Sunday, May 31, 2009

Mengenang masa lewat tulisan

Terpancing ikud geram juga saat seorang teman menutup website pribadi hanya karena dia dicemburui oleh pasanganya. Yang menjadi pertanyaan dalam diri saya apakah rasa cemburu, sakit hati dan kemarahan bisa diobati dengan cara demikian? Bersikap jujur pada diri sendiri adalah hal yang saya rasakan sebagai perang terbesar saat kita berada di posisi ini. Bukankah dengan memintanya menutup blog ataupun website pasangan sama dengan memenjarakan kebebasan ia bermain dengan mainanya. Facebook, multiply ataupun blogspot buat saya adalah alat kemerdekaan yang tidak akan saya hapus hingga saya menua ataupun hingga saya tidak mampu melangkah lagi. Kesemuanya adalah sarana saya mengabadikan apa yang ada diotak saya saat itu. Dengan siapa saja pernah mencinta, bagaimana saya bertingkah dan seperti apa saya menggoreskan cerita lewat gambar dan kata2, Pun, bagaimana saya pernah menggunjing atau digunjingkan, Pendeknya seperti apa dunia pada detik itu bercerita akan terukir di situ.

Ah, bagi saya adalah hal bodoh dan terlalu picik untuk menghalangi kebebasan seorang pasangan. Atau mungkin pasangan tersebut bermodal pas-pasan hingga menebarkan kuasanya dengan embel-embel "cemburu!" Cuih....

Jika nanti masih kuat saya berprinsip, saat masa tua itu datang saya tidak akan mampu mewariskan apa apa buat dunia di sekeliling saya kecuali cerita bahwa saya pernah seperti ini dan seperti itu. Dan coretan-coretan atau pajangan-pajangan yang saya abadikan adalah sebuah cerminan akan kelakuan saya di masa dahulu ataupun lalu tanpa maksud menggurui pembaca.
Oh iya, pasangan saya di masa mendatang atau masa kini (jika ada) akan saya beri 'police line" untuk tidak mengacak-acaknya karena saya juga tidak punya hak untuk menelisik dan menyusupi apapun yang pasangan saya lakukan di dunianya. Cukup memilikinya dan membiarkannya bermain dengan hidupnya.

Cukup fair bukan?

Monday, May 25, 2009

Menemui ABG (Anak Baduy Gaul)

"Sue... aku mo cerita." Cerita Joan dengan baju batik bertambal-tambal dalam satu kesempatan ketika tanpa sengaja dipertemukan lagi sesudah pertemuan aneh dan singkat di kereta menuju Bogor.
"Apa?"
"Mau ke Baduy nih. Yang confirm ....,....,...., Ikutan yuk aku belum pernah juga."
Wow. sudah lama saya ingin bertandang ke sana menjadi saksi cerita teman-teman yang pernah ke sana.
Sayang last minute cancellation dia kabarkan ketika kami siap-siap packing. Huh, tuh kan... ga jadi ngakak ala bencong bareng deh :(

Di atas Kereta Kambing Bersama 2 Betina
Cuma 2ribu aja, harga tiket kambing yang mengantarkan kami dari Kota ke Rangkasbitung kami memperoleh fasilitas tambahan selain tempat duduk yaitu sampah, keringat yang bercucuran, bau-bau tak sedap, tukang penjual buah dan penjual pernak pernik lucu plus copet-copet terampil.
3 Betina yang dari tadi sudah cape ketawa sendiri, dihibur lagi oleh kedatangan si merah menyala. Namanya Cecep dari Jogja yang langsung pindah kereta menemui kami. Pemandangan baru yang membuat kami geleng-geleng. I wondered what are the other reds he wore.
Sampai di Serpong kamipun bertemu lagi dengan mbak Aris. Asyiiikk.. Akhirnya sesudah sekian lama akhirnya kita bisa satu trip.
Di dalam kereta tak henti-hentinya kami tersenyum dan tertawa menikmati kereta yang lucu itu. Lucu? Iya. Karena keretanya mirip mikrolet dan pasar pindah. Penumpang bisa belanja di atas kereta karena banyaknya penjual di sana dan kerennya lagi bisa berhenti dimanapun penumpang mau. Mana ada kereta seperti itu selain kereta kambing ini.

Kelucuan tak berhenti di situ. Ketika kami akan berangkat menuju terminal Rangkasbitung dan Jeng Swas memutuskan hanya menggunakan 2 becak untuk menuju angkot yang dimaksud, apa yang terjadi pada kami berlima? 3 becak? Ah nanggung. 2 becak? Yang satunya disempilin di mana?
"San kamu, aku pangku aja. Sini!" Kata cecep. Halah.... Jadilah saya dipangku Cecep.
Sayang becaknya cuma jalan sebentar jadi acara dipangku cedep juga cuma sejenak. Cep pangku lagi ya kalo ketemu.. (Hahahah Ngarep!)

Perjalanan yang lama dan panjang hari itu berakhir ketika maghrib sesudah ojek kami meliuk-liuk mengantar kami ke Simpang Koranji dan berakhir di Desa Nangerang.
"Nama desa yang kita tuju nanti apa mbak Swas?"
"Cibeo, San."
 
Dari Desa Nangerang kami kudu menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam dan melewati beberapa desa Baduy Luar. Desa Cijengkol adalah desa Baduy Luar pertama yang kami masuki menyusul beberapa desa berikutnya yang saya lupa apa saja namanya. Baru 30 menit kami berjalan, seorang baduy luar mencegat kami dan berniat untuk mengantar kami ke Baduy Dalam. Usut punya usut ternyata si Bapak tersebut berniat juga berjualan ke Baduy dalam karena menurut peraturan, orang Baduy hanya boleh berbelanja pas hari Minggu.
Wah lumayan deh dapat guide dan teman selama perjalanan. Apalagi malam seperti itu Jeng Swas sempat berbisik juga kalau ia belum pernah memasuki Baduy di malam hari. Jadi untung lah kita.

Gelap berteman suara binatang malam beriringan dengan gemerisik aneh di belakang, saya mengintili si bapak guide. Jalanan yang kadang naik turun itu membuat napas kami naik turun tanpa ampun. Jembatan-jembatan bambu yang sedikit licin membuat saya sedikit was-was karena kami harus melintasi sungai-sungai di bawahnya.

Tepat setengah delapan kami melintasi Cikertawarna sebuah desa sebelum Cibeo. Sepi sekali seperti desa mati karena tak satupun terlintas ada makhluk hidup di sana juga tak terendus sedikitpun suara manusia yang menempati rumah-rumah di sana.
"Pak di mana semua orang-orangnya kok kosong desanya?"
"Lagi di kebun." Saya hanya mengangguk sok mengerti. Padahal saya tidak mengerti sama sekali penjelasannya. Baru besoknya Jeng Mbak Swas bercerita kalau orang-orang Baduy kalau sudah ke huma akan tinggal berbulan-bulan bekerja di sana membawa serta seluruh keluarganya. (Udah pada ngerti kan "Huma?" Ya itu lo yang biasanya kita mainin pas masih kecil dulu yang ada pion-pionnya... :p)

Pukul 8 teng. Tepat 2 jam kami mendapati keriuhrendahan suara penduduk saat langkah kami makin dekat dengan desa tujuan.

"Swasti?" Begitu sapa salah satu penduduk Bady dalam. Alhasil acara kami ke Baduy kali itu bak mengantar Mbak Swas pulang kampung. Hampir seluruh penduduk kampung Cibeo mengenal mbak Swasti. Saya curiga jengong-jengong dia adalah salah satu Jaro perempuan di sana.
Lalu kami pun dipersilahkan untuk menginap di salah satu rumah penduduk yang bernama pak Aldi. Seorang Baduy sederhana dengan 5 anak dan 1 istri yang rentang usianya tidak jauh berbeda padahal usianya baru 30 tahun.
Lalu kamipun bersama-sama memasak makan malam di sana dengan ditemani istri Aldi dan penduduk sekitar yang saling berkumpul di sana.
Saya tertarik sekali dengan gelas yang mereka pakai yang terbuat dari bambu. Padahal sudah niat sekali meminta 1 gelas buat kenang-kenangan namun saya lupa.
Malam itu sesudah acara memasak dan makan malam bersama sebagian penduduk setempat kamipun tertidur dengan pulas dan menuntaskan lelah di balik sleeping bag kami masing-masing. Ah iya, sebenarnya kami mandi dulu di sungai karena kalau kami menunggu besok maka tak nyaman bagi kami untuk mandi karena harus berbasah-basah di bawah terang. Oh no...

Next Morning.
Saya terpana dengan meriahnya mbak Aris mengajari anak-anak Pak Aldy mendendangkan lagu lupa.. lupa.. ingatnya kuburan Band sementara Mbak Swas sedang asyik meracik bumbu nasi goreng petai (iya petai temannya jengkolll). ak guru TK mbak Aris asyik menggoyang-goyangkan badannya mengajari mereka namun sayang ia lupa liriknya. Tapi saya yakin seandainya ia tidak lupa pun anak-anak itu tetap tidak mengerti maksud lagu tersebut. La wong bahasa Indonesia saja mereka susah kok.

Lalu untuk menutupi "ketidakberdayaan" mbak aris akan kelupaan akhirnya saya dan ema turun tangan menjadi bala bantuan supaya irama pagi itu sesuai birama yang sepatennya seperti halnya yang didendangkan oleh kuburan ban.
"C A minor.. D Minor ke G.. Ke C lagi... "

Ah sudahlah, kami lapar. Makan pagi yuwks.
Kembali kami berkumpul menikmati nasi goreng petai dan telor dadar serta sambal. Sederhana di antara kerumunan anggota keluarga pak Aldy dan tetangga-tetangganya.

Pukul 9 teng kamipun meninggalkan Desa Cibeo. Aldy menyertai kami dalam perjalanan 4 jam menuju Ciboleger. Tracknya lumayan seru, naik turun, panas dan kering. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya kami berenam saling bercerita dan bercanda juga mendapat informasi lebih dalam tentang kehidupan asli suku Baduy. Kami diperbolehkan mengambil beberapa foto saat kami sudah berada di kampung Baduy luar. Aldy rupaya cukup gaul untuk ukuran suku Baduy.
"Pak Aldy atap rumahnya terbuat dari daun ya? Apa namanya?" Tanya Ema.
"Daun Kirai." Jawabnya.
"Oh... kirai-kirai dalam perau???" Gariinggg.

"Berapa lama lagi pak sampai di Ciboleger?" Tanya kami.
"Kirai-kirai 2 jam lagi!" Halah.... bisa juga nih orang ngebalesnya.

Ciboleger kami capai pukul 1.30  siang dan mengantakan kami pada perpisahan dengan Aldy, salah satu cermin suku Baduy Dalam yang tulus menjadi tuan rumah bagi tamu-tamunya.

Hem, kami sudah ingin kembali lagi ke Baduy....

Tuesday, May 5, 2009

Satu Pernyataan

Bolehkah seorang perempuan mengungkapkan perasaannya pada lelaki yg diincarnya?
Kalau pertanyaan itu ditujukan pada saya, jujur saya akan jawab boleh asal berani menanggung resiko ditolak dengan bonus malu kuadrat alias malu pangkat dua.
Malu pangkat dua? Ya, bukan apa-apa, saya merasa sudah menjadi perempuan, tapi kok garis nasibnya kudu menjadi orang yang menyatakan perasaannya duluan ke laki laki terus ditolak pula. Apes... Belum lagi kalau muncul tudingan "gatel",  atau "ih ga tau maluw deh."

Berbeda dengan laki-laki yang dianggap sangat wajar menembak perempuan meskipun beresiko ditolak, paling-paling akan muncul pemikiran "ya lumrah, namanya juga usaha biasa kan?"

Saya jadi teringat kisah kecut 4 atau 5 taun lalu yang akan selalu saya ingat sepanjang saya bernapas.

Saya memanggilnya abah. Dia ketua KKN dan saya sekretarisnya.
Klop kan kemana- mana sering berdampingan untuk berkoordinasi ini itu. Mengurus perijinan
ke sana ke mari.
Saya, harus jujur mengakui, termehek-mehek pada sosok sigapnya yang mirip burung-burung dara dan ayam-ayam piaraanya, cara ngomongnya yang hanya bisa dicerna dengan mudah oleh kaum-kaum di pasar tempat ia berjualan chiki, krupuk tahu dan makanan ringan lainnya. Abah juga menjadi sosok yang applicable and down to earth banget.

Semua kalangan ada dalam daftar pertemananya. Bahkan ayah saya yg susah sekali menerima teman-teman dekat cowo saya bisa dengan mudah ditaklukkan. Lebih menakjubkan lagi dengan gaya bergaul yang "grapiak" sekali, hampir semua tetangga kanan kiri saya bisa ia babat sebagai teman.

Nah karena ketermehekan saya pada pesona seorang abah, saya sempat mati gaya saat ada di dekatnya, tiap kali ia menelpon, bunga-bunga ada di sekitar saya padahal dia hanya menanyakan LPJ KKN yang sedang saya kerjakan. Terkadang ia akan menemani saya mengerjakannya. Diajaknya jalan-jalan kalau cape dan tentu saja dibuatnya tertawa terus karena pesona lainnya adalah ia mirip kartolo. Lucu.
Kamipun makin dekat saja, ia seolah makin memberi harapan dan saya makin suka meskipun sejujurnya belum yakin apakah ia memiliki rasa suka seperti yg saya punya. Tidak ingin berlarut-larut, suatu hari saya memprakarsai niat untuk mengungkapkan rasa padanya.
Saya ingat, adalah telpon yang waktu itu jadi perantaranya, pendeknya setelah lama-lama ngobrol ngalor ngidul, kulon wetan tak tentu arah, arah pembicaraan mulai menuju titik sasaran seperti ini :
........
Abah : ah malas ah kalo aku yg nitip salam ke orangnya.
Aku  : cengar cengir sendiri di telpon. (kan kamu orangnya)
Abah : Yo wis aku omongno. Sopo wonge, Nduk? (Ya sudah aku sampaikan, siapa orangnya, Nduk?)
Aku  : Abah.
Abah : La iyo sopo jenenge.
Aku  : Abah.
Abah : Lo. Abah sopo? (Lo abah siapa?)
Aku  : Yo, abah sopo mane?! (Abah mana lagi?!)
Abah : HAA??!! Aku ta Nduk? Awakmu senenge iku karo aku? (kamu senengnya sama aku?)
Aku  : (Ketawa ngakak, ntah apa yang kuketawakan. Mungkin kebodohanku ya. Atau menertawakan reaksinya yang kaget tak menentu.)
Abah : Wakakakakakakakakak. Hahahahahaha. Buahahahahahhaha... Awakmu ndelok opo, Nduuuuuk? (Kamu liat apa sih, Nduk?)
Aku  : Ga eroh aku bah hahahahahha (Mene gue tehe, Hahahahahahaha!)
..............
Dan anda semua bisa menebak apa yang terjadi kemudian kan?
Saya sukses ditolak abah!
Sayapun berjanji bahwa itu untuk yang pertama dan terakhir saya menembak laki-laki. Tapi di sisi lain ada kepuasan tersendiri bisa menyampaikan rasa itu padanya. Rasa yang mungkin hampir setahun saya pendam sejak bertemu muka dan putus nyambung dengan pacar saya kala itu (which main reason is ya karena ada abah, ah lelaki impian hampir semua cewe-cewe kala itu hahahahaha.)

Lalu, saya akhirnya bisa mengikhlaskan abah dengan mudah karena ia tetap bersikap baik dengan saya dan saya merasa dihargai meskipun bukan sebagai kekasih setidaknya ia benar-benar menjaga perasaan saya tiap kali jalan bersama.
Bahkan sampai sekarangpun tetap ia jaga tali silaturrahmi itu dengan keluarga saya, tiap kali abah berputar-putar di sekitaran Sidotopo dan sekitarnya, ia akan dengan senang dan riang gembira mampir untuk sekedar makan di rumah saya meskipun saya sendiri tidak ada di rumah saya lagi.
Katanya, rumah saya adalah rumahnya juga meskipun rumahnya tak pernah jadi rumah saya kecuali begupon-begupon milik burung-burung darahnya yang katanya mau diwariskan pada saya. Asem! (halah!)
 
Beberapa saat yang lalu atas kedesperadoan saya, saya ingin menembak seseorang lagi, bukan sebagai kekasih melainkan sebagai suami. Ya, coba-coba aja siapa tau berhasil (wakakakakak). Kalau berhasil ya syukur kalau ngga ya ga papa.

Saya mungkin sudah bisa menerima kenyataan bahwa untuk menjalani hidup dengan seseorang bukan lagi hal yang mustahil untuk belajar mencintai seseorang sesudah menikah.
Bukankah akan menjadi sebuah hal yang amazing and unbelievable kalau saya bisa mencintai seorang laki-laki sesudah saya menikah dengannya?
Namun saya teringat lagi akan janji saya dulu. Bahwa abah adalah orang pertama dan terakhir yang saya "tembak" dan sayapun mengubur niatan gila itu.

Seperti itulah, terkadang sebuah pernyataan yang jujur dan tulus pada seseorang bisa menjadi terapi hati yang menyudahi ke"engap"an rasa di dada kita. Tak perlu malu jika pada akhirnya jawaban yang kita peroleh tidak sesuai harapan.
Tapi seandainya kita di posisi yang "tertembak" jangan sekali-sekali menunjukkan kearogansian dan kebesaran kepala yang membuat si "penembak" merasa menyesal telah "menembak" sasaran yang ternyata ngga asyik dan ga patut diberi hati sedikitpun!
 

Pada hujan di buitenzorg

Pada hujan di luar jendela mobil biru malam ini
saya hanya mampu menitip rasa rindu pada hujan yang sempat meminang asa saya beberapa purnama silam.
Saya umpamakan dia sebagai hujan atau gerimis karena kala itu ia datang pada saat saya berada di dalam
savana panjang tak berkesudahan dengan terik yg menyengat.

Saya titipkan pesan pada hujan yang menimpahi tubuh saya meskipun setitik dan tidak terlalu membuat saya kuyup,
Tolong sampaikan permohonan peluk pada jiwa yang lelah mencari tepian.

Lagi,
Pada hujan, titipkan pesan bahwa hasrat saya sudah beku untuk merasai partikel-partikel langit lainnya
seperti Buitenzorg yang makin beku malam ini...