Sunday, February 18, 2007

Pangrango Via Geger Bentang

Pangrango Via Geger Bentang

Trip ini adalah trip terakhir yang memang kuinginkan sebelum aku melangkah kembali ke kampung halaman. cukup sering kumengajak teman-teman untuk melakukan pendakian ke Pangrango yang harusnya kulakukan juga sewaktu aku habis dari Gede bersama Kisut bulan November lalu, namun semuanya gagal. Mungkin mereka bosan sering ke Pangrango atau memang ga ada mood buat naik di awal musim penghujan.
Berhubung bulan Januari kemarin kabar bahwa pendakian ke Gede-Pangrango telah ditutup, aku merasa hopeless. Mungkin satu saat nanti kalo ada kesempatan pasti aku naik ke sana. Sampai akhirnya awal Januari lalu kudengar si Doel bersama kawan-kawannya berencana melakukan pendakian ke Pangrango aku jadi berbinar-binar. Dengan cepat aku mendaftar ikut jjadi peserta.
“Ga bisa. Ni yang ikut Cuma laki semua. Banci dilarang ikut. Medannya bukan yang biasa”. Aku langsung manyun. Doel menikmati banget kemanyunanku. Tapi karena Doel tau bahwa aku pengen banget ke Pangrango sebelum aku pulang, ntah dari mana idenya kok tiba-tiba temannya, si Qiting menghubungi aku dan mengajak aku ikut acara Doel dkk ke Pangrango.
“Kisut ma Boim ikut juga kok” Kata Qiting di telpon.
Mantap!! Secara lama juga pengen jalan ma Boim, cintaku, sayangku. Kalo Kisut dah pernah. Bosen (hehehehehe).
Tapi sayang seribu sayang, kakak beradik yang lahirnya di bawah pohon rambutan itu ternyata ga bisa. Padahal denger-denger Boim juga pengen banget ke Pangrango lewat jalur Geger Bentang. BTW, jujurrrrr Aku nggak ngeh ma jalur geger bentang. Jadi dengan PDnya ku bilang “iya” aja. (dan nantinya ini menjadi hal yang selamanya akan kukenang dengan tawa..... Crazy adventure)

Jumat, 19 Januari 2007
Dari Kos – Stasiun Kota
Setelah packing, aku berangkat ke Stasiun Kota naik bajaj karena hari itu weekend n pasti macet. Qiting dah menunggu di sana. Setelah berpamitan by phone ke abang aku, aku langsung berangkat. Tapi sebelumnya aku makan dulu lontong gunting pinggir rel (namanya bener ya Lontong gunting???). Lumayan buat ngisi perut kosong. Kami naik kereta api expres Kota-Bogor. Inilah yang aku senengin naik kereta api di Jakarta. Selalu pake lari-lari, baik itu naik kereta KRL ataupun naik express. Di dalam kereta Qiting bercerita tentang teman-teman Doel yang bakal naik bareng. Ada beberapa nama tapi yang paling banyak dia sebut adalah nama om Agam.
“orangnya baik kok. Tapi agak serem. Pendiem deh pokoknya kalo lom kenal. Tapi kalo dah kenal wah... enak kok.

Bogor
Sampai di Bogor kira-kira jam 19.15 dan kita langsung berangkat ke salah satu swalayan di sana buat belanja logistik dan bongkar packing di rumah Qiting.
Jam 21.30 setelah makan dan packingan sudah siap, aku dan Qiting berangkat ke Cibodas pake motor di mana Doel dan teman-temannya sudah menunggu.
Jam 23.40 Hpku berbunyi. “Doel Mentari”
“Lw udah di mana?” kata Doel.
“ Mana ya? pokoknya kita dah ngelewati puncak pass. “
“ Yawdah berarti bentar lagi ya. Ingetin Qiting hentinya di penginapan 154 sebelum ke arah montana.”
“Oke”
“ Hati-hati ya”

23.55
Sampai juga kita di penginapan 154. Doel dan temannya – yang ternyata cuma satu, bukan teman-temannya lagi kali ya??? – yang ternyata lebih pantas dipanggil Pak karena orangnya sudah berumur sama ma ayahku yang lagi sibuk banget ngolesin soffel di tangan dan kakinya. Karenanya setelah turun dari motor aku hanya berani menyapa si Doel.
“Hallo Gunawan, Apa kabar?” Sapanya pada Qiting. Ternyata namanya Gunawan to? Baru tau aku.
Ternyata Bapak ini ngomong juga. Syukur deh, (dalam hatiku).
“Yang ini, aku belum kenal. Siapa nama kamu?” Bapak itu menoleh ke arah ku masih dengan wajah angkernya yang terpasang di balik kacamata dan atasan hijau bersama celana raincoatnya.
“Susan”
“Agam”
“Kok pake sofell segala om. Emang di gunung banyak nyamuk?” tanyaku
“Pacet” jawabnya
‘Selain anti nyamuk anti pacet juga ya? “
“Betul. Susan kalo mau pake aja.” Om agam nawarin soffelnya ke aku. Doel senyam senyum aja dari tadi ngeliat aku yang sok akrab dengan ayah angkatnya ini.

00.30
Sabtu 20-02-2006
Setelah siap dengan gutter dan berdoa, aku dan teman-teman mulai meninggalkan penginapan 154 yang menurut info dari Om Agam adalah milik Pak Kliwon dan tiap kali mau naik beliau selalu mampir di sini, menuju warung-warung di dekat montana. Di sana ternyata rame banget karena sedang ada pengajian memperingati maulid nabi. Jadilah kami pusat perhatian. Sesaat kami berhenti. Om Agam memerintahkan kami untuk menaruh keril-keril di pundak kami agar tak jadi pusat perhatian sementara ia dan Doel sibuk mengingat-ingat rute yang harus dilalui sebagai awal pendakian. Berkali-kali om agam dan Doel keluar masuk gang-gang diantara warung-warung dan kembali dengan wajah agak bingung.
“Ada Doel? Lw masih inget kan?”
“ Iya itu seingatku yang sampah-sampah tadi tu Yah. Tapi banyak banget orang-orang di sana. Tunggu dulu deh Yah”
“Iya seingatku juga di gang sebelah itu.”
Demam panggung menghinggapi kami berempat. (habis jadi center of the stage bangettt deh). Om Agam mengeluarkan GPS nya.
“Ya. Bener di situ. Kita henti dulu aja kalo masih banyak orang. “

01.00
Akhirnya setelah menunggu sekitar 30 menitan kami nekat memulai perjalanan. Melewati salah satu gang di belakang warung yang banyak sampah-sampahnya tadi.
Jalur terjal menyambut kami di kegelapan. Sawah-sawah yang rutenya belum jelas juga membuat pendakian awal menjadi sarana untuk melatih kemampuan navigasi kami. Terutama si Doel yang katanya mo berangkat ke Nepal bareng Kisut taun ini. Beberapa Kali kami harus berhenti untuk melihat apakah jalur di depan benar apa ga. Setelah menyusuri jembatan dan sawah-sawah akhirnya kami menemukan jalur menuju Geger Bentang. Hutan-hutan yang panjang kami lewati. Hampir tiap saat kami menjumpai jamur menyala dengan bentuk dan warna yang berbeda-beda. Di depan Qiting berjalan mendahului kami. Selanjutnya aku, om Agam dan di belakang sendiri si Doel yang dengan gembolan depan belakangnya.
“Om kok bawaannya berat-berat semua? Katanya Cuma bawa fly sheet?”
“Nggak. Saya bawa tenda. Sebelum berangkat saya timbang dulu tadi . ini tadi beratnya 30kg” kata om Agam. Aku cuman nyengir.
“Doel cepet. Jangan tidur.” Teriak om Agam.
“Nggak Yah” Jawab Doel.

Beberapa kali kami berhenti agar jarak kami tak terlalu jauh.

04.30
Doel minta berhenti istirahat dan sholat subuh. Begitu juga Qiting. Sedang aku dan Om Agam terus berjalan.
“Geger Bentang sebentar lagi kok San. Cuma 30 menit dari sini”
Aku langsung giat. Bagus 30 menit berarti aku bisa rebahan dan memejamkan mata. Ngantuk bangett. Tiap kali istirahat pasti aku mejamin mata meskipun hanya sebentar.
Tapi selalu om Agam ngingetin "Yuk San jangan lama-lama ntar ketiduran bener." Sampai-sampai sambil jalan mataku terpejam beberapa detik saking ngantuknya.

06.30
Mataku sudah ga berkompromi lagi. Ketika om agam ngajak istirahat, aku langsung duduk di batang pohon dan tertidur. Om agam nyolek bahuku “Aku ke atas duluan. Ada tempat datar di situ. Kita bisa istirahat. Nanti kamu saya jemput. “
“he-eh” aku udah terkapar.
Aku sudah ga kuat. Mataku benar-benar ketutup. Aku tidur. Nyaman banget bisa tidur sebentar entah berapa menit dan bermimpi indaaahh banget. Tapi om Agam tiba-tiba nyolek aku lagi.
“San, geger bentang udah di depan. Cuman 5 menit kok”
Aku langsung bangkit dan mencari kerilku. Ternyata Om Agam sudah membawanya untukku.

07.00
Bener tempatnya datar banget. Kami beristirahat sejenak sambil membuat kopi dan menunggu Doel dan Qiting.
“Pasti mereka tidur nih Om”
“Iya.”
Akhirnya kita menunggu mereka selama sejam sambil bercerita-cerita dari om Agam yang sudah naik gunung sejak 1969 dan gunung-gunung yang sudah didakinya.
“Pokoknya San tiap bulan saya harus mendaki, minimal Gede-Pangrango” Katanya biar badannya sehat. Pantes aja di usia yang separuh baya lebih ini Om Agam jalannya masih kek gitu gimana mudanya ya? Kesamaan kami adalah sama-sama seneng lagu-lagu oldies. Sambil berjalan kami menyanyikan lagu Bee Gees. First of May.
====================================================================
When I was small, and christmas trees were tall,
We used to love while others used to play.
Don’t ask me why, but time has passed us by,
Some one else moved in from far away.

(chorus)
Now we are tall, and christmas trees are small,
And you don’t ask the time of day.
But you and i, our love will never die,
But guess we’ll cry come first of may.

The apple tree that grew for you and me,
I watched the apples falling one by one.
And I recall the moment of them all,
The day I kissed your cheek and you were mine.

Source: www.poemhunter.com
====================================================================
“Itu lagu cerita tentang apa sih om? Sampe sekarang aku ga nangkep”
“Kamu liat aja liriknya. Itu kan cerita tentang 2 anak laki perempuan yang kecilnya pacaran tapi ternyata ketika mereka besar pasangan mereka bukan cowok cewek itu lagi. Jadi ga selalu orang pacaran itu jadi suami atau istri nantinya.” Aku mengangguk-angguk. Trus pake ngasih nasihat ala orang tua yang bener-bener merasuk di hatiku.
“Anak sekarang San kalo menikah komitmennya beda ma yang dulu. Kalo sekarang, cowok maunya punya istri yang mau diajak susah. Harusnya ga gitu kan? Susah, sekali-sekali ga papa. Tapi kalo susah selamanya ya jangan mau.” Heheheeh kita tertawa bersama. Suasana jadi seger deh. Di tengah perjalanan selepas dari geger bentang om Agam ngingetin aku untuk melihat samping kiri kanan kami.
Ampuuun indah banget.
“San coba liat itu, itu namanya Pangrango.”
Set dah.... sejauh itu ????? Nyaliku ciut. Ngapain Om Agam ngash tau aku. Mending ga tau deh. Aku Cuma ketawa. Perasaan jalan udah lama gini kok Pangrangonya masih di sana ya.

08.30
Kami berhenti sejenak. Tiba-tiba di balik reribunan tumbuhan, ada suara orang datang. Ternyata Qiting.
“Lo mana Doel? “ Tanya Om Agam.
“Tau. tadi aku tinggal dia masih tidur habis sholat Subuh om”
Dan kami jalan lagi.
Di pepohonan banyak banget botol-botol air mineral yang dipotong dan diikat di pohon untuk menadah air hujan.
“Ini jalur yang dipakai buat pendidikan ya Om?” Tanya Qiting
“Iya. Mapala UI selalu memakai jalur ini. “

09.15
Perjalanan yang menjemukan karena dataaaaaar banget. Kami berhenti lagi sejenak, tapi kedatangan si Doel sambil ketawa – ketawa diantara semak belukar membuat suasana jadi rame lagi. Akhirnya berkumpul lagi deh kita.
Berfoto-foto dan saling mencela setelah badan agak fresh.
Dan kamipun berjalan lagi lebih rame dan lebih riang karena suasana sudah terang. Berkali-kali aku dan Doel sahut-sahutan lagu-lagu duet Evi Tamala dan Imron yang kalo di kontrakannya menjadi lagu wajibnya.
“Sekian lama kucari dirimu kasih.... Dari waktu ke waktu kucari...” habis itu ngakak lagi dan gitu deh..... dan lagu-lagu Evi Tamala yang lain bergulir.
Seperti itulah keluakuan kami selama perjalanan di jalur yang datar dan panjang itu.

13.00
Masih di jalur datar
Di tempat yang disebut Cigundul kami berhenti untuk rehat dan makan siang. Qiting dan Doel memasak, sedangkan aku?? Duduk manis di atas fly sheet menunggu masakan matang dan Om Agam rebahan.
“Dasar ga tau diri lw banci. Udah ga bawa sendok, gelas, punya orang dipake juga.”
Doel ngomel-ngomel. Akunya cuek aja gangguin Doel. Om Agam dan Qiting Cuma ketawa ngelihat kita.
Cigundul adalah tempat yang paling deket dengan Cibereum karena itu selama kita makan siang kita terhibur oleh suara air terjun. Bisa dibayangkan seandainya kita lewat jalur normal untuk sampai ke Cibereum kita hanya butuh waktu sejam!!!
(Ssssttt bocoran aja, 18-19 Februari kemaren, si Om Agam make lagi jalur yang sama mulai jam 11 malam dan beliau sampai di Cigundul pagi kira-kira jam 7 pagi. Itu karna beliau jalan sendiri dan ga pake beban keril, mungkin juga karna ga bawa aku. hehehehe... Tapi menurut beliau itu terlalu lama, biasanya cuma 4 jam kalo beramai-ramai dan tanpa beban )

 Sampah-sampah kami taruh plastik dan kami tinggal di situ dengan alasan akan kami ambil lagi ketika turun nanti. Karena pastinya ini satu-satunya jalur yang pasti kita lewatin saat turun.

14.00
Jalur Menyempit dan Menanjak

Jalur mulai menanjak lagi, hujanpun datang. Kami memakai raincoat kami masing-masing dan tetap meneruskan perjalanan meskipun hujan karena ingin sampai di tujuan selanjutnya yaitu Berg Spot. Kira-kira sejam hujan berhenti dan turun lagi. Kanan kiri kami adalah jurang-jurang yang curam. Memang tidak jelas, tapi aku sudah merasa tak ada tempat datar dan lebih lebar lagi di sini.
Begitu seterusnya sampai jam 5 sore. Qiting sudah duluan dan berencana menuju puncak n langsung ke Mandalawangi dan mempersiapkan segala sesuatunya di sana. Kaki oglek yang kudapat dari pendakian di Gunung Gede kemarin makin terasa. Akhirnya Om Agampun minta duluan sedang aku dan Doel rehat lagi sampai maghrib.
"Pokoknya kalo altimeter lw udah nunjukin 2700 Mdpl Doel, itu udah Berg Spot. Oke? Cuma satu kok jalurnya"
"Ya udah Ayah duluan deh" kata Doel

18.00
Di sekitar kami sudah gelap. Headlamp kami pasang dan siap melanjutkan perjalanan.. Berkali-kali kami memanggil om Agam dan Qiting. Namun tak ada jawaban, berarti mereka sudah jauh. Karena kedinginan dan beban berat yang makin bertambah karna hujan di keril yang ada punggung kami, maka beberapa kali aku dan Doel berhenti ditambah jalur yang menanjak banget.
Melihat ini Doel dengan sigap mengajakku berhenti di tengah jalan dan memasak sebentar untuk mengisi perut dan menghangatkan badan.
“San, henti dulu ya, ga baik jalan dalam keadaan lapar bisa nimbulin halusinasi.”
“Emang iya? “
Ditengah kedinginan dan kegelapan kami makan. Meskipun begitu tak mengobati gundah gulanaku.
“Doel ga habis nih. Habisin gih.”
“Buang aja. Ntar juga dimakan hewan-hewan di sini. “
“Mana boleh buang sampah di gunung”
“Itu kan makanan banci. Kalo lw buang plastik dan bungkus-bungkus yang ga bisa hancur oleh air dan tanah baru itu dilarang. Lagian makanan lw bisa dibuat makan hewan-hewan di sini. Makanya sebelum buang niatin kamu ngasih ke hewan jangan asal buang. “

18.30
Halusinasi
Satu saat ketika kami berhenti, aku ngerasa sudah ga kuat. Berapa lama lagi kami harus menempuh waktu untuk mencapai puncak Pangrango??? pikirku. Tak bisa kubayangkan seberat apa lagi dan sejauh apakah?????????. Aku terdiam begitu juga Doel. Entah apa yang ada di pikirannya.
“Doel kita balik aja yuk.... Om Agam dah jauh, Qiting udah sampai di Pangrango, kita masih di sini. Balik yuukk..” Aku pasrah. Doel cuek melihat ke arahku.
“iya kita balik, tapi kita temuin 2 orang itu dulu. Habis itu baru kita balik.”
“Beneran Doel?”
“Bener. Yuk jalan lagi. “ Jawabannya menenangkanku
Doel di belakang dan aku di depan. Jauh di depanku aku melihat seseorang menunggu sambil mendekap tangannya. “ Wah pasti itu om Agam...” pikirku. Aduh ternyata bukan. Aku diam saja dan ikutan asyik ngikutin Doel memanggil2 nama Om Agam dan Qiting. Lalu kulihat dengan jelas ada om Agam memakai topi sambil menyalakan headlampnya ke arahku...., hampir saja aku memanggil “Om..” ternyata juga bukan. Dan seorang ibu yang menggendong anak berlari ke arah ku. Ternyata bukan. HALUSINASI!!!! Benar kata Doel, dalam keadaan seperti ini, manusia pasti akan sering berhalusinasi atas apa yang dilihat didepannya. Aku langsung berusaha konsentrasi meskipun beberapa penglihatan aneh ada di depan mata.

19.30
Berkali-kali Doel mengecek altimeter yang dikalungkan di lehernya.
“Banci, ini udah ketinggian 2650, kok belum ketemu juga berg spot-nya?”
Set dah. Jangan-jangan kita nyasar. Kami berjalan lagi. Sampai akhirnya terdengar suara orang memanggil namaku.
“Tuh di depan” kata Doel.
Alhamdulillah..... akhirnya ketemu juga. 2 tenda sudah terpasang. Setelah ganti baju kami makan malam sambil bercanda hingga jam 10 malam.
Dan kami tertidur pulas di tenda masing-masing

21 Januari 2006
06.30
Berg Spot
Pagi datang, hari baru menyambut kami di kaki Berg Spot yang letaknya hanya 10 meter dari tempat yang kata om Agam bisa digunakan untuk melihat Kota Bogor dan Ciawi seluas-luasnya. Karena aku ga membawa sendal jadilah aku tak beralas kaki untuk naik ke Berg Spot.
“Hei perempuan, ini gunung bukan mushola. Pake alas kakinya!” kata Doel pagi-pagi
“Bodoh!” jawabku sambil berlalu menyusul om Agam di atas.
Ternyata Berg Spot indaaaaaaaaaahhhhhhhh banget. Sejauh mata memandang hanya bukit dan gunung-gunung dan kota kecil Ciawi. Kata Om Berg itu bahasa Belanda artinya berhenti. Jadi ini adalah tepat berhenti di mana kita bisa melihat pemandangan yang indah. Kami berfoto-foto sambil menikmati Del Monte dan makanan ringan lainnya.
“Jarang banget San aku mendapatkan pemandangan bagus di Berg Spot. Soalnya biasanya kita lewat sini pasti masih gelap. Dan kalo sudah di atas jam 9 pagi  kabut pasti datang menutupi awan. Makanya kalo ga pagi kita ga bakal dapat apa-apa di sini. “ Ujar om Agam.
Berbagai macam pose kami lakukan, terutama Doel yang ditakdirkan untuk jadi banci photo. Wig kriwul warna merah jambu pun dia bawa untuk bergaya di sini. Jadi kerilnya berat gara-gara bawa kostumnya itu ya??? Pantes. Om Agam hanya geleng-geleng kepala melihat anak angkatnya bertingkah sedemikian hebohnya.

08.30
B'fast at Berg Spot
Acara cela-mencela masih kita lakukan sambil makan pagi. Sampai jam 10.00
Doel : Semalam tuh yah, si perempuan tuh minta balik.
Om : Siapa? Susan? Kok ga lu suruh balik aja sendiri.
Doel : Maunya. Tapi kubilang aja kita temuin yang 2 tadi dulu habis itu kita balik.
Aku : hehehehe..... Doel ternyata bener Doel lw bilang kemaren kalo pikirn kacau dan perut lapar bisa bikin kita halusinasi ya?
Doel : Emang lu halusinasi ya San? Waduh gapapa deh. Mendingan deh daripada halusiketupat. Kan lebih berat?
Semua tertawa hahahahahahahhaaha

Aku : Geblek. Bener tuh, yang ngelihat Om Agam lah, Perempuan lah.
Om : Parah berarti kamu San. Untung cepet-cepet nemuin kita. Coba kalo sejam lagi lom ketemu ma kita, si Kiting kusuruh jemput.
Aku : Pokoknya lain kali harus istirahat dulu deh kalo mo jalan. Apalagi jalannya ma om Agam.
Om : Emang kenal Doel udah berapa lama San?
Aku : Baru kok, blom ada 6 bulan.
Doel : Belum 6 bulan udah jalan ke sini, coba setaun kayak si Qiting udah bisa ke luar negeri lw!
Aku : Iye tau!!!!!!
Qiting sibukkkk banget. yang masak tempura, mi goreng, nasi dan lain-lain pokoknya enak deh naik ada Qiting, serba tercukupi perutt. Hehehehehe......
Qiting : Bawa wadon maunya disuruh masak... eh, ini malah bikin repot.
Akunya cuek makan dan berbenah.

11.30
Setelah packing semuanya kami putuskan untuk turun mengingat kondisi kami yang ga memungkinkan. Terlalu payah dengan bawaan yang overload seperti itu. Jalan terjal yang kami lewati kemarin mau tak mau harus kami lewati lagi. Dengan resiko bertemu pacet-pacet yang pastinya akan mengintai darah kami.
Qiting mendahului kami lagi. Om Agam berpesan kalo sampai di Cigundul berhenti dulu, ambil sampahnya dan tunggu kami di sana.
Sebentar-sebentar kami bertiga berfoto. Hujanpun turun dan kami tetap melanjutkan perjalanan hingga jam 13.15 kami berhenti cigundul, ternyata sampah kami masih di situ dan Qiting tidak ada. Sejenak kami panik. Tapi kita percaya Qiting baik-baik saja. Mungkin dia lupa. Atau mungkin dia nunggu di Geger Bentang. Tapi ketika sampai di Geger Bentang jam 14.00 Qitingpun masih tak ada. Kemanakah dia?
Di geger Bentang aku melepas sepatuku karena basah oleh hujan. Kulihat beberapa pacet tumbuh berkembang di kakiku. Aku mengambilnya langsung
“San, jangan langsung dibunuh. Marahi dulu soalnya mereka kan dah ngambil darahmu. Enak aja” hahahahaha.... Begitu juga om Agam pacet-pacet yang diambil digigitnya kuat-kuat.
“Mati lu. Enak aja makan darah orang!” katanya. Aku geleng-geleng kepala. “Katanya San, kalo habis digigit pacet, biar darahnya ga keluar kamu ambil tanah di sini lalu oleskan ke kulit yang habis digigit itu biar darahnya ga keluar banyak” kata si Om. Aku nurut aja.

17.00
“Yuk San jalan terus, hentinya di depan aja. Jangan buang waktu takutnya kita kemalaman” kata om Agam.
“Siap”
Karena tegang, Si Doel narik kerilku supaya bisa mendahului aku.
“ Doel, jangan buang-buang waktuku donk”
“Gw ga buang-buang waktu lw. Gw cuman buang energy lw”
nyebeliiinnn banget.
Mau ga mau ketika maghrib sudah terdengar dan nyamuk-nyamuk hutan terasa di sekeliling kami, headlamp kami keluarkan semua. Dan kami harus berhenti karena sudah tidak kuat.

19.00
Kami sudah tiba di pematang sawah penduduk di mana kami memulai perjalanan kami dan berhenti sambil menikmati malam tanpa headlamp dan penerangan lain. Damaiii banget.
"Gimana San? Heroic ga?"
"Iya plus cuapeeeekkkkkkkk. Kukira Geger Bentang itu jalur biasa aja. Ternyata..."
"Pokoknya kalo dah lewat sini, Kerinci lewat! " Kata Om.
"Udah jangan protes lw. Untung diajak lw!" Sahur Doel.
Akunya cuma nyengir.

“Doel, gimana si Gunawan itu? Kok dia ninggalin kita tanpa ngasih pesan ya?”
“ Udah sampai di bawah kali dia Yah. Tapi harusnya dia ngasih tanda kalo mau duluan.”
“Itu dia, gimana kalo ternyata dia hilang? Kalo seperti itu di Mapala pasti udah ditonjokin tuh ma anak-anak. Iya kalo dia selamat kalo dia hilang. Sapa yang mau ngeSAR dia? Dalam Tim ga boleh ada yang ninggal. Yang cepat nunggu yang lambat. Belum tau kode etik pendakian dia “

19.30
Akhirnya sampai juga kami di warung-warung itu. Dari jauh terdengar Qiting memanggil. Si Om sudah pasang tampang pengen marahin Qiting. Aku dan Doel jalan menjauh. Emang enak dimarahi senior??? Ternyata Qiting ga ngelewatin Geger Bentang lagi, tapi dia nemuin jalur ke yang dia telusuri sendiri dan akhirnya bisa sampai di Cisarua.

Dari kejauhan kudengar om masih ngasih ceramah selama perjalanan menuju penginapan. Hujan turun lagi. “Masih kuat Doel?” tanyaku
“Masih, gendong lw aja gw masih kuat.”
“Sok lw ah.”
Mau bukti. Dia langsung gendong aku.. “ampuuuunn iya gw percaya”.
“Sssstt.. Qiting masih dimarahi ma ayah”
hehehheehheheheheheheheeheheheheheheheheheheh..........................................
Dan hujan turun rintik-rintik dan makin lebat....
Di Penginapan Pak Kliwon, sayur nangka, ayam, tahu tempe dan teh hangat menunggu kami.
Perjalanan yang melelahkan dan penuh canda tawa.

Walaupun puncakmu tak kuraih, aku akan datang kembali Pangrango untuk melihat Mandalawangimu tapi lewat jalur biasa aja ya.

Makasih buat
  • Allah SWT Yang Maha Pelindung dan Maha Pengasih. Karna Kaulah aku masih bertahan walau hanya sampai Berg Spot
  • Om Agam. Semangatnya itu lo ga ada yang ngalahin. Meskipun dah pensiun hidup harus jalan terus ya om??? San tunggu di Jawa Timur. And my greatest greatfull for your farewell party. Ternyata ini to Ayahnya Doel??? Hehehehehehe
  • Doel yang nyebelin dan selalu bikin ketawa di hari-hari sepiku di Jakarta makasih buat farewell tripnya.
  • Qiting alias Tinky Winky ga lw, ga ada yang masak. Mantap bangett deh..
Sampai ketemu di trip lainnya.


Love,
Susan

Friday, February 16, 2007

Untuk Seekor Monkeychi

Monkey,
Makilah aku
Sampai Kau Puas
Kutuk aku
Jika itu membuatmu bahagia
Aku terima dengan hamparan ikhlas

Namun,
Tak ingin ku kehilanganmu
Senyum dan sapamupun masih kuharap
Lompatan dan candamu masih terngiang
Membuatku terhibur dan tertawa lagi saat duka itu datang

Monkey,
Maafku padamu
Yang tak mungkin kau terima
Hingga napas di ambal ajal
Setidaknya
Beri aku senyum dan tangan terbukamu
Untuk tetap memelukku

Monkey,
Tak mungkin kumeminta maafmu
karena pasti kau tak memberinya