Monday, March 9, 2009

Di sebuah Bakti Sosial

Beberapa hari yang lalu kantor mengutus saya untuk mengikuti acara yang diadakan sebuah milis yang berlatar belakang sosial di kawasan Jakarta coret.  Karena saya “diucul” sendiri tanpa satupun teman dari kantor (maklum mungkin karena bos menganggap saya sudah kenal beberapa orang yang akan hadir di sana) meluncurlah saya barengan teman-teman yang rela menunggu dan mengantarkan saya kembali. Maklum juga, baru kali itu saya menginjakkan kaki di wilayah antah berantah tersebut jadi malas banget kalau harus pake acara nyasar- menyasar..

Selain karena amanat dari bos, juga sudah muncul di bayangan bahwa saya akan banyak bertemu teman-teman lama dan beberapa teman dari kampung halaman yang merelakan energy dan sebagian uangnya untuk menghadiri perhelatan “akbar” tersebut.

Sesampai di sana saya mengamati banyak sekali teman-teman yang datang plus bervariasinya acara untuk menambah pengetahuan murid-murid sekolah mandiri yang memang haus akan ilmu-ilmu baru tersebut. Saya sendiri sempat terkekeh kekeh sendiri (ya sendiri) menikmati kepolosan mereka menjawab lontaran pertanyaan “usil” mentor-mentor dadakan (MD)  itu. Seperti ini contohnya :

Ketika MD mulai memutar film documenter mengenai gunung tertinggi di Jawa barat dengan pembukaan gambar jerapah berbackground sunset, mereka “bergosip”
“Wih di mana ya? “
“taman safari, bego”

Adegan kedua :
MD : Siapa yang pernah ke gunung? Siapa yang pernah naik gunung?”
Murid : “Saya pernah kak, pernah melihat gambarnya saja!” (Kenceng pula jawabnya plus cuek pol)

Ya seperti itulah hiburan kecil nan polos yang membuat saya bersyukur betapa beruntungnya saya bisa sekolah sampa setinggi ini dan beruntungnya saya memiliki orang tua yang tidak harus menyuruh saya menggenjreng gitar dan menyanyi sepulang sekolah untuk memperoleh uang dan “membiayai” keluarga. Seusai acara masih terkejut saya mendapati bahwa si pendiri sekolah tersebut ternyata Wong Lamongan dan menyebut dirinya Bonek.

“Yok Opo mbak Susan, kita kan sama-sama Bonek. Kalo ngga bonek mana bisa saya mendirikan sekolah ini. Dari yang ga pernah diakui oleh pemerintah, sampai akhinya dapat bantuan dari mana-mana dan jadi seperti ini. “

Saya hanya tersenyum. Tersenyum saja, padahal dalam hati mengiyakan ucapan kecilya tadi. Kami memang bonek, kalo bukan bonek, ngga akan sampai sejauh ini saya berjalan meskipun tanpa bantuan dari siapapun – kecuali beberapa teman yang dengan tulus merelakan dirinya menjadi bagian dari hidup saya, sehingga saya mengangkat diri saya sendiri sebagai “keluarga” mereka. (halah!! )

Kembali ke acara tersebut. Sesudah membagikan beberapa hadiah dan bingkisan buat murid-murid di yayasan tersebut, panita melanjutkan kumpul-kumpulnya ke satu tempat di mana mereka biasanya latihan manjat.  Saya kurang tau pasti sampai jam berapa acara tersebut benar-benar usai.

Personally saya berterima kasih kepada Bos karena sudah menyuruh saya datang ke sana, walupun ada yang mengganggu saya. (Bow.. siapa sih yang ga keganggu kalau ketemu seseorang yang sudah kita kenal, tapi kita dicuekin habis dan ga disapa sama sekali, siapa sih yang ga bertanya-tanya ketika si ibu-ibu itu memberikan sambutan pada teman di samping kita, tapi ketika dengan kita dia berlagak “gak kenal” sama sekali.. Bukannya sudah bertahun-tahun kita sama-sama kenal gunung? Pernah curhat-curhatan, tapi kok kalo di daratan jadi beginong wekekekek...

Duh, bu… kalo saya pernah salah mbok ya saya ditegor jangan bikin acara diem-dieman gicu deh, bukannya kata jeng Keket “saya yang ga ada di levelnya dia.. “ hahahaha…
Bow, itu Cuma intermezzo dengan sedikit bumbu sebel aja gitu lo.

Overall, kami senang ada acara seperti itu. Dua jempol buat pak ketua dan kru-krunya... :)