Wednesday, September 24, 2008

Jumpa Pertama (Chapter 2)


“Arung, masih ingat kan denganku? Jingga”
Jingga? Awalnya aku hanya tertegun melihat kedua mata sayu yang berusaha meyakinkanku bahwa aku pernah mengenalnya. Jingga? Seingatku selama beberapa kali menghabiskan malam bersama beberapa wanita yang aku sudah lupa berapa jumlahnya, tak satupun ada yang bernama Jingga.
“Ah… iya. Kau Jingga Prameswari yang asal Jogja itu bukan?” Dia menggeleng. Aku terdiam berusaha mengingat-ingat. Bukan apa-apa. Kasus penipuan sudah makin merajalela di ibu kota. Semua orang bisa sok kenal untuk mendapatkan secuil kekayaan. Termasuk menggunakan alat berbentuk manusia berkelamin perempuan untuk menarik simpati lawan jenisnya. Dan perempuan di hadapanku ini? Dimana aku mengenalnya? Mukanya merah, wajahnya tirus, Mata bulatnya terlihat lelah. Dan rambut sebahunya meneteskan hujan yang sudah menggenanginya semalam penuh itu. Aku masih belum ingin mengiyakan bahwa aku mengenalnya hingga akhirnya ia menyebut nama satu tempat yang sudah lama tak kusinggahi.

“Ranu Kumbolo. September 2003”

Ah. Itu dia, aku mengingatnya sebagai pelangi kala itu. Warnanya terlalu sedikit jika hanya menjadi Jingga, dia sangat berwarna warni, ya seperti selendang bidadari yang muncul sesudah hujan membasahi danau itu.
“Hai.. Jingga.. Apa kabar?” Aku tersenyum dan langsung mengambil alih beban 60 liter di pundaknya. Suara seraknya aku ingat, tapi wajahnya yang lebih tirus dari yang dulu, tentu saja membuatku tidak tau sama sekali bahwa ia adalah pelangi yang sempat membuatku terhenyak semalam suntuk. Dia jauh berbeda meskipun semangatnya itu masih terlihat di binar mata bulatnya nan ayu. Bagaimana mungkin aku melupakan dia. Si penunggu Kumbolo yang kukira hanya bagian dari halusinasiku sesudah terengah-engah mengitari jalan landai nan panjang selama 3 setengah jam dari Ranu Pane sendiri. Niatku ingin berjalan secepat mungkin menyusul gerombolan si berat yang sudah menungguku untuk summit di malam itu juga. 3 setengah jam berjalan sendiri tanpa kawan bercerita pastilah membuatku lelah sekali. Aku jadi teringat bahwa aku sempat mengambil beberapa gambarnya yang sedang asyik tiduran di bawah pohon di tepi danau Kumbolo dengan SLRku sebelum ia sadar. Beberapa hasil bidikan itu sempat aku taruh di dinding balik pintu lemariku sebagai sebuah pemandangan yang eye catchy tiap kali aku mencari CD dan mengambil kaos untuk berganti pakaian. Pemandangan wajah yang damai sambil terpejam seakan-akan ia menyatu dengan semilir angin, udara dan kabut siang di Kumbolo yang sering tiba-tiba berubah menjadi panas yang menyengat.

Kembali pada ingatan pemandangan indah di siang menjelang sore itu. Akhirnya aku batalkan niat untuk meneruskan perjalanan ke Kalimati menyusul teman-teman yang lain di perhentian terakhir menuju puncak mahameru. Sesungguhnya akan menjadi pendakian ke tujuhku bila aku mampu menaklukkan lagi pasir memuakkan yang panjang itu sebelum akhirnya kakiku akan mampun menyentuh kembali bebatuan kecil yang akan disemburkan tiap lima belas menit yang keluar dari jonggrang saloka dengan asapnya sangat seksi itu. Sudah tak sabar rasanya menunggu saat-saat menjemukan berperang melawan pasir-pasir itu.

Namun kenapa tiba-tiba kaki ini tertahan untuk tetap duduk di samping makhluk kecil yang wajahnya biasa saja tapi membuat aku tertarik itu?

Beberapa menit sesudah keadaan mencair, dengan lancar si pelangi penunggu ranu itu menceritakan bagaimana ia akhirnya berlari menuju Kumbolo itu seorang diri. Ia melakukan pendekatan kepada kelompokku yang akhirnya bersedia menyertakannya ikut dalam ekspedisi “kecil” mereka menuju Mahameru.

“Aku ngga akan sampai ke puncak kok. Mungkin sesudah Ranu Kumbolo aku akan berpisah dari kalian.” Katanya pada Tori yang kala itu menggantikan aku menjadi leader karena ketelatanku. Mungkin ketika mereka sedang melakukan dealing, aku baru turun dari pesawatku dan bersiap menuju Tumpang kemudian beralih dengan jip yang sudah Tori pesan untuk menungguku keesokan harinya. Aku kehilangan satu malam bersama mereka. Tapi cukup terbayar dengan apa yang kulihat. Pelangi itu mengenakan sweater merah maroon, sedang berlindung diantara semak empuk dan bersahabat di lipiran danau. Kumbolo kala itu panas sekaligus dingin tanpa ampun. Sehingga bingung rasanya harus ke mana mencari perlindungan. Pondok kecil rasanya sudah tak pantas untuk dia huni. Dan disana, di bawah pohon sebelah timur danau ia mengabadikan tiap tetes embun yang berjatuahan dalam tidurnya. Sendiri. Dia menguasainya. Dan aku seperti seorang tamu yang baru melangkahi danau romantis itu.

“Hai. Sendiri?” Tanyaku padanya yang sedang asyik merebahkan dirinya dan langsung kaget ketika mendengar hempasan tubuhku di atas rumput di sampingnya mengambil posisi duduk.
“Oh, hai. Aku kira tadi hanya langkah angin yang datang. Ternyata manusia.” Dia tersenyum renyah. “Tadinya aku bersama beberapa teman, tapi aku milih pisah.” Dia mengamatiku. “Tunggu. Jangan-jangan kau salah satu dari mereka, bukan?”

“Arung.” Aku ulurkan tangan sambil mengangguk, mengiyakan pertanyaan lewat lengkungan bibir pink-nya yang dibiarkan kering itu.
“Jingga.” Aku hanya tersenyum saja mendengar nama yang ternyata hampir senada warna bibirnya.

Masih di bawah pohon di pinggir danau Kumbolo, mengalir pelan tapi pasti kami bercerita banyak hal, tentang hidupnya, cita-citanya hingga makanan kegemarannya. Juga tentang kisah cintanya. Tiga batang rokok sudah habis kusedot dan Jingga masih saja berceloteh tentang keinginannya menembus Kumbolo sebelum hari itu tiba untuknya. Bawel juga nih perempuan. Tapi tidak membosankan sama sekali bahkan terkesan polos dan beruntun dalam tutur seraknya.

“Kahlil akan membawaku serta menghabiskan masa S2nya di Melbourne. Maka kuberkompromi dengannya bahwa aku akan mau diajaknya serta jika aku diijinkan ke Semeru. Setidaknya hanya ingin membuktikan bahwa di tanah Jawaku ini, memang ada tempat damai dan tenang seperti ini.” Kala itu mendung tiba-tiba datang begitu cepatnya. Dan kami tetap tenang menduduki rumput. “Dan ia setuju. Diberinya aku waktu tiga hari untuk ke sini. Minggu depan masa tunangan itu akan kami laksanakan.”
“Senang rasanya mendengar ada yang akan berbahagia.” Kataku. “Selamat ya.” Kataku mungkin agak terdengar sinis hingga Jingga tidak membalasnya ucapan selamat itu melainkan memandangku dengan tatapan anehnya.

“Arung! sudah habis berapa batang rokokmu dan kenapa tidak juga segera menyusul mereka? Mereka menitipkan pesan akan menunggumu hingga Kalimati. Setidaknya sebelum Maghrib kau sudah harus di sana bukan?”

“Keinginanku adalah raja dari langkahku. Jika aku ingin, aku pasti berjalan sekarang.”

Jingga:

Angkuh. Dia sangat angkuh. Rambut panjang sebahunya yang lurus itu membuatku ingin menyilakannya sejenak saja supaya aku bisa menikmati kekuatan wajahnya dengan jelas. Kahlil juga menyukai petualangan. Bahkan dia yang sering menceritakan keindahan tempat ini. Meskipun sudah sering dia keliling negeri lain, dan dia ingin sekali mengajakku ke sini. Namun minggu lalu ketika tiket kepulangannya ke Indonesia dia batalkan karena kesibukannya kuliah sambil bekerja itu, akhirnya ia melepaskan aku sendiri ke sini. “Jangan sampai kau terlena dengan tempat indah itu, Jingga.” Pesannya.

Aku cukup terlena dengan suasana di sini memang. Dan lebih terpikat ketika sosok seperti angin yang tanpa suara itu tiba-tiba membangunkanku dari mimpi sebentar di siang ini. Namanya Arung. Arung Samudera. Dan dia terlelap di dekatku sesudah menghabiskan beberapa batang rokok dan sandwich sederhana yang dia buat secara instan dan dibagikan separo untukku. Gawat. Ini sudah menjelang senja. Dan dia tidak bangun juga. Hari kian petang.
“Arung… “ Kubangunkan dengan bisikan pelan di telinga kirinya. Ketika ia terbangun, ia memutuskan untuk tidak menyusul mereka. Aku sudah yakinkan berkali-kali padanya aku akan baik-baik saja di Kumbolo dengan tenda soloku yang akan aku pasang sebentar lagi.

“Aku laki-laki dan tak akan mungkin meninggalkan perempuan seorang diri. Apalagi kau baru pertama kali di sini. Lagipula Mahameru akan menungguku kapanpun aku ingin ke sana” Sergahnya beranjak mencari posisi yang tepat untuk mendirikan tenda. Ketika protesku menyeruak atas pelecehan yang secara tidak langsung ia ucapkan. Ia berkata, “Bukan apa-apa Jingga, aku bingung kudu menjawab apa kalau pasir dan asap di atas sana nanti menanyaiku, “kau tinggalkan di mana pelangi penunggu ranu yang kau temui di Kumbolo tadi itu?””

Tawaku kembali menyeruak. Dia sudah menemukan celah untuk membuatku tertawa selain tertegun dengan cerita-cerita petualangannya di alam ataupun di dunia nyata bersama setiap perempuan yang rela menunggu giliran untuk mendapat kesempatan memenangkan hatinya. Tapi sempat pula aku tersanjung oleh kata-kata manisnya senja itu. Tidak salah jika para perempuan itu takhluk dengan komparasi cerita antara alam dan keindahan dirinya sendiri yang sengaja diucapkan oleh suara seksinya itu. Masih sempat ia menambahkan kata-kata itu“Kamu bukan Jingga, tapi kamu pelangi. Karena kenyataannya warnamu bukan hanya Jingga di mataku.”
Matanya mentapku lekat, sekilas tapi merasuki tubuhku dan menimbulkan getar tersendiri di tiap inci syaraf-syaraf halus dadaku. Bahkan Kahlil tak pernah sedemikian indah menggambarkan siapa diriku.

Arung:
Senja beranjak malam. Purnama kembali menyeruak sesudah malam kemarin mengantarkan jeep yang aku sewa itu menapaki Ranu Pani.
Ranu Kumbolo sangat dingin malam itu. Beberapa cangkir teh yang ia buat juga seakan tidak bisa berkompromi lama untuk menghangatkan tubuh. Dalam tenda yang mampu menampung nyala api kompor itu, Jingga menyibukkan diri untuk berkali-kali menghangatkan air.
Terkadang dengan jelas dapat kucium harum rambut sebahunya yang menyibak dengan acuhnya menghalangi pipi halusnya. Dia tetap sibuk di sana.

Awalnya kukira ia baik-baik saja. Namun ketika ia tiba-tiba terdiam beberapa saat dan mulai melepaskan satu persatu jaket polar yang tadi sempat kuberi untuk dia kenakan. Lalu ia mulai akan melepas kaosnya, aku langsung menyalak, “Kamu mau ngapain?” aku kaget mencegahnya melakukan tarian striptease kecil di dalam tenda. Sempat aku bertanya dalam hati tentang maksud perempuan yang ada di depanku ini. “Aku kepanasan. Ini di mana?” Sergahnya. Tanganku mengarah memegang erat jemarinya. Dingin sekali! Dan ia bilang kepanasan? Di tempat yang sangat dingin ini? "Ini di mana sih panas sekali.... " Hypotermia! Ini gejalanya! Kukeluarkan sleeping bagku, ketika kubimbing ia masuk ke dalamnya, jelas tersengat aroma lavendernya. Benar-benar wangi. Ah setan apa yang merasukiku. Aku harus membuatnya hangat. Agak tenang. Segera kumasukkan air panas itu dalam botol dan kuberikan padanya yang terbaring lemah disampingku. Terkadang menggigil terkadang merasa kepanasan.
“Jingga... Ini, letakkan di atas perutmu, supaya kamu lebih hangat. Pegang dengan kedua tanganmu”

Dia terdiam. “Jangan tidur ya. Cerita lagi dong… Oh iya, siapa calon tunangan kamu tadi namanya? Kahlil ya? Kahlil siapa? Kahlil Gibran? Seberapa hebat dia sampai bisa menaklukanmu? Ga nyangka, cewe seperti mu bisa takluk juga ma cowo..” Berhasil. Jingga agak sedikit tenang dan menimpali semua perkataanku. Dia sudah mulai mendapat orientasinya kembali. Namun aku tetap saja bicara tanpa henti untuk membuatnya tetap tersadar. Hingga entah kerasukan panah birahi dari mana hingga akhirnya terlontar ucapan itu.
“I feel very cold. Warm me, please..” Mungkin tangannya sudah mati rasa hingga akhirnya botol berisi air panas itu sudah tak dapat lagi menanggulangi masalahnya. Matanya sayu. Bibirnya bergetar, keduanya tampak pucat.
Kumasukkan tubuhku ke dalam sleeping bagku yang agak lebar itu, mendampingi tubuh mungilnya di dalamnya terpekur dan menggigil, matanya memohon.
“Sorry Jingga… Gue peluk ya?” Dia hanya mengangguk sambil bergemetar.

Jingga:
Dan tubuhnya merengkuhku dengan sekuat tenaga berusaha menyalurkan hangat yang dia punya. Terkadang kurasakan tangannya membelai rambutku, belaian yang belum pernah aku rasa sama sekali dari Kahlil, belaian lembut yang kuminta, And suddenly we kissed, a prolonged kiss. Awalnya hanya sekali. Namun aku terlalu hanyut. Aku memintanya lagi dan dia memberikannya lagi dan berulang-ulang …

Arung:
Mungkin purnama kala itu sudah benar-benar bulat, entahlah kami kurang paham. Mungkin ia menikmati pula suasana romantis dalam tenda kecil kami. Seusai pelukan hangat dan pertemuan bibir kami yang saling mengait cukup lama itu menyatu dan suhu badannya kembali normal, aku berbisik pelan, “ how lucky Kahlil, yah..” Tiba-tiba ia berhenti, melihatku seakan terpana, kemudian memegang kedua bibirnya yang terkatup itu dengan tangan kanannya. Seraut tatapan penyesalan akan apa yang baru saja ia lakukan. Mukanya tiba-tiba kosong menatapku. Kemudian menggigit bibirnya sendiri.

“You are not, Kahlil! ” Katanya sambil memalingkan muka.
Iapun menyudahinya saat purnama sudah benar-benar tegak lurus dengan kami. Masih terekam kuat bagaimana kami tiba-tiba diam dan tak lagi bercerita tentang masa lalu dan masa yang akan kami hadapi. Bagaimana kami menyilangkan lengan di bahu kami masing-masing dan merapatkan pelukan dengan kaki yang kami lipat erat sambil duduk. Kulihat rambut sebahunya. Tak mengarah lagi padaku begitupun mataku padanya mencoba menghindar walaupan apa yang terjadi barusan di luar kendali, yang kutau adalah ciuman super dahsyat yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, bahkan sampai sekarangpun aku sering teringat tentang bibir lembutnya, merasakan bagaimana rambut sebahunya menyibak dan menggelitik leherku sesaat. Dan Ranu Kumbolo terasa seperti salju di antartika. Kadang kupikir dia memang melakukan itu semua untuk menggodaku dengan penyataan lucunya. “Kamu jangan aneh-aneh ya… We did it not on purpose.” Diucapkannya di sela-sela masa bibir kami bertemu. Dan ketika ia berbaring lagi di dalam sleeping bagku, aku memilih keluar dari kantung tidur yang sebernarnya masih tersisa untukku. “I’m sorry…” Kuucapkan padanya sambil menutupkan rapat-rapat resleting dan menempatkan posisi tidurnya supaya nyaman. “Good Night..”
Dan dekapan erat di lengan yang tiba-tiba itu, ia ajukan sebagai permintaan bahwa ia tak ingin sendiri. Tangannya menggenggamku memintaku supaya menempati posisi yang aku tinggalkan di dalam kantong tidur itu.

“Kalau aku masuk akan terjadi hal yang lebih. Dan kau akan lebih menyesal sesudahnya.” Ucapku sambil menatapnya. Tanganku tak lepas juga dari genggamannya.
“Just stay next to me, and hug me. Not more than that..”
Dan Jingga makin merapatkan tubuh mungilnya sambil menggigil. Aku hanya bisa menikmati pemandangan indah yang baru tadi siang aku temui sekarang sudah tergolek pasrah meminta sebuah kehangatan di balik es dingin Kumbolo yang malam itu makin deras menyerbu udara di rumputnya yang lembab.

Esoknya sebelum berkemas pulang, kulontarkan satu pertanyaan kecil yang selalu aku lemparkan pada semua perempuan-perempuan itu setelah kenakalan kecil seperti itu, atau bahkan lebih, terjadi.
“Apakah kejadian semalam akan kau anggap sebagai hal yang penting dan menuntut?“ Tanyaku padanya.
“Tenang aja, aku bukan tipe penuntut seperti fansmu yang lain. I know exactly how and to whom I should commite my heart.” Dan dia berlalu dan berhenti sesaat menoleh padaku. “With you? I guess not” sangat simpul senyumnya.

Aku juga ingat sekali bagaimana dia menegaskan ulang pernyataannya tadi ketika kami akhirnya bersama-sama turun menuju pos pendakian, sangat di luar dugaan. “Remember, I’m not one of them!”
Kata-kata itu selalu terngiang di telingaku, hanya dia satu-satunya perempuan yang tidak mau disejajarkan dengan perempuan-perempuanku yang lain.

Dan pagi itu, ia meminta perlindungan dengan muka basahnya akibat hujan yang dilalui semalam. Tidak adanya angkutan dan nomer telponku membuatnya harus berlari dan gambling mencari alamat yang sempat kuberikan padanya.

“Ini Jingga… alamatku, kalau sempat tersesat di sekitar monas, dan kamu ga tau harus berlari ke mana. Lihatlah bintang atau purnama jika sempat bertemu pelangi bertanyalah padanya harus kemana langkah mu tertuju. Bintang pasti membuatmu ingat 1 hal kalau kamu punya teman yang tinggal di satu gubug di sudut kota. Keluarkan dompetmu dan ambil kertas kecilku ini. lalu larilah padaku…”
Perempuan paling nekat yang kutau. Dari rimba belantara di ujung pulau jawa dia berani ke satu tempat asing ini? Beberapa saat setelah mengeringkan rambut dan tubuh basahnya, ia mengabariku bahwa pertunangan itu ia batalkan 3 hari menjelang hari H! 3 hari sesudah kisah singkat di Ranu Kumbolo itu terjadi.

(Bersambung...)

Monday, September 22, 2008

sepuluh hal tentangku

Demi memuaskan Jeng Swasti yang berkali-kali mengingatkan PR berantainya yang dia kasih ke aku beberapa hari lalu, jadilah beberapa hal yang semestinya kusimpan di bawah ini kuungkapkan dengan ikhlas. Semoga ga eneg aja bacanya ya.


To know me precisely, you can even figure out from the 10 brief stories I wrote below:

1. Yes, I do
Dulu pernah ngefans banget n berharap bisa jadi pacar seorang kakak tingkat yang lucu n rock and roll banget. Suaranya yang merdu banget pas nyanyi n masih terngiang sampe sekarang. Tapi ternyata dia ngga terlalu ngeh sama aku  Satu tahun sesudahnya dia suka sama teman dekatku dan melakukan pendekatan habis-habisan dengan aku dan seorang teman lagi sebagai mac-com nya. Suatu hari sesudah kencan dan memberi mawar dan sebagainya, dia menelpon menanyakan apakah temanku tadi mau jadian ma dia. Guess what, I was the one who picked up the phone karena temen aku itu sedang malu-malu kucing and baru bangun tidur pula.
Temenku                 : (Teriak) bilang “yes I doooo… “
Aku                         : (Sambil pegang telpon) ya udah ngomong dewe!
Lelaki rock and roll  : Gimana, Tuk Platuk? dia jawab apa? (that’s how they call me.)
Aku                         : (Bingung – harusnya dia jawab dewe ya??) “Yes, I do!”
Lelaki rock and roll  : ha?
Aku                         : Dia bilang “Yes, I do!”
Kudunya dia bertanya itu setahun sebelumnya kepadaku ya! Hahahaha…


2. Clubbing? So far Jez Once!
Itupun karena terpaksa demi mencari data para waria yang asyik rumpi-rumpi di sebuah diskotik dalam acara pemilihan Miss Waria di Surabaya. Kalau bukan karena kenekatan memilih judul “Slang Used by Waria in Surabaya” aku ngga akan berani memasuki tempat itu, selain jalanan tempat mereka mangkal tiap malam minggu. Beberapa teman cowo dan waria yang membawaku serta ke sana sudah lihai menikung dan mencak-mencak sambil mabok. Lirikan dan rumpian para gay dan waria yang melewatiku makin membuatku pengen cepet-cepet get fuck out of that crowded.
Bukannya sok alim, tapi aku kagok soroh (banget) berada di sana.


3. Dilombok
Gara-gara ada segerombolan anak-anak lewat di depan rumah pada “belajar” ngomong jantjoek akupun sebagai anak berusia 4 tahun yang cerdas dan well learner, ya ikutan lah.


And the disaster came…
Mendengar aku dengan fluently alias gape ngucap kata itu, dengan tanggap dan sergap, Ibu datang dengan beberapa cabe rawit di tangannya dan yes, aku sukses makan dengan paksaan!
Langsung nangis Bombay sebelum ditolong mbah putriku dengan gula-gula ditangannya. Sejak itu, aku nda berani makan cabe rawit n ngerasa jijik sama sambel di atas cobek.


4. Desy Prakoso
He was the boy of every young girls dream about… hahahaha.
First boyI crushed. rambut kriting, berubuh ceking dan tentunya idola cewe-cewe kelas 5 n kelas 6.. hahahaha
Dia waktu itu kelas 6 dan aku kelas 5. Sempat surat-suratan, cuy!
(norak sorohhhh!!!!)
Kelasku dan kelasnya terpisah oleh pintu yang memungkinkan kelas 5 mengintip kegiatan anak-anak kelas 6. Dan pastilah aku ngintip downg…. Secara ada Desy gitu lo di sandang! Suatu hari kegiatan spying menghasilkan pengetahuan baru tentangnya. I saw Desy Prakoso lagi menyalin PR teman sebangkunya sambil berkali-kali menggerakkan bagian mulut dan hidungnya, mirip banget mantan presiden RI yang terkenal dengan ucapan, “gitu aja kok repot!” Ternyata itu adalah kebiasaannya bow!!!
Seorang teman yang sempat aku certain sambil menirukan kebiasaa Desy Prakoso tadi tertawa sampai terkencing-kencing. Hahahahaha… aku aja kalo mengingat kisah itu selalu membuatku ngakak ga karuan kok, apalagi orang lain. Kira-kira gimana dia sekarang ya...


5. Inggris 9, Indonesia 5
Lulus SMKN Kejuruan dengan hasil transkrip di mata pelajaran Bahasa Inggris 9,17 dan Bahasa Indonesia 5,67. Sedih sekali karena ngga pernah maksimal mempelajari bahasa sendiri. Dan itu adalah nilai terburuk diantara sekian banyak mata pelajaranku kala itu. Usut punya usut ternyata guru bidang studi suatu pelajaran menentukan sekali hasil yang bisa didapat seorang murid. I didn’t have any comprehensive Bahasa teacher in that years.

6. I’ll be Back
Selalu saya ucapkan ketika pertama kali menginjakkan kaki di tempat yang baru. Sepertinya ada chemistry tersendiri untuk mengatakan kalimat itu jika aku menyukainya, sehingga sesuatu yang bagiku di luar mimpi itu akhirnya menjadi kenyataan berulang. Semisal tak pernah terbersit keinginan untuk ke Jakarta namun ntah mengapa ketika meninggalkan Jakarta 3 tahun lalu aku membatin pelan,”I’ll be back!” Dan ternyata kota itu mengharuskanku berkali-kali ke sana untuk urusan ini itu. Begitupun dengan Bandung dan Semeru. Kedua tempat susulan yang membuktikan bahwa dengan kata-kata I’ll be back itu aku selalu kembali ke sana. Sepertinya nanti kalo diijinkan menginjak NYC, pasti aku akan bilang, “I’ll be back again and again!”

7. Mesum
Ini yang sering aku tanyakan pada beberapa teman. Kejadian pertama waktu di Kute sore hari. Beberapa teman sudah mendapat beberapa bule buat diinterview sebagai tugas Mata Kuliah Manusia dan kebudayaan Indonesia serta speaking. Karena sudah malas jalan n sudah selesai hunting bule, aku dan temanku (which looked brighter and whiter than me!) seorang bule menghampiriku mengajak jalan-jalan menyusuri Kute. Bow… malam di pantai yang enak ya makan jagung sambil kejar-kejaran kek di iklan silverqueen. Hahaha..
Bule : Come on. I’ll give u pleasure!
Me   : Nunjukin muka super blok’on n tolah toleh ke teman di sebelah
Bule : I’ll give you some presents how about that?
Me   : I think u are knocking a wrong door!
Bule : Alright. Where do you stay? What number?
Me   : Udah pengen nggampar mukanya
Bule : I’m staying in….. and this is the room number… (ngasih name card hotelnya)
Me   : Langsung beranjak jalan dan menggandeng temanku erat-erat (suerr takutt)
Bule : How much are u???
 
Aku langsung ngacir, sempat pake acara tarik-tarikan tangan sama bule sialan itu.
Empet kali tuh bule! !!!

Dan beberapa kejadian susulan di Gambir dan Bandung yang kalo diceritakan akan sangat panjang dan lucu. Yang jelas sesudahnya aku pasti sms beberapa teman dan berakhir dengan pertanyaan, “Emang muka gw mesum ya?”

8. Birthday
Ngga pernah ada perayaan Ultah kusus selama aku bernapas kecuali ulang tahun ke 25. Guess what was my wish before? Waktu itu aku berdoa ingin sekali meniup lilin di usia seperempat abad di luar tempatku lahir dengan orang yang kucintai (cieeeeeeeee). Sebagai tanda aku bisa memulai kehidupan yang lain yang jauh dari rumah. God heard me. Waktu itu enoy datang membawa sebuah black forest kecil titipan kak Vera di sela-sela acara Buka bersama teman-teman pendaki di Ragunan.
Semua memberi ucapan selamat dan ah… that was the sweetest thing I have ever had. Kado terindah yang ngga pernah kusangka akan datang dari teman yang lain bukan dari orang yang kucintai kala itu.
Hemmm… I love you friends…


9. Maaf, jangan Pentas dulu
Yang ini agak sedih untuk dikenang.
Semasa TK mungkin terlalu aktif dan suka petakilan jadi di setiap kesempatan, guru-guru TK itu selalu mengikutsertakan aku di beberapa acara luar sekolah. Tapi anehnya orang tua murid dikenakan biaya sewa kostum, transport dan lain-lain. Ada satu acara yang aku sangat ingin ikuti ketika terpilih mengikuti pentas tari bunga.
Namun, satu hari Ibu mengatakan pada Bu Endang supaya aku jangan dipilih terlebih dahulu karena tidak ada uang untuk membayar sewa kostumnya dan lain-lain. Nelangsa rasanya. Padahal sempat ikut latihannya…
Kalau mengingatnya aku makin bersemangat menjalani hidup dan bekerja supaya anak-anakku tidak mengalami cerita yang sama seperti itu. …

10. Jadi Guide
SMKku dulu punya travel agency yang melayani pengaturan tour, biasanya ke Bali n tiap murid pasti kebagian sekali membawa rombongan ke sana. Mungkin karena tidak ada persiapan khusus buat memberi pelatihan ke murid-murid jika ada tour dadakan, maka aku dapat jatah sampe 4x membawa rombongan sebagai guide dan kadang sekaligus tour leadernya, sementara yang lain ada yang belum sempat diberangkatkan.
Karena juteknya, seorang teman ngga mau ngomong dan menyapaku sampai kelulusan tiba. Ya siapa sih yang ngga BeTe kalo dia belum sempat jalan-jalan gratis sementara ada yang sampai 4x dapat, dapat duit pula! hahaha…
Halah. Bukan salahku, kalee…


************
Dan akhirnya kurantaikan PR ini pada orang-orang tua aja deh biar tau mereka kek apa pas masa penjajahan dulu:

1. Farid (tralala.. trilily...)
2. Nanda
3. Abah Fachrie (Gigolopala)
4. Rycopobia
5. Penjaga Makam
6. Om Jarot
7. Tante Harlie (Dunia Inoi)
8. Dhanis Wanardi
9. Mbak Diantini
10. Bang Rasyid (Karat Outdoors)

kerjain ya... :p

***poto cabe nyomot di hotradero.multiply.com

Sunday, September 21, 2008

Buka Puasa bareng Pendaki n JePers




Buka Bareng Pendaki n JPers Jatim kemarin cukup meriah. Ada 17 orang + 1 yang telat..
Makasih ya semua... :)
Semoga taon depan bisa gituan lagi (halah!)

Love u all

Thursday, September 18, 2008

H.a.r.u.s.n.y.a.


 
Harusnya ngga usah bingung kalo ngga ditelpon sehari aja
Harusnya ngga usah berkali-kali sms kalo dia lupa ngga sms or bales sms
Harusnya ngga usah manyun kalo dia ngga ngucapin "Met Pagi plus Met bobo"
Harusnya ngga usah tanya kenapa kalo dia ngga pamit mo kemana
Harusnya ngga usah sesak plus khawatir kalo dia ngga ada kabar
Harusnya ngga usah bertanya kenapa dia begini kenapa dia begitu
Harusnya ngga usah berkata padanya "ya aku kangen kamu banged!"


Harusnya sudah ngerti banget caranya menempatkan rasa
Harusnya tidak main hati dulu karena kata ramalan tahun ini bukan tahunku
Harusnya tidak bertemu dengannya
Harusnya tidak jatuh cinta..........



Question:
Apakah beberapa Harusnya di atas sudah cukup untuk membenarkan bahwa inikah Cinta itu???