Sunday, September 30, 2007

The Hope

A few hours before this typing season, I was blown by a hope presented by somebody. Quite interesting I guess. So, I browsed up his entire site just finding out his slight of life. Uh… it’s him. So him, we frequently share many things what’s in him and mine. Unique, adorable, and attemptable to explore and once again, a few years bellow my almost 26th??? Should I face the similar things….(Imagine my giggles when I wrote this xixixixixi...)

These recent hours he’s been off. Off for he’s busy, off for he’s been sick, or off for he finally realized that he’s knocking the wrong address??

Anyway, out of his reasons to be off, a perfect decision has basically been buried within my bone. It’s called hopeless when I meet anyone offering a bunch of flower named hope.      

Wednesday, September 26, 2007

Nelangsa

Ada nelangsa tersendiri saat pembicaraan di telpon itu usai.
Apapun bentuknya dan bagaimanapun caranya takkan mungkin bersanding dengannya.
Bukan karena harus menempuh ratusan kilo semalam suntuk untuk merasakan belaiannya.
Ataupun harus menembus awan untuk merasakan tatapan matanya.
Cintanya lugu dan menyatu. Namun sayang surga kami berjarak sebagaimana cinta kami yang terlarang…


***Somewhere in time***

Thursday, September 20, 2007

When I stepped my feet in Galunggung without you

Subuh sudah kulewati, namun bis takberAC ini tak juga bergerak di tempat ngetemp-nya di daerah yang bernama Cimahi. Mungkin kalau naik bis patas ga akan selamaini ya. Untuk bis ini aku harus merogoh kocek sebesar 25ribu. Entah kalau patas mungkin antara 35rb – 40rb. Berkali-kali aku terlelap dan berkali-kali juga aku terjaga namun bis tak juga berangkat. Hingga akhirnya sopir memutuskan untuk memindahkan kami ke bis lain yang sama-sama menuju Tasikmalaya. Dengan langkah gontai dan masih ngantuk kuberjalan bersama daypack kesayangan ke bis yang dituju oleh kenek. 

Bahasa Sunda yang mereka katakan makin membuat aku nggak ngeh jadi aku hanya tersenyum saat mereka bertanya padaku. Mungkin mereka pikir aku orang o-on yang ga nyambung diajak ngobrol kok dari tadi ditanya senyam senyum aja. Bodoh! Emang gw pikirin?

Begitupun saat di dalam bis ketika penumpang di kanan kiriku bertanya, yang mungkin artinya menanyakan tujuan perjalananku saat itu. Jadi to make it short aku menjawab, Galunggung. Dan everything run smoothly. Aku malah dibantu dengan dikasih informasi turun di mana dan harus naik angkot apa.


Pagi juga yang akhirnya mengantarku sampai di terminal yang cukup besar di Tasikmalaya bernama Terminal Hang Dyang . Dari situ aku berganti angkot berwarna biru menuju ke kawasan wisata Gunung Galunggung. Hanya dengan membayar Rp. 8000, pintu gerbang Galunggung ada di depan mataku. Sampai di sana aku terus menuju kawah dengan naik ojek dengan harga yang sama. Oh ya, sebelumnya aku harus membayar entrance fee 4.200. Lumayan murah. Let’s see what’s inside.

Di sana ada dua jalur untuk mencapai kawah Galunggung. 

Dengan menaiki 620 anak tangga atau jalur pendakian pasir. Kucoba jalur pendakian. Hemmm sebenarnya tidak terlalu susah, namun tangga di sebelah kiriku membuat aku berpaling dan memutuskan untuk meneruskan perjalanan dengan naik tangga saja. 

Setelah terengah-engah akhirnya aku sampai diatas.



Sesampai di atas aku disambut dengan amazing view di kawah yang ada di bawahku. Danau dengan dua gunung kecil di tengahnya. Danau yang dari kejauhan berwarna hijau dan bukit-bukit berhalimun yang menjadikannya lembah.

Aku terdiam sejenak.......

Akhirnya aku di sini melangkah melampiaskan janjiku padaku sendiri menuju satu resolusi yang belum kesampaian yang akhirnya terwujud.Ya, I reached Galunggung myself.

Dan kuturuni lembahnya, mendekat pada danaunya. Dan bernarsis sendiri dalam keheningan hingga senja datang dan membuatku harus berpisah dengan keagunganNya



Terima kasih Tuhan kau beri kekuatan kumelangkah menikmati alamMu.

 

Judulnya apaan ya???

Aku sampai di depan pintu Rumah sakit berarsitektur Belanda dengan desain yang sudah kuno namun tetap bersih dan tenang. Jauh berbeda dengan rumah sakit umum milik pemerintah yang biasanya padat akan pengunjung yang berlari ke sana ke mari dengan petugas-petugas super cuek yang kalau tidak pas dengan hati mereka, tidak akan dilayani dengan benar. Seorang doorman di pintu gerbang depan yang mengenakan seragam layaknya doorman hotel-hotel berbintang menyambutku. Hem luar biasa, di Tokyo pun belum pernah kulihat rumah sakit yang memperlakukan tamu sedemikian ramahnya.

“Selamat siang Bu” sapanya. Aku hanya tersenyum padanya. Aku sudah tidak bisa berkata apapun sejak kuputuskan untuk berangkat menuju kota apel ini sore kemaren. Buru-buru kutekan tombol lift yang tak jauh dari pintu gerbang rumah sakit tersebut. Demi mencapai tempat ini aku harus melakukan kebohongan kepada Mas Rey. Aku mengatakan bahwa Dian sedang dirawat di Rumah Sakit karena Jantungnya kumat dan ingin sekali bertemu denganku. Maafkan aku mas. Maafkan aku Day.  

 

“Apa ga bisa bicara ma Dian pertelpon saja Ra?”

“Mas, bukannya aku ga mau bicara per telpon dengannya. Tapi ini yang sakit Dian, bukan siapa-siapa. Mas tau kan Dian itu siapanya aku? Dian itu lebih dari sodara mas. Yang ngerawat Nara waktu mas tinggal tugas ke Cairo dulu siapa? Dian kan? Dia sampai ninggalin kerjaannya sebulan demi nungguin aku sama kandungan lemahku. Mas ga lupa kan? Sekarang, giliran dia yang sakit harusnya Nara di sana buat ngasih semangat dia mas”

“ Ya sudah. Terus bagaimana dengan anak-anak? Sudah dibereskan urusan mereka?”

“ Aku sudah pesan ke Keiko untuk menemani mereka sepulang sekolah sampai kamu datang. Jadwal kursus Ei-go Nabila dan Dafa sudah ada di tangannya. Lagipula aku ga akan lama kok. Cuma 3 atau 4 hari aja mas“

“Ya wis. Kamu berangkat saja. Nanti kalau sudah sampai Bogor, kamu langsung telpon aku. Aku juga pengen ngomong sama Dian. Pengen ngasih semangat”

 

Bogor. Ya Dian memang tinggal di Bogor. Tapi yang akan kujenguk ini bukan di Bogor, tapi di Malang. Subuh tadi, hanya terpaut 3 jam dari kedatanganku dari Tokyo aku langsung menuju loket sebuah maskapai penerbangan dan mencari tiket yang berangkat paling pagi menuju Surabaya. Sukurlah aku dapat meskipun dengan harga selangit dan sampainya aku di Juanda aku mencarter mobil menuju Malang. Dan disinilah aku sekarang beberapa langkah dari tempatku berdiri aku akan bertemu lagi dengannya. Abel. Separah apakah dirinya?

 

Ting!!

Lift terbuka di lantai 4, Segera kupercepat langkahku mencari ruang kamar nomer 423.

Apa yang akan dikatakan keluarga Abel tentangnya? Perempuan yang sudah ditunggu kedatangannya oleh Abel sejak ia tak sadarkan diri seminggu yang lalu. Perempuan yang sekarang mengenakan baju merah lengan panjang dan kerah yang keluar diantara rompi warna hitamnya, ber jeans dan berjilbab. Muslimah yang sangat preppy. Begitu kata Abel dahulu. Biarlah. Toh yang memintaku ke sini adalah Angela, istri Abel sendiri.

Ini dia kamar 423.

Di depanku tampak seorang ibu yang sudah beruban duduk sambil memegangi rosario di tangannya. Matanya basah. Dan Seorang bapak yang termangu di depan pintu kamar 423

 

“Maaf pak. Apakah ini tempat Abel di rawat?” tanyaku pada Bapak yang kebetulan berada di depanku.

Bapak tadi heran melihat Nara.

“Iya. Anda siapa? Tanyanya.

“Na…” Belum selesai kusebut namaku, seseorang memotongnya

Nara?” sapa wanita di antara keramaian tadi yang langsung bangkit dari kursinya di pojok ruangan sesaat ketika Nara datang.

“Iya.”

“Aku Angela. Istri Abel. Ini Bapak dan Ibu Mas Abel”

Nara” kataku sambil menyambut hangat tangan Angela dan tersenyum kepada Bapak dan Ibu yang ditunjukkan. Mereka makin heran.

 

Semua karena telpon di pagi hari ketika aku berada di dalam chikatetsu menuju universitas tempat ku mengajar di tengah kota Tokyo. Nomer Indonesia ber local area 0341. Malang. Nomer siapa? Aku tidak punya kerabat di Malang. Bahkan teman.

“Halo Assalamualaikum. ” Jawabku.

“Halooo. Ini dengan Nara?” kata suara di telpon.

“Iya. Maaf ini siapa?”

“Aku Angela.”

“Angela? Siapa ya?”

“Aku istri Abel”

Aku terdiam seketika. Abel? Dia… sudah hampir 10 tahun kami tak bertemu. Sejak aku memutuskan untuk bertunangan dengan mas Rey, kami sudah tidak pernah lagi saling menghubungi dan bertukar cerita. Kudengar 3 tahun setelah aku menikah, ia akhirnya menikahi tunangan yang sudah dipacarinya 9 tahun itu. Setelah itu tak ada lagi kabar tentangnya karena aku diboyong mas Rey mengikuti ke manapun dia bertugas sebagai pegawai KBRI.

“Halo.. Nara.. kamu Narandita kan? Teman mendakinya mas Abel dulu?”

“Iya. Tapi maaf, sudah lama sekali saya tidak bertemu dengan Abel. Ada urusan apa ya mbak?”

“Forget it. Abel sekarang dirawat di Rumah Sakit di Malang Ra. Jantungnya sudah lemah sekali. 

Tanganku gemetar. Dadaku sesak. Hampir saja aku terjatuh ketika Angela meneruskan kata-katanya

“Minggu kemaren sudah ketiga kali dia koma. Tapi Puji Tuhan dia masih bisa siuman”

Suara Angela masih saja terdengar bercerita tentang keadaan Abel bahwa ia mengidap jantung sejak 5 tahun lalu dan sejak itu ia sering sakit-sakitan. Bahwa ia terlalu sibuk bekerja hingga tidak sempat berolahraga dan menjaga kesehatannya. Kegiatan wajibnya.

 

Persetan dengan itu. yang kutahu Abel terkapar di sana. Dan yang kudengar dari mulut Angela, permintaan Abel, jika ia diberi keajaiban bisa lolos dari koma ia hanya ingin dipertemukan dengan Nara teman naik gunungnya dahulu, hingga akhirnya selama seminggu ini ia mencari tau keberadaan Nara lewat Dian.

Getaran itu kurasakan kini. Tubuhku lemas, sepertinya semua tulang dan sendiku menjadi lunak. Getaran kekhawatiran seperti ketika ia mengkhawatirkanku ketika aku tiba-tiba diam tak bergerak selama 25 menit karena fertigo yang menyerangku saat aku hanya berada 300 meter menuju puncak Rinjani.

Nara… kumohon jika engkau menganggap Abel pernah ada dalam nafasmu, dalam hidupmu penuhilah permintaan terakhirnya.”

Permintaan terakhir???? Jangan manja kamu Bel. Kamu ga pernah mengajari orang untuk merajuk minta dikasihani.

Dalam Nafasku? Angela tau itu?

“Angela maaf.. darimana kamu tau antara aku dan Abel…”
”Sudahlah. Tak penting bagiku. Yang penting Abel tenang menghadapi masa-masa krisisnya. “ katanya.

Ya aku ingat Dian pernah bercerita bahwa Abel menikah dengan tunangannya yang bernama Angel yang selama mereka berhubungan, Nara malas membahasnya dan apatis untuk mengetahui siapa dan seperti apa tunangannya itu begitupun Abel yang tak ingin menyakiti Nara dengan menyinggung hal itu. Bahwa ia dipindahkan ke cabang perusahaannya di Malang menjadi Branch Manager di sana dan bahwa ia masih sering bertanya keadaanku kepada Dian sesekali mereka bertemu di Bogor ataupun jika ada acara gathering keluarga para pecinta alam seJakarta. Namun ia hanya bertanya sebagai teman. Dian tak tau ataupun menaruh curiga tentang apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Abel.

Tak ada yang tau kecuali aku, Abel, bukit-bukit yang sering kami pijak dan juga Tuhanku dan Tuhannya yang kata orang berbeda. Tak ada yang tahu bahwa kami saling mencintai dan atas dasar cinta itu ke manapun Abel pergi berpetualang, ia akan selalu mengajakku. Tak berbeda denganku. Seandainya Abel berhalangan ikut, maka aku pun akan membatalkan rencana perjalanan dengan berbagai alasan. Bagiku saat itu tak ada yang bisa mengerti dan menjagaku di hutan belantara dan tempat yang asing kecuali Abel. Dan tak ada satupun yang tahu. Aku adalah rahasia terbesar hidupnya.

 

“Akan aku usahakan Angela. Tapi tak bisa secepat yang kamu minta. Aku harus mengurus banyak hal untuk pulang ke sana.”

“Kumohon secepatnya Nara. Sepertinya dia tak punya waktu lama untuk menunggumu.”

Nggak. Abel selalu menungguku. Meskipun aku datang terlambat. Dia selalu menungguku. Dan selambat apapun aku berjalan menaiki bukit-bukit terjal dia selalu ada di belakangku menungguku melangkah dan mengambil napas.

“Iya Angela. Terima kasih. Aku pasti ke sana.”

Aku pasti ke sana, apakah ia masih hidup ataupun sudah terlelap bersama mentari pulang ke peraduannya, aku akan melihatmu Bel. Karena itu janji kita dahulu.

 

“Bel, seandainya salah satu di antara kita sekarat duluan gimana?”

“Ya… salah satu diantara kita harus datang melihat bagaimana tampang kita yang sekarang. Ya at least kita bisa cerita seperti apa malaikat kita masing-masing kan?”

“Maksud kamu?”

“Ya… Tuhan kita saja beda, apalagi malaikatnya. Ya kan? Nanti kamu atau aku bisa bercerita seperti apa malaikat maut kita masing-masing”

Aku hanya tersenyum.

“Aku akan datang dan kamu juga akan datang kan? Bukan untuk mencari tau bagaimana bentuk malaikat maut itu, tapi untuk melihat senyummu yang nantinya akan mengantarku tertidur”

Katanya di senja sore.

“Dan kalau aku jauh?”
”aku akan menunggu sampai kau datang”

“Kalau akhirnya aku tidak datang?”
”I’ll wait for you for the rest of my life and death”

 

Angela menjelaskan panjang lebar tentang Abel sambil menunggu Dokter memeriksa keadaan Abel yang kabarnya baru siuman setelah 3 hari ini dia tidak menunjukkan tanda-tanda membaik.

“Mungkin dia tau, kamu datang ya Ra jadi dia cepat-cepat bangun”

Aku tersenyum getir. Ada rasa tidak enak pada Angela. Meskipun rasa tidak enak itu tidak tampak pada Angela. Dia berbicara dengan ketulusan yang bisa aku rasakan. Tapi rasa sedihku lebih besar melihat keadaan Abel dari jendela ruangnya yang dipenuhi tabung-tabung oksigen dan alat pendeteksi jantung di sebelah kirinya. Wajahnya tampak menua. Dia kan 6 tahun di atasku. Ada jambang dan kumis tipis. Ubannya makin terlihat. Namun wajahnya masih lucu di  mataku meskipun tertutup tabung napas di hidung dan mulutnya.

“Ra, lihat Abel sudah membuka mata. Mama… Abel sudah membuka matanya.” Angela kegirangan memberi tahu ibu mertuanya dan disambut dengan muka kagum perempuan yang dari tadi tak henti-hentinya berkomat-kamit memegangi rosario dan alkitab itu. Ayah Abel pun tak kuasa menahan tangis berdiri di belakangku.

Dan mataku tertuju pada Abel  yang berusaha berbicara pada dokter. Tak lama kemudian kulihat dokter membuka tabung napas di mulutnya.

Kulihat ia menoleh ke arah kami yang hanya dibatasi oleh jendela kaca. Mata itu menatapku. Bibirnya berusaha tersenyum. Tak berapa lama ia memberi isyarat kepada perawat di sampingnya meminta supaya ia dapat berbicara pada Angela.

 

“Jadi kamu Nara ya?” Kata Ibu Abel, sesaat setelah suasana hening diantara kami tercipta ketika Angela masuk ke ruangan melihat suaminya.

“Iya. Saya Nara. Narandita”

“Saya pernah mendengar nama itu dulu. Dia pernah cerita kalau dia memiliki teman naik gunung yang sehati, Abel bilang dia paling cocok sama dia. Katanya dia mirip orang Jepang, matanya sipit berlesung pipit. Kecil dan berjilbab tapi tetap gesit. Suka sekali dengan brownis kukus yang dibawanya tiap kali dia pergi naik gunung. Dan itu ternyata kamu ya. “

“Iya. Itu saya Bu”

Tak pernah kusangka kalau Abel akan bercerita tentang aku pada Ibunya. Brownisnya memang pasti hanya untukku. Ia akan menyisahkannya beberapa potong untukku seandainya banyak teman-teman yang mengeroyoknya.

“Brownis itu Ibu yang membuat. Abel cerita kan?”

“Iya bu. Abel juga cerita.”

Abel selalu menceritakan semua. Hampir saja air mata ini mengalir mengenang semuanya.

Abel yang baik hati dan terkenal penolong pada teman-temannya. Kami tak pernah menyinggung iman kami yang berbeda.

Tiap kali berjalan jauh dia hanya akan mengingatkanku, “Hun, udah jam berapa nih? Kamu belum sembahyang yang kedua ya? Ntar telat lo.” Aku tersenyum. Dia menyebut dhuhur sebagai sembahyang kedua. Ashar sebagai sembahyang ke tiga dan seterusnya.

Dan aku hanya akan meledeknya seadainya ia malas bangun pagi di hari Minggu.

“Hun, kamu tuh ya sudah sekali seminggu bertemu Tuhan, masih aja malas. Kurang enak apalagi sih?”

“Sore ga papa kok Hun”

“Bukannya kalo pagi lebih banyak pahalanya? Kan ngadepnya duluan? Daripada kalo sore, pahalanya pasti lebih dikit. Bukan gitu?”

“Bukan” Katanya cuek di telpon.

Seperti itulah kami, hingga akhirnya kami sadar, kami takkan bisa bersatu dalam perbedaan ini. Dia memilih hidup dengan tunangannya meskipun ia tak punya cinta sebesar cintanya padaku. Ia tak mau mengecewakan banyak orang meskipun ia harus berkorban.

 

“Aku milih mengorbankan semua rasa itu hun. Aku tau kamu sakit dengan keputusan ini. Aku juga tau, aku tidak mencintainya tapi akan lebih sakit jika aku harus mengorbankan banyak hal dan mengecewakan banyak pihak. Kamu pasti bisa bahagia tanpaku.”

“Bahagiaku hanya bersamamu Bel” aku masih mendesaknya untuk mempertahankan hubungan ini meskipun aku tau sulit dan tidak mungkin.

“Bahagiamu bukan tergantung padaku. Tapi pada ini” Tangannya menempel pada dadaku. Aku menangis di pelukannya.

Nara, Hunny…. Ikhlaskan hubungan ini ya. Berat, tapi kita harus melihat kenyataan kita masing-masing. Kamu berhak bahagia. Tuhan pasti sudah memilihkan yang terbaik buatmu. Dan itu bukan aku. Kamu punya hak memamerkan bahagiamu itu pada dunia. Denganku kamu hanya akan menderita. Menderita karena perbedaan. Tidak mudah hun bersama dalam perbedaan.”

“I love you hun..” Aku makin membasahi bajunya.

“So do I. I just love the way you are. Never change anything in you. I just love you. That’s all I know.”

“Kamu ga akan bisa bahagia tanpaku Bel. Seperti aku yang ga mungkin bisa bernapas tanpamu!! Bel, kenapa kamu tidak bisa mempertahankan cintamu? Aku takkan bahagia tanpamu”

Abel terdiam. Dia tidak menjawab melainkan hanya memelukku yang masih menangis.

Nafasnya masih terasa di diantara kerudungku. Dan itu adalah pelukan Abel yang terakhir untukku.

 

Sentuhan Angela di pundakku mengagetkan aku. Ia memintaku untuk masuk.

“Abel ingin bertemu kamu Ra.”
aku menoleh pada ibu abel di sampingku. Masih dalam komat-kamit beriringan dengan rosario di tangannya, ia mengangguk dan tersenyum.

“Terima kasih” kataku pada Angela.

Jika rasa untuknya sudah tak ada mengapa aku masih merasakan ini? Getaran sakit itu. Aku merasa sakitmu Bel.

 

Ruangan itu berwarna hijau, kelambunya hijau seperti baju abel yang hijau dan bemotif l bulat putih. Aku memperhatikannya.

Nara” panggilnya. Kepalnya bersandar pada tempat tidur yang sudah diset sedemikian rupa supaya dia bisa setengah duduk.  Selangnya masih ada di tangan dan hidungnya.

“Abel”

 “Pa kabar?” katanya. Hausnya aku yang bertanya padanya.

“Baik”

“Kamu? Ngapain sih pake dikasih selang-selang seperti ini? Mulai manja ya?”

Abel hanya tersenyum namun tak sedetikpun matanya berkedip menatapku.

Mungkin dia pun melihat air mata yang hampir jatuh ini.

“Kenapa ga kirim kabar ke aku kalo kamu sedang sakit Bel?”

“Aku tak mau merepotkanmu Ra”

“Do you think I will be more fun to see u this way?”

“Therefore I didn’t want you to know.”

“Tak bisa memilikimu sudah cukup membuatku menangis Bel.”

“Kamu masih ingat percakapan kita 10 tahun yang lalu? “God will choose you the best.” Yes, He did. You got the best, you can build your dreams while you have him on your side.”

Hening

“Sudah berapa anakmu Ra?”

“Dua.”

“Bagus. Kamu bahagia kan bersama mereka?”

“Iya. Cukup bahagia”

“Aku juga, meskipun Angela tidak bisa memberiku keturunan. Aku tetap pada komitmen awalku. Aku hanya akan setia padanya sampai aku mati. Tuhan sudah memilihnya untukku”

“Apa tujuanmu ingin bertemu denganku Bel? Untuk menunjukkan bahwa kamu bahagia? Untuk mengetahui bahwa aku tetap mencintaimu?

Untuk apa?”

 

“Tidak.”

“Aku hanya ingin melihat senyummu sebelum kuterlelap.”

“Aku merasa bersalah telah meninggalkanmu. Tapi tak pernah menyesal utuk itu. Karena kamu sudah menemukan bahagiamu.”

Abel menitikkan air mata.

Nara…” tangannya meraih jari-jariku. Tak semuanya ia rengkuh. Ia hanya meraih jari-jari Nara. Air mata ini makin deras keluar.

“We’ll see again someday. Meskipun kata mereka Tuhan kita beda sepertinya Surga kita berdekatan, kita pasti bertemu kan?”

“Iya. Pasti bertemu”

Aku tersenyum.

“Iya nanti kita pasti ketemuan lagi di surga. Kita ketemuan di café madu sebelah pos polisi yang di atas halte itu ya.” ujarku.

Abel ikut tersenyum.

“Iya. Tapi mungkin pos polisi sama café-nya sudah dibongkar. Jadi biar aku yang akan menjemputmu”

Kami tertawa dalam deras air mata kami masing-masing. Nara selalu ingat bahwa sesedih apapun, semarah apapun, guyonan-guyonan ringan Abel pasti terlontar hingga membuatnya tertawa.

“Ra, maafkan aku. Aku belum sempat mengucap ini padamu saat terakhir kita bertemu.”

Nara tersenyum kali ini dia mengusap air matanya dengan tangan kirinya. Tangan kanannya masih berada dalam genggamannya.

“Aku tak pernah merasa tersakiti olehmu Bel. Dan tak pernah menyesal bertemu denganmu dan mencintaimu.“
"So, you do believe that you are my truly love?"
"Ya.”
Abel diam dan memejamkan matanya sambil tersenyum. Wajahnya terlihat makin tenang. Setenang yang kukenal dulu. Dalam keheningannya. Genggamannya mengendur. Kulepaskan tanganku perlahan-lahan. Kusapukan tanganku pada pipinya dan kukecup keningnya untuk yang terakhir.
“Tidurlah hun.”
Dan aku berjalan keluar tanpa menoleh ke arahnya karena kupercaya suatu saat kita pasti bertemu. Kulihat Angela, Ibu dan Ayah Abel sudah bersiap masuk ke dalam ruangan ini. Aku tersenyum pada mereka.

“Terima kasih kamu sudah mau datang Ra. Terima kasih sekali, aku harus membalas dengan apa?”

 “Maafkan aku Angela” Aku memeluk Angela.

Saat tanganku menyentuh tombol elevator. Kudengar ledakan tangis di kamar Abel. Abel akan menungguku. Karena itu aku tak akan menangis.

Beberapa saat kemudian, kudengar hanponku berdering.

“Iya mas. Dian sudah baikan. Tapi belum boleh bicara. Aku sudah on the way ke airport. Mas gimana? Baik-baik aja kan? Bener kan aku ga lama di sini.”

Judulnya apaan ya???

Aku sampai di depan pintu Rumah sakit berarsitektur Belanda dengan desain yang sudah kuno namun tetap bersih dan tenang. Jauh berbeda dengan rumah sakit umum milik pemerintah yang biasanya padat akan pengunjung yang berlari ke sana ke mari dengan petugas-petugas super cuek yang kalau tidak pas dengan hati mereka, tidak akan dilayani dengan benar. Seorang doorman di pintu gerbang depan yang mengenakan seragam layaknya doorman hotel-hotel berbintang menyambutku. Hem luar biasa, di Tokyo pun belum pernah kulihat rumah sakit yang memperlakukan tamu sedemikian ramahnya.

“Selamat siang Bu” sapanya. Aku hanya tersenyum padanya. Aku sudah tidak bisa berkata apapun sejak kuputuskan untuk berangkat menuju kota apel ini sore kemaren. Buru-buru kutekan tombol lift yang tak jauh dari pintu gerbang rumah sakit tersebut. Demi mencapai tempat ini aku harus melakukan kebohongan kepada Mas Rey. Aku mengatakan bahwa Dian sedang dirawat di Rumah Sakit karena Jantungnya kumat dan ingin sekali bertemu denganku. Maafkan aku mas. Maafkan aku Day.  

 

“Apa ga bisa bicara ma Dian pertelpon saja Ra?”

“Mas, bukannya aku ga mau bicara per telpon dengannya. Tapi ini yang sakit Dian, bukan siapa-siapa. Mas tau kan Dian itu siapanya aku? Dian itu lebih dari sodara mas. Yang ngerawat Nara waktu mas tinggal tugas ke Cairo dulu siapa? Dian kan? Dia sampai ninggalin kerjaannya sebulan demi nungguin aku sama kandungan lemahku. Mas ga lupa kan? Sekarang, giliran dia yang sakit harusnya Nara di sana buat ngasih semangat dia mas”

“ Ya sudah. Terus bagaimana dengan anak-anak? Sudah dibereskan urusan mereka?”

“ Aku sudah pesan ke Keiko untuk menemani mereka sepulang sekolah sampai kamu datang. Jadwal kursus Ei-go Nabila dan Dafa sudah ada di tangannya. Lagipula aku ga akan lama kok. Cuma 3 atau 4 hari aja mas“

“Ya wis. Kamu berangkat saja. Nanti kalau sudah sampai Bogor, kamu langsung telpon aku. Aku juga pengen ngomong sama Dian. Pengen ngasih semangat”

 

Bogor. Ya Dian memang tinggal di Bogor. Tapi yang akan kujenguk ini bukan di Bogor, tapi di Malang. Subuh tadi, hanya terpaut 3 jam dari kedatanganku dari Tokyo aku langsung menuju loket sebuah maskapai penerbangan dan mencari tiket yang berangkat paling pagi menuju Surabaya. Sukurlah aku dapat meskipun dengan harga selangit dan sampainya aku di Juanda aku mencarter mobil menuju Malang. Dan disinilah aku sekarang beberapa langkah dari tempatku berdiri aku akan bertemu lagi dengannya. Abel. Separah apakah dirinya?

 

Ting!!

Lift terbuka di lantai 4, Segera kupercepat langkahku mencari ruang kamar nomer 423.

Apa yang akan dikatakan keluarga Abel tentangnya? Perempuan yang sudah ditunggu kedatangannya oleh Abel sejak ia tak sadarkan diri seminggu yang lalu. Perempuan yang sekarang mengenakan baju merah lengan panjang dan kerah yang keluar diantara rompi warna hitamnya, ber jeans dan berjilbab. Muslimah yang sangat preppy. Begitu kata Abel dahulu. Biarlah. Toh yang memintaku ke sini adalah Angela, istri Abel sendiri.

Ini dia kamar 423.

Di depanku tampak seorang ibu yang sudah beruban duduk sambil memegangi rosario di tangannya. Matanya basah. Dan Seorang bapak yang termangu di depan pintu kamar 423

 

“Maaf pak. Apakah ini tempat Abel di rawat?” tanyaku pada Bapak yang kebetulan berada di depanku.

Bapak tadi heran melihat Nara.

“Iya. Anda siapa? Tanyanya.

“Na…” Belum selesai kusebut namaku, seseorang memotongnya

Nara?” sapa wanita di antara keramaian tadi yang langsung bangkit dari kursinya di pojok ruangan sesaat ketika Nara datang.

“Iya.”

“Aku Angela. Istri Abel. Ini Bapak dan Ibu Mas Abel”

Nara” kataku sambil menyambut hangat tangan Angela dan tersenyum kepada Bapak dan Ibu yang ditunjukkan. Mereka makin heran.

 

Semua karena telpon di pagi hari ketika aku berada di dalam chikatetsu menuju universitas tempat ku mengajar di tengah kota Tokyo. Nomer Indonesia ber local area 0341. Malang. Nomer siapa? Aku tidak punya kerabat di Malang. Bahkan teman.

“Halo Assalamualaikum. ” Jawabku.

“Halooo. Ini dengan Nara?” kata suara di telpon.

“Iya. Maaf ini siapa?”

“Aku Angela.”

“Angela? Siapa ya?”

“Aku istri Abel”

Aku terdiam seketika. Abel? Dia… sudah hampir 10 tahun kami tak bertemu. Sejak aku memutuskan untuk bertunangan dengan mas Rey, kami sudah tidak pernah lagi saling menghubungi dan bertukar cerita. Kudengar 3 tahun setelah aku menikah, ia akhirnya menikahi tunangan yang sudah dipacarinya 9 tahun itu. Setelah itu tak ada lagi kabar tentangnya karena aku diboyong mas Rey mengikuti ke manapun dia bertugas sebagai pegawai KBRI.

“Halo.. Nara.. kamu Narandita kan? Teman mendakinya mas Abel dulu?”

“Iya. Tapi maaf, sudah lama sekali saya tidak bertemu dengan Abel. Ada urusan apa ya mbak?”

“Forget it. Abel sekarang dirawat di Rumah Sakit di Malang Ra. Jantungnya sudah lemah sekali. 

Tanganku gemetar. Dadaku sesak. Hampir saja aku terjatuh ketika Angela meneruskan kata-katanya

“Minggu kemaren sudah ketiga kali dia koma. Tapi Puji Tuhan dia masih bisa siuman”

Suara Angela masih saja terdengar bercerita tentang keadaan Abel bahwa ia mengidap jantung sejak 5 tahun lalu dan sejak itu ia sering sakit-sakitan. Bahwa ia terlalu sibuk bekerja hingga tidak sempat berolahraga dan menjaga kesehatannya. Kegiatan wajibnya.

 

Persetan dengan itu. yang kutahu Abel terkapar di sana. Dan yang kudengar dari mulut Angela, permintaan Abel, jika ia diberi keajaiban bisa lolos dari koma ia hanya ingin dipertemukan dengan Nara teman naik gunungnya dahulu, hingga akhirnya selama seminggu ini ia mencari tau keberadaan Nara lewat Dian.

Getaran itu kurasakan kini. Tubuhku lemas, sepertinya semua tulang dan sendiku menjadi lunak. Getaran kekhawatiran seperti ketika ia mengkhawatirkanku ketika aku tiba-tiba diam tak bergerak selama 25 menit karena fertigo yang menyerangku saat aku hanya berada 300 meter menuju puncak Rinjani.

Nara… kumohon jika engkau menganggap Abel pernah ada dalam nafasmu, dalam hidupmu penuhilah permintaan terakhirnya.”

Permintaan terakhir???? Jangan manja kamu Bel. Kamu ga pernah mengajari orang untuk merajuk minta dikasihani.

Dalam Nafasku? Angela tau itu?

“Angela maaf.. darimana kamu tau antara aku dan Abel…”
”Sudahlah. Tak penting bagiku. Yang penting Abel tenang menghadapi masa-masa krisisnya. “ katanya.

Ya aku ingat Dian pernah bercerita bahwa Abel menikah dengan tunangannya yang bernama Angel yang selama mereka berhubungan, Nara malas membahasnya dan apatis untuk mengetahui siapa dan seperti apa tunangannya itu begitupun Abel yang tak ingin menyakiti Nara dengan menyinggung hal itu. Bahwa ia dipindahkan ke cabang perusahaannya di Malang menjadi Branch Manager di sana dan bahwa ia masih sering bertanya keadaanku kepada Dian sesekali mereka bertemu di Bogor ataupun jika ada acara gathering keluarga para pecinta alam seJakarta. Namun ia hanya bertanya sebagai teman. Dian tak tau ataupun menaruh curiga tentang apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Abel.

Tak ada yang tau kecuali aku, Abel, bukit-bukit yang sering kami pijak dan juga Tuhanku dan Tuhannya yang kata orang berbeda. Tak ada yang tahu bahwa kami saling mencintai dan atas dasar cinta itu ke manapun Abel pergi berpetualang, ia akan selalu mengajakku. Tak berbeda denganku. Seandainya Abel berhalangan ikut, maka aku pun akan membatalkan rencana perjalanan dengan berbagai alasan. Bagiku saat itu tak ada yang bisa mengerti dan menjagaku di hutan belantara dan tempat yang asing kecuali Abel. Dan tak ada satupun yang tahu. Aku adalah rahasia terbesar hidupnya.

 

“Akan aku usahakan Angela. Tapi tak bisa secepat yang kamu minta. Aku harus mengurus banyak hal untuk pulang ke sana.”

“Kumohon secepatnya Nara. Sepertinya dia tak punya waktu lama untuk menunggumu.”

Nggak. Abel selalu menungguku. Meskipun aku datang terlambat. Dia selalu menungguku. Dan selambat apapun aku berjalan menaiki bukit-bukit terjal dia selalu ada di belakangku menungguku melangkah dan mengambil napas.

“Iya Angela. Terima kasih. Aku pasti ke sana.”

Aku pasti ke sana, apakah ia masih hidup ataupun sudah terlelap bersama mentari pulang ke peraduannya, aku akan melihatmu Bel. Karena itu janji kita dahulu.

 

“Bel, seandainya salah satu di antara kita sekarat duluan gimana?”

“Ya… salah satu diantara kita harus datang melihat bagaimana tampang kita yang sekarang. Ya at least kita bisa cerita seperti apa malaikat kita masing-masing kan?”

“Maksud kamu?”

“Ya… Tuhan kita saja beda, apalagi malaikatnya. Ya kan? Nanti kamu atau aku bisa bercerita seperti apa malaikat maut kita masing-masing”

Aku hanya tersenyum.

“Aku akan datang dan kamu juga akan datang kan? Bukan untuk mencari tau bagaimana bentuk malaikat maut itu, tapi untuk melihat senyummu yang nantinya akan mengantarku tertidur”

Katanya di senja sore.

“Dan kalau aku jauh?”
”aku akan menunggu sampai kau datang”

“Kalau akhirnya aku tidak datang?”
”I’ll wait for you for the rest of my life and death”

 

Angela menjelaskan panjang lebar tentang Abel sambil menunggu Dokter memeriksa keadaan Abel yang kabarnya baru siuman setelah 3 hari ini dia tidak menunjukkan tanda-tanda membaik.

“Mungkin dia tau, kamu datang ya Ra jadi dia cepat-cepat bangun”

Aku tersenyum getir. Ada rasa tidak enak pada Angela. Meskipun rasa tidak enak itu tidak tampak pada Angela. Dia berbicara dengan ketulusan yang bisa aku rasakan. Tapi rasa sedihku lebih besar melihat keadaan Abel dari jendela ruangnya yang dipenuhi tabung-tabung oksigen dan alat pendeteksi jantung di sebelah kirinya. Wajahnya tampak menua. Dia kan 6 tahun di atasku. Ada jambang dan kumis tipis. Ubannya makin terlihat. Namun wajahnya masih lucu di  mataku meskipun tertutup tabung napas di hidung dan mulutnya.

“Ra, lihat Abel sudah membuka mata. Mama… Abel sudah membuka matanya.” Angela kegirangan memberi tahu ibu mertuanya dan disambut dengan muka kagum perempuan yang dari tadi tak henti-hentinya berkomat-kamit memegangi rosario dan alkitab itu. Ayah Abel pun tak kuasa menahan tangis berdiri di belakangku.

Dan mataku tertuju pada Abel  yang berusaha berbicara pada dokter. Tak lama kemudian kulihat dokter membuka tabung napas di mulutnya.

Kulihat ia menoleh ke arah kami yang hanya dibatasi oleh jendela kaca. Mata itu menatapku. Bibirnya berusaha tersenyum. Tak berapa lama ia memberi isyarat kepada perawat di sampingnya meminta supaya ia dapat berbicara pada Angela.

 

“Jadi kamu Nara ya?” Kata Ibu Abel, sesaat setelah suasana hening diantara kami tercipta ketika Angela masuk ke ruangan melihat suaminya.

“Iya. Saya Nara. Narandita”

“Saya pernah mendengar nama itu dulu. Dia pernah cerita kalau dia memiliki teman naik gunung yang sehati, Abel bilang dia paling cocok sama dia. Katanya dia mirip orang Jepang, matanya sipit berlesung pipit. Kecil dan berjilbab tapi tetap gesit. Suka sekali dengan brownis kukus yang dibawanya tiap kali dia pergi naik gunung. Dan itu ternyata kamu ya. “

“Iya. Itu saya Bu”

Tak pernah kusangka kalau Abel akan bercerita tentang aku pada Ibunya. Brownisnya memang pasti hanya untukku. Ia akan menyisahkannya beberapa potong untukku seandainya banyak teman-teman yang mengeroyoknya.

“Brownis itu Ibu yang membuat. Abel cerita kan?”

“Iya bu. Abel juga cerita.”

Abel selalu menceritakan semua. Hampir saja air mata ini mengalir mengenang semuanya.

Abel yang baik hati dan terkenal penolong pada teman-temannya. Kami tak pernah menyinggung iman kami yang berbeda.

Tiap kali berjalan jauh dia hanya akan mengingatkanku, “Hun, udah jam berapa nih? Kamu belum sembahyang yang kedua ya? Ntar telat lo.” Aku tersenyum. Dia menyebut dhuhur sebagai sembahyang kedua. Ashar sebagai sembahyang ke tiga dan seterusnya.

Dan aku hanya akan meledeknya seadainya ia malas bangun pagi di hari Minggu.

“Hun, kamu tuh ya sudah sekali seminggu bertemu Tuhan, masih aja malas. Kurang enak apalagi sih?”

“Sore ga papa kok Hun”

“Bukannya kalo pagi lebih banyak pahalanya? Kan ngadepnya duluan? Daripada kalo sore, pahalanya pasti lebih dikit. Bukan gitu?”

“Bukan” Katanya cuek di telpon.

Seperti itulah kami, hingga akhirnya kami sadar, kami takkan bisa bersatu dalam perbedaan ini. Dia memilih hidup dengan tunangannya meskipun ia tak punya cinta sebesar cintanya padaku. Ia tak mau mengecewakan banyak orang meskipun ia harus berkorban.

 

“Aku milih mengorbankan semua rasa itu hun. Aku tau kamu sakit dengan keputusan ini. Aku juga tau, aku tidak mencintainya tapi akan lebih sakit jika aku harus mengorbankan banyak hal dan mengecewakan banyak pihak. Kamu pasti bisa bahagia tanpaku.”

“Bahagiaku hanya bersamamu Bel” aku masih mendesaknya untuk mempertahankan hubungan ini meskipun aku tau sulit dan tidak mungkin.

“Bahagiamu bukan tergantung padaku. Tapi pada ini” Tangannya menempel pada dadaku. Aku menangis di pelukannya.

Nara, Hunny…. Ikhlaskan hubungan ini ya. Berat, tapi kita harus melihat kenyataan kita masing-masing. Kamu berhak bahagia. Tuhan pasti sudah memilihkan yang terbaik buatmu. Dan itu bukan aku. Kamu punya hak memamerkan bahagiamu itu pada dunia. Denganku kamu hanya akan menderita. Menderita karena perbedaan. Tidak mudah hun bersama dalam perbedaan.”

“I love you hun..” Aku makin membasahi bajunya.

“So do I. I just love the way you are. Never change anything in you. I just love you. That’s all I know.”

“Kamu ga akan bisa bahagia tanpaku Bel. Seperti aku yang ga mungkin bisa bernapas tanpamu!! Bel, kenapa kamu tidak bisa mempertahankan cintamu? Aku takkan bahagia tanpamu”

Abel terdiam. Dia tidak menjawab melainkan hanya memelukku yang masih menangis.

Nafasnya masih terasa di diantara kerudungku. Dan itu adalah pelukan Abel yang terakhir untukku.

 

Sentuhan Angela di pundakku mengagetkan aku. Ia memintaku untuk masuk.

“Abel ingin bertemu kamu Ra.”
aku menoleh pada ibu abel di sampingku. Masih dalam komat-kamit beriringan dengan rosario di tangannya, ia mengangguk dan tersenyum.

“Terima kasih” kataku pada Angela.

Jika rasa untuknya sudah tak ada mengapa aku masih merasakan ini? Getaran sakit itu. Aku merasa sakitmu Bel.

 

Ruangan itu berwarna hijau, kelambunya hijau seperti baju abel yang hijau dan bemotif l bulat putih. Aku memperhatikannya.

Nara” panggilnya. Kepalnya bersandar pada tempat tidur yang sudah diset sedemikian rupa supaya dia bisa setengah duduk.  Selangnya masih ada di tangan dan hidungnya.

“Abel”

 “Pa kabar?” katanya. Hausnya aku yang bertanya padanya.

“Baik”

“Kamu? Ngapain sih pake dikasih selang-selang seperti ini? Mulai manja ya?”

Abel hanya tersenyum namun tak sedetikpun matanya berkedip menatapku.

Mungkin dia pun melihat air mata yang hampir jatuh ini.

“Kenapa ga kirim kabar ke aku kalo kamu sedang sakit Bel?”

“Aku tak mau merepotkanmu Ra”

“Do you think I will be more fun to see u this way?”

“Therefore I didn’t want you to know.”

“Tak bisa memilikimu sudah cukup membuatku menangis Bel.”

“Kamu masih ingat percakapan kita 10 tahun yang lalu? “God will choose you the best.” Yes, He did. You got the best, you can build your dreams while you have him on your side.”

Hening

“Sudah berapa anakmu Ra?”

“Dua.”

“Bagus. Kamu bahagia kan bersama mereka?”

“Iya. Cukup bahagia”

“Aku juga, meskipun Angela tidak bisa memberiku keturunan. Aku tetap pada komitmen awalku. Aku hanya akan setia padanya sampai aku mati. Tuhan sudah memilihnya untukku”

“Apa tujuanmu ingin bertemu denganku Bel? Untuk menunjukkan bahwa kamu bahagia? Untuk mengetahui bahwa aku tetap mencintaimu?

Untuk apa?”

 

“Tidak.”

“Aku hanya ingin melihat senyummu sebelum kuterlelap.”

“Aku merasa bersalah telah meninggalkanmu. Tapi tak pernah menyesal utuk itu. Karena kamu sudah menemukan bahagiamu.”

Abel menitikkan air mata.

Nara…” tangannya meraih jari-jariku. Tak semuanya ia rengkuh. Ia hanya meraih jari-jari Nara. Air mata ini makin deras keluar.

“We’ll see again someday. Meskipun kata mereka Tuhan kita beda sepertinya Surga kita berdekatan, kita pasti bertemu kan?”

“Iya. Pasti bertemu”

Aku tersenyum.

“Iya nanti kita pasti ketemuan lagi di surga. Kita ketemuan di café madu sebelah pos polisi yang di atas halte itu ya.” ujarku.

Abel ikut tersenyum.

“Iya. Tapi mungkin pos polisi sama café-nya sudah dibongkar. Jadi biar aku yang akan menjemputmu”

Kami tertawa dalam deras air mata kami masing-masing. Nara selalu ingat bahwa sesedih apapun, semarah apapun, guyonan-guyonan ringan Abel pasti terlontar hingga membuatnya tertawa.

“Ra, maafkan aku. Aku belum sempat mengucap ini padamu saat terakhir kita bertemu.”

Nara tersenyum kali ini dia mengusap air matanya dengan tangan kirinya. Tangan kanannya masih berada dalam genggamannya.

“Aku tak pernah merasa tersakiti olehmu Bel. Dan tak pernah menyesal bertemu denganmu dan mencintaimu.“

So, you do believe that you are my truly love?

“Ya.”

Abel diam dan memejamkan matanya sambil tersenyum. Wajahnya terlihat makin tenang. Setenang yang kukenal dulu. Dalam keheningannya. Genggamannya mengendur. Kulepaskan tanganku perlahan-lahan. Kusapukan tanganku pada pipinya dan kukecup keningnya untuk yang terakhir.

“Tidurlah hun.”

 

Dan aku berjalan keluar tanpa menoleh ke arahnya karena kupercaya suatu saat kita pasti bertemu. Kulihat Angela, Ibu dan Ayah Abel sudah bersiap masuk ke dalam ruangan ini. Aku tersenyum pada mereka.

“Terima kasih kamu sudah mau datang Ra. Terima kasih sekali, aku harus membalas dengan apa?”

 “Maafkan aku Angela” Aku memeluk Angela.

 

Saat tanganku menyentuh tombol elevator. Kudengar ledakan tangis di kamar Abel. Abel akan menungguku. Karena itu aku tak akan menangis.

Beberapa saat kemudian, kudengar hanponku berdering.

“Iya mas. Dian sudah baikan. Tapi belum boleh bicara. Aku sudah on the way ke airport. Mas gimana? Baik-baik aja kan? Bener kan aku ga lama di sini.”