah lagi untuk mencicipi menu yang ia sajikan

Hem, sepertinya saya sudah mulai bisa merasakan tulisan yang saya buat hambar atau sedap, seperti halnya kemampuan saya untuk merasakan adanya jiwa seseorang terbalut dalam tiap titik, koma dan symbol-simbol lain yang menghiasi kata dalam tiap kalimat yang mereka penulis buat.

Keep on writing, guys!

Sunday, August 10, 2008

j.a.t.u.h.

Jadi ceritanya,

Gara-gara asyik nyuci tenda dan lupa nutup tutup tandon air yang memang sama tingginya dengan ubin depan teras, dengan sukses nyemplung separoh badan dan ah..... kepentok deh.
Langsung nangis dan milih nolak pertolongan emak Nyak.
Tertatih-tatih aku jalan sendiri tanpa mau dibantu sambil meratapi nasib di pagi nan cerah itu.
Sakittttttttt...
Sesudahnya aku memilih tidur sambil tetap kesakitan. Seorang teman nan berpengalaman memberi saran untuk melakukan terapi guling.
"oh... ambil guling, dikempit aja gulingnya, tidur dan istirahat."
Ternyata ngefek benarr. Sesudahnya agak fresh pas bangun meskipun masih ada sisa-sisa lara.


Kalau jatuh kek gini jadi pengen ngebandingin antara jatuh di tandon sama jatuh di cinta (halah!). Sama-sama sakit dan sama-sama bisa bikin nangis.


Untunglah jatuh yang satunya lagi belum bikin nangis...
Dan memang harus tanpa tangis kali ya


Hemmm secara wong jowo, udah jatuh masih aja ada "untung"nya

=========================================================

Btw, jangan tanya bagian manakuh yang kepentok sampai kudu di kasih terapi guling sehari penuh....

Thursday, August 7, 2008

Ke Arjuna mencari Arjuna




Meskipun ga sesuai bahasa Brosur, Tapi pendakian bersama Milis Pendaki yang bersamaan dengan milis HC kali ini benar-benar rame. Sayang Arjunanya cuma gunung, sang Arjuna belum tergapai deh... Hahahaha
Enjoy deh..

Ruang Rindu itu bernama Arjuna-Welirang

Rasanya baru setahun yang lalu kita bersama menapaki Argopuro secara masal. Susah senang bersama beberapa hari jauh dari rumah, namun meninggalkan jejak yang mendalam untuk selalu kita kenang. Karena kesan indah yang aku dapat selama bersama kalianlah, aku pasti melingkari tanggal di mana kalian membuat jadwal panjang untuk melangkah bersama lagi.
Mumpung masih ada umur dan ada kesempatan, akhirnya tahun ini Milis Pendaki ke AW (ralat ApW : Arjuna pondok Welirang)

====================================================================

Katanya naik AW lewat Purwosari itu enak. Katanya juga lewat Purwosari lebih menyenangkan ketimbang Tretes. Dan aku langsung mengiyakan tanpa ba bi bu ketika namaku tertulis oleh tintanya pak ketu, Nyatanya semua brosur yang di PM-in salah semua………….


Surabaya-Sengon-Purwosari –Pandansari-Tambaksari (Tambak Watu)
Baru beberapa langkah kaki ini menapaki Desa Tambak Watu alias Tambak Sari, kecurigaan itu muncul. Jalurnya bakal asal-asalan. Ngetrek, muncak tanpa ampun. Ngetrek yang Cuma kami tempuh di separuh sore itu hanya memberi bonus pemandangan gunung-gunung di samping kami yang menyapa seakan-akan senang sekali melihat kami terseok-seok menapaki AW melalui peradaban lain di pucuk Purwosari.

Teman-teman dari milis HC sudah berangkat mendahului kami anggota milis yang suka santai sambil ngocok perut di tengah hutan lewat tawa dan canda yang tanpa habis, dan persediaan logistic yang harus diecer ke dalam perut masing-masing perserta.

Namun ada satu persimpangan bonus di mana kami bertemu dengan tim hc yang masih tersisa mbak Endah dan anaknya Inda (ga pake “H” itu pesen mamanya), Rere dan Heru. Awalnya kukira Heru adalah anak Mbak Endah juga karena dia memanggil mbak Endah itu Mama. Ternyata bukan. Ya mangap secara Heru juga wajahnya agak imutan mirip Blothonk. (amit amit..)Di sini Blotonkpun mulai beraksi sejenak dengan menarik perutnya dalam-dalam supaya ga terlalu melorot pas difoto.

Melewati Tampuwono, kami meninggalkan Tim HC yang memutuskan untuk stay di sana. Dan pendaki tetep pada plan awal, terus melangkah ke Makutoromo untuk nge-camp di sana. Treknya? Jangan ditanya. Aku pernah sekali mencoba melewati tanjakan setan gunung gede dengan batu batu terjal dan pijakan-pijakan tinggi, ataupun Panderman yang kecil tapi lumayan keren bebatuannya. Di rute ini bisa kukatakan mungkin seratus kali tanjakan setan karena batu-batu besar dan menanjak itu lumayan panjang dan tanpa henti. Ahhhhhh…. It’s torturing.

Tanjakan Mendoan itu sebutan buat tanjakan yang akhirnya bisa kami keber selama 2 jam dari Tampuwono karena selama perjalanan si Master Mendoan berkali-kali memberi penawaran mendoan supaya kami makin panas utuk ber “Ah..Oh..Oh… Yes…Oh..No…” (lapo ae, Rek!) ya secara seperti itulah keadaan kami selama beberapa saat sambil ngos-ngosan ditemani keringat malam dan tak lupa bintang-bintang funky dengan rasi-rasi yang secara bizarre (cieh… bahasanya) mengamati kami dari kungkungan langit hitam di atas kami.

Tim Sesat
Semua karena kami berlima terobsesi untuk jadi bintang iklan malam dan memutuskan untuk bernarsis ria ditemani bintang-bintang yang saling bercumbu di langit.
“Photo dulu yuk” kata mas Dhanis pada kami Wondo, Lendi, Dila dan Tauvic . PD sekali kami jalan malam itu. Kadang aku di depan, ataupun Dila melaju melewati bonus lipiran yang panjang itu. Dan laki-laki itu saling mbebek di belakang.

“Bener ga nih jalan?” Kami mulai meragu. Wondo dan Lendi juga ada di sana saling menilik tanah-tanah kering mencari jejak sepatu dan manusia yang melewati jalur terbuka itu. Sulit sekali menemukan jejak-jejak itu. Mungkin jejak-jejak itu sudah terhapus seiring hujan yang menyirami tanah sebelumnya (ehemmm). Rute makin menanjak ke atas namun tak sekalipun kami menemukan jejak segar yang melewati alur sempit dan ngetrek jiper itu.
“Mbak Endah”… “Yuhuuu..” … “Susu..” kami saling teriak di tanjakan itu. Di depan kami sebelumnya ada Mas Ei, Sentot, dan Mbak Endah Cs plus Kadir. Dan belakang kami adalah Om n Tante Enoy. “Noyyy”… “Om Bongkeng….” Tapi tetap ga ada sahutan yang menjawab teriakan ketakutan akan tersesat itu. Berkali-kali kami berhenti menunggu Enoy n Om Bongkeng sambil menikmati bintang di atas langit yang saling jatuh memunculkan keindahan, menerka-nerka apakah beberapa benda yang bergerak-gerak stabil dari kejauha n itu adalah UFO dan sejenisnya. Yang jelas, mulut ini tak henti-hentinya berucap, “Allahu Akbar… keren banget!” Malam itu Waljinah dengan seksinya menyuarakan “yen Ing Tawang Ana Lintang” dari hp mas Dhanis. Mantab pas bener nih mas suasana mencekam gini, ya… ya…

yen ing tawang ono lintang cah ayu (Ketika di langit ada bintang, Dik Sayang)
aku ngenteni tekamu (Aku menunggu kedatanganmu)
marang mego ing angkasa nimas (Pada mega di langit, Dik)
sun takokke pawartamu (Kutanyakan kabar beritamu)
janji-janji aku eling cah ayu (Janji jani aku ingat, Dik
semedhot rasaning ati (Sesak rasa di hato)
lintang-lintang ngiwi-iwi nimas (bintang-bintang itu memanggilmu, Dik)
tresnaku sundul ning ati (cintaku terendam di hati)
dek semono janjiku disekseni mego kartiko laire roso tresno asih (dahulu janjiku disaksikan langit berbintang saat rasa cinta tumbuh di hati)

yen ing tawang ono lintang cah ayu (Ketika langit sedang bebintang, adik manis)
rungokno tangis ing ati (dengarkan tangis di hati)
pinerung swaraning ratri nimas (bersamaan dengan suara malam, Dik)
ngeteni mbulan ndadari 2x (menunggu bulan purnama)


sampe satu ketika Wondo harus terhenti bersamaan mulutnya yang dari tadi “jualan” mendoan untuk membuat kami tidak panic karena sesat yang jalani. Kakinya kram dan Mas Dhanis harus melaju ke depan member shiatsu kecil-kecilan pada Wondo tersayang beserta betis tidak kerennya itu (hahahaha). Tapi sayang mas Dhanis emang terlalu bersemangat sampai-sampai beberapa meter ke trek nanjak di atas.........

Susan : “Mas. Trekking poolmu mana?”
Dhanis: Tercengang. Diem dan langsung gelisah. “Ketinggalan di tempat Wondo kram tadi, San….”

Dan mungkin karena kelelahan dan malas kembali, dia memutuskan untuk meninggalkan better-nya sambil berharap ntar ada yang bakal melewati jalur ini dan menemukannya. Wajahnya gelisah melihat salah satu kaki dari tiga kaki yang dia pakai seharian ini hilang. Dan dia hanya berjalan dengan dua kaki seperti pendaki normal lainnya. Akhirnya sesudah tidak memperdulikan trek yang kami lewati dan berhenti memanggil-manggil karena kehausan, sampai juga kaki ini di Pondokan Eyang Semar. Sesaat kami bercengkrama dengan penduduk setempat yang menempati pondokan itu. Aku baru ingat hari itu adalah Isro’ Mi’roj dan biasanya di hari besar itu, beberapa petilasan kian ramai dikunjungi orang-orang untuk menyepi di sini. Kopi hitam yang panas yang mereka suguhkan menjadi penolong kami menghangatkan badan yang makin loyo karena nyasar. Di pondok sudah tampak teman-teman yang lain. Untung jalur yang kami lewati tadi akhirnya berujung juga pada pondok Semar meskipun lebih jauh.

Sesudah mengikhlaskan better-nya dan membulatkan hati untuk berjalan dengan dua kaki, mas Dhanis dan aku berjalan lagi beriringan dengan Ella, Wondo dan Lendi menuju Makutoromo.
Sesampai di Makutoromo jam 9.30an, mas Dhanis berbisik, “San gw bangga nih bisa jalan pake dua kaki dari tempat tadi, terus ke Eyang Semar n akhirnya sampe juga di sini, Makutoromo!” Halah!!! Kukatakan padanya supaya dia makin senang jalan, “Iya mas… Bangga banget aku ngeliatnya!” Sumpah pengen ngakak.

Makutoromo??? Wuih tempatnya keren puolll. Cukup luas dengan beberapa petilasan yang mengapitnya, juga sebuah gubug yang esoknya bisa kami gunakan untuk makan sebelum meninggalkan tempat ini.
Makutoromo juga bener-bener indah ketika pagi menyapa dan jingga langit menghiasi pemandangan di luar tenda. Sunrise. But I didn’t give a damn with Sunrise at that time, nor my duty to make a hot cup of coffee for Dhanis. Perutku bergejolak karena malam sebelumnya makan banyak banget. Dan sunrise pagi itu menjadi background yang indah untuk melipiri Makutoromo sambil menikmati munculnya matahari dan semeru di depanku. Mantab banget… “Susaannn…” Kudengar mas Dhanis memanggil. Bowdow ah!!! ”Gw lagi shitting!”
Mas Dhanis juga kembali ceria karena seorang kawan HC yang menyusul kami di pagi hari juga ada yang tersesat melewati jalur yang kami lewati semalam dan tentunya menemukan better biru kaki ketiganya yang ia tinggalkan semalam.

Makutoromo – Plawangan atas (3150 Mdpl) 12 hours.
Rencananya kita akan curi start jam 7. Apa daya pecel, peyek Udang, Telor dadar sampe pisang goreng dan Burger membuat kami (aku, elly, Juan, mas Dhanis, Sinyo, Kuching dan Mas Yudi) sibuk sampai lupa kalau harus naik lagi. Halah! Perut lagi. Jadilah tim kami ini paling lelet berangkatnya dan syukurlah ketemu orang yang selama ini aku tunggu-tunggu, Om Ryco n Mila (yang kala itu dikenalin sebagai istrinya. Ketauan Milla yang asli tau rasa lo Om! Hahahaha) Dengan merekalah aku, mas Dhanis, Om Ryco dan pasukan bebeknya selalu beriringan. Weits.. jangan dikira perut-perut kami terkocok oleh tim bebek saja, tim North Face juga tanpa sadar merasuki perjalanan kami jadi makin keren, Kisut Cs komplit dengan Tante Enoy n si Om Bongkeng makin membuat perut kami terkocok-kocok. Belum lagi bertemu Blothonk, mas Sentot dan mas Ei.

Camp 2 masih jauh. Entah sudah berapa lama om Ryco mulai membuat perjalanan kami menjadi menyenangkan sekaligus menyesakkan dengan penyebutan angka ketinggian yang kami gapai melalui GPSnya. Hari makin sore dan ya…. Malampun kian gelap. Yang lain masih tersisa di belakang, Aku, mas Dhanis, Om Ryco, Mila sudah berada di persimpangan Plawangan. Sesudah berteriak-teriak akhirnya Om Ryco dan Mila berhasil ngecamp di Plawangan bersama rombongan HC, kasian banget ga ada yang keluar tenda, lelah macam apa sampai memberi arah pada orang yang sudah separoh napas saja mereka susah?? Hemmm.
Sedangkan aku dan Mas Dhanis? Kami harus menanjak lagi menggapai tempat dimana Sentot, Mas Ei, dan Mas Yudhi sudah menunggu kami dengan api unggun di sana. Dinginnya? Jangan Tanya. Tanganku sudah mati rasa, tubuh sudah siap ambruk, Trekking Pool yang kupakai sudah mulai terasa ribet maka kuberikan pada mas Dhanis supaya dia bisa jalan dengan empat kaki. Halah!

Camp site 2 ini benar-benar parah dan payah. Sebenaranya kita niat mo muncak hari itu dan menurun ke pasar setan yang memang disediakan untuk ngecamp di sana. Tapi apa daya, betis-betis ini sudah tak bisa berkompromi dengan perjalanan malam yang benar-benar gila, sehari penuh 12 jam lebih tanpa bonus dan tanpa ampun.
Ketika berhasil menggapai sentot dan mas Ei beserta api unggunnya aku langsung terdiam. Gila. Jalanannya gila! Bengis dan Kejam! Baru beberapa saat duduk kami curiga melihat Inda yang terdiam sambil menutup matanya dengan topi. Dia menangis karena kakinya sakit dan dipaksa jalan. Bisa kubayangkan jalannya benar-benar ga ada kompromi apalagi pake acara sakit kaki. Sesudah diamankan di dalam tenda kong Nanda yang sudah didirikan mas Sentot, Inda perlu dihangatkan. Aku dan Mas Ei berusaha membuatnya tenang supaya tidak terjadi hal-hal buruk karena psikisnya benar-benar down. Padahal aku juga down banget melihat jalanan seperti itu. Tak terpikirkan bagaimana Klecem, porter kami mengangkut keril berisi logistic dan lain-lain itu akan sampai di sini. Aku berharap mereka-mereka yang belum sampai ke campsite ini tidak usah ke tempat ini dan mending ngecamp di bawah Plawangan saja. Secara di sini tidak ada tempat yang pas buat ngerebahin badan. Dan ketika kudengar klecem berhasil merangkak naik aku terenyuh. Tak kuasa kutahan tangis ini melihatnya. Dalam hati kuucap syukur ternyata dia bisa melalui terjalnya jalur ini dengan bugar dan langsung mencarikan kami lapak untuk mendirikan tenda. Klecem memang mantabbbb.

Kira-kira pukul 10 malam seluruh tim pendaki sudah berada di site ngaco ini. Jangan dibayangkan kami akan tidur dengan nikmat di dalam tenda. Miring dan merosot adalah landscape yang menyambut kami semua selain hembusan angin yang kian kencang dan membuat perutku mengeluarkan angin-angin itu lewat suara thunderbolt yang menghiasi Eurekaku. “Widih… sampe bergetar gini yah..” seloroh mas dhanis yang udah mabok jenki di dalam tenda sambil nungguin teh vila anget yang kubuat untuk om Bongkeng dan tante Enoy yang baru nyampe jam 9 or 10. Aku lupa. “San masak apa? Lapar nih....” Ampuunn deh mas dhaniiisss dasar bayi gede! ngga tau apa kompor Cuma satu yang bisa diberdiriin. Udah gitu miring lagi tempatnya. Maka sesudah kusruputkan La Fonte hangat buat dia, akhirnya kami bisa ngorok agak legaan. Agak kaget juga ketika tenda kami terbuka dan Mas Ei hilang jam 2 malam. Usut punya usut ternyata mas Ei ngacir karena ketahan akar yang ia tiduri di dalam tenda. Ia bergabung dengan Sentot di atas camp site kami dan tidur di luar. Katanya sih lebih hangat. Ngga Caya!
Malam ke 2 kami juga lebih seru karena bintang-bintang di atas masih ramah menemani kami dan juga ngoroknya Blothonk family menjadi desiran mesra yang membisiki sudut-sudut lapak yang sama sekali ga cakep itu. I wonder if Kong Nanda juga begitu di atas. Sayang ga kedengaran dari tempatku tidur. Aku yakin seyakin-yakinnya trek miring ga akan membuat kalian berhenti berdendang ketika tidur. Kok ya untung mas Dhanis ga ikutan, bisa-bisa keluar dari tenda dan balik lagi ke rumah kadir deh..

“Eh San… gw bangga lo bisa ngecamp di atas 3150Mdpl!” ucap Mas Dhanis, lagi! Iya mas iya…. “Coba kalau semalam ga jalan bareng Susan, gw udah nangis tuh. Karena ada Susan aja gw nahan tangis. Ya masa laki nangis di depan cewe. “ Hahahahahahahaha ntah aku lupa dia ngaku pada siapa sampe aku menahan tawa dengar papanya Dindy curhat. Apakah dia curhat ketika kampanye terselubungnya dilakukan di kemiringan itu? Sumpah lupa!

Campsite Ngaco-Puncak Arjuna (1jam)
Jam 9 mungkin kala itu aku, Ella dan mas Dhanis mendahului tim rusuh untuk muncak ditemani panas dan debu yang bergulir memasuki hidung dan mata kami. Dan tentu saja, asap Semeru yang kian jelas menyapa kami selama perjalan juga radio RRI dhek Bara yang meramaikan suasana dengan siaran pasar modal di atas gunung. Pendakian yang indah dan aneh.
Sesudah menapaki jalur berbatu itu, akhirnya aku dan Ella mencapai puncak sejati Gunung Arjuna pukul 09.45. Alhamdulillah… akhirnya bisa juga menginjak Arjuna. Si Arjuna dengan gagahnya menyambut kami. Sesaat foto-foto sejenak. Yang ngeri adalah ketika kulihat Kong Nanda terjatuh dan terpentuk batu di puncak. Ngeri banget. Untung ada batu yang nahan dia ga jatuh. Mungkin si Engkong ini terlalu bersemangat ya. Sesi 1 jam lebih yang kami punya benar-benar kami manfaatkan. Dari pose superman, pose berbagi suami, pose nongkrong dan tentunya pose poto model dengan background yang bisa dipilih, background semeru, welirang atau blothonk!

Puncak Arjuna-Pondok Welirang
Sebenarnya malas banget turun ke Pondok Welirang, tapi karna ga mungkin lama-lama secara bisa membakar tubuh menjadi black-out maka terseok-seok kami turun.
Rute turunnya??? Wanjrotttt Berdebu, terjal dan pastinya panas. Beberapa kali kami harus menjaga jarak supaya yang belakang ngga kena imbas jejak-jejak kami yang tak tau diri itu.
Pukul 4 sore kami menuruni Lembah Kijang yang lumayan sejuk. Tergoda untuk menikmati semilir angin dan arbei-arbei hutan yang seger buat mengisi perut kami. Hem… mantab.
Di sinilah napsu biologis itu terhempaskan diantara kebun-kebun arbei. Aku melipir dengan sukses. Yes. Makasih Ela n Kong Nanda yang udah nungguin hahahahaha….

Pondok Welirang
Malam menyeruak ketika kami berlima Kong Nanda, Mas Dhanis, Ella, Dilla dan aku meninggalkan Blotonk dan anggota geng Nero memasak terong di lembah Kijang dan disambut oleh tenda-tenda kami yang sudah didirikan untuk menyambut tubuh-tubuh lelah kami. Makasih Klecem, Kucing, Sinyo, Mas Yudi. Ya di situ sudah kurencanakan memasak sayur asem ala Surabaya (tuh sayur asem yang pake krai, Mas Sentot) Meskipun tim Tante Enoy sudah masak dan dimakan habis, ternyata perut sinyo, kucing dan mas Yudi masih ada orang kelaparannya. Sayur asem habis. Mas Dhanis juga nambah makan lagi mencicipi sayur asem Surabaya (katanya) sesudah makan bubur buatan tante enoy.

Pukul 11 malam ketika mata ini sudah hampir terlelap, Kisut datang mengetuk pintu (halah pintu) tenda kami dan mengajak kami pesta dadakan, bikin sup pondok welirang (embuh harus dinamai apa, mungkin saat itu teman tidur kisut, mas Ei lapar sekali, tapi sumpah nendang banget!)
“Kita jadikan PR aja yuk Welirangnya.” Seloroh Mas Dhanis ketika dalam perjalanan menuju ke pondok welirang. Aku juga ga akan maksain jempol yang sudah mati rasa ini. Maka ketika mereka bangun pukul 3 aku hanya bangun sebentar dan said, “Semoga sukses muncak ke Welirang.” Dan ngorok lagi.
Esoknya sesudah bergaul ke tenda Om Ryco dan dapat bermacam-makan makanan (gila tuh orang-orang apa marmut ya? Masaknya banyak banget!) kami memasak buat tim pendaki yang pada naik ke welirang. Dari martabak telor, sampe tumis mercon yang pedes banget! Dan tentunya dengan cerita-cerita tanpa habis dari teh vila sampai gajah. (Wakakakakakakakkkk… Oh My Jod)

Pukul 10 lebih dikit sesudah tim pendaki berhasil turun dengan mendengus-dengus karena sukses mendapat sunrise di atas, kamipun saling berkejaran menapaki lautan debu yang kian menurun. Dari keperosot sampai meluncur yang disengaja kami jabanin. Busetttt. Dan ngga lupa, Turunan Ngakak (kenapa kusebut turunan ngakak? Karena ga ada jalan lain untuk mengeluh selain menertawakan diri sendiri sepuasnya dan kaki-kaki rapuh itu untuk menuruninya) itu makin mempererat kami sebagai pendaki yang suka santai.

Ketika sampai di pos tempat penambang-penambang itu menimbang belerang yang mereka dapat, mas Dhanis dah mulai BT dan merengut, “Kita naik hard top aja ya san. Kita nunggu di kop2an” Kuiyain aja secara lagi BT. Dan akhirnya gagal sodara. Sampai di kop-kopan kita malah makan tempe menjes dan nyruput kopi hangat di warung yang ada di sana.. rasanya?? Hemmm yang jelas tak pernah menyesal menampik jip yang menawarkan jasa untuk menuruni jalanan makadam itu menuju tretes. Ternyata kaki kita masih bisa dibikin sok canggih dan yang membuat aku berteriak adalah ketika si papanya Dindy itu nyontek jalannya Kucing yang bener-bener gila, kenceng banget! Ingat kaki weiii… jangan ikutan CatWalk!
Om Bongkeng juga keren karena meskipun ngos-ngosan masih bisa mengejar kami di bawah dengan senyum deritanya, Kong Nanda juga meskipun cedera masih bisa menjewer pahaku sampai kesakitan (awas yah) Apalagi Blotong, sepertinya perutnya benar-benar ga merepotkan untuk tetap mencelaku. Benar-benar bukan pendaki manja! Cool!! Salut sama kalian semua.
Jadi terharu biru melihatnya.
Btw, kami sampai di pos pendakian tepat ketika Adzan Maghrib bergema. Alhamdulillah…..

Credit ucapan terima kasih pada:
Team : Dhanis, Juan, Elly + Klecem n Sinyo
Tetangga sebelah : Tante Enoy, Om Bongkeng, Kisut, Mas Ei
Tetangga Depan Tenda : Kong Nanda, Mas Sentot
Tetangga Mendoan : Lendi, Wondo, Tauvic, Ella, Dilla
Tetangga Geng Nero : Blotonk, Bara, Eka
Tetangga Penggembira: Kucing, Mas Yudhi
Tetangga Jalan : Tim Bebek HC (Ryco, Mila, Asep, Riza)n Timnya Mbak Endah
Tetangga -tetannga baru yang sempat ketemu di sana yang ngga tau namanya 
Cuma satu kata untuk kalian semua, Kalian teman-teman jalan yang ngangenin Puol.... Yang ga ikut kemarin memang ga rugi, cuma kehilangan momen penambah warna hidup aja. 

Kau datang dan pergi oh begitu saja
semua kuterima apa adanya
Mata terpejam dan hati menggumam
di ruang rindu kita bertemu…


Until we meet again, Temans…

Tuesday, August 5, 2008

Ketika Putri Sibayak nyasar di Suroboyo




Kak Rahel, Si Putri Sibayak - dari milis pendaki - akhirnya bisa berputar-utar di Surabaya nan panas. Mulai dari Kebun binatang surabaya, Pantai Kenjeran, sate lesehan Dharmawangsa sampai Tempat ngopi kami di Unyil yang mantab...
Inilah gaya kami....

Monday, August 4, 2008

M.u.s.n.a.h.

Dan langkah kecil ini akhirnya harus terendap.
Untuk sebuah gemerlap hati yang dulu sempat kau tanamkan sesaat
Lalu kau ludahkan rasa yang kau singgahkan lewat kerikil nista itu
Dan aku sempat pula berharap pada kelamnya atap jagad

Lalu...
Di atas dataran sebelah mana harusnya aku memijak?
Di bumimu dan menunggumu memanggilku jika kau ingin?
Atau kuharus terpatung menunggu engkau bebas?

Memusnahkanmu sayang, kemudian menghapusmu jejakmu
Dan mencari lagi senja-senja baru yang nyaman untuk kunikmati
Ya, itu saja pilihanku..



05-08-08 : 01.42 a.m.