Tuesday, July 31, 2007

Halal Bihalal di Situgunung - left memories of mine




Ini gambar kawan-kawan pendaki waktu acara halal bi halal lebaran taon kemaren Nov 2006 yang diambil dari kamera Linda yang ternyata file-filenya nyangkut di file-ku.
Situgunung ternyata mirip Sedudo Waterfall di Nganjuk.
Please enjoy para banci kamera below.

Trianglurar of Love

Artikel ini kiriman dari teman. Saya belum menikah dan 
sedang berusaha merenungkan tulisan berikut. Semoga bermanfaat
 
TRIANGULAR  of LOVE
Artikel ini bagus banget untuk jadi bahan renungan setiap orang....
Apa pun status Anda saat ini.... menikah, cerai, belum menikah, ingin
menikah, pacaran menuju pernikahan, dalam perselingkuhan, dan apa pun
itu
deh....  
Ada banyak alasan orang untuk menikah. 
Ada yang bilang bahwa pasangannya enak diajak bicara. 
Ada yang bilang pasangannya sangat perhatian. 
Ada yang bilang merasa aman dekat dengan pasangannya. 
Ada yang bilang pasangannya macho atau sexy. 
Ada yang bilang pasangannya pandai melucu. 
Ada yang bilang pasangannya pandai memasak. 
Ada yang bilang pasangannya pandai menyenangkan orang tua. 
Pendek kata kebanyakan orang bilang dia COCOK dengan pasangannya. 
 
Ada banyak alasan pula untuk bercerai. 
Ada yang bilang pasangannya judes, bila diajak bicara cenderung emosional. 
Ada yang bilang pasangannya sangat memperhatikan pekerjaannya saja,
lupa kepada orang-orang di rumah yang setia menunggu. 
Ada yang bilang pasangannya sangat pendiam, tidak dapat bertindak cepat dalam 
situasi darurat, sehingga merasa kurang terlindungi. 
Ada yang bilang pasangannya kurang menggairahkan. 
Ada yang bilang pasangannya gak nyambung kalau bicara. 
Ada yang bilang masakan pasangannya terlalu asin atau terlalu manis. 
Ada yang bilang pasangannya tidak dapat mengambil hati mertuanya. 
Pendek kata kebanyakan orang bilang bahwa dia 
TIDAK COCOK LAGI dengan pasangannya.    
Kebanyakan orang sebetulnya menikah dalam ketidakcocokan. 
Bukan dalam kecocokan. Dr.Paul Gunadi menyebut kecocokan-kecocokan diatas 
sebagai sebuah ilusi pernikahan.
Dua orang yang pada waktu pacaran merasa cocok tidak akan serta merta
berubah menjadi tidak cocok setelah mereka menikah.   
Ada hal-hal yang hilang setelah mereka menikah, yang sebelumnya mereka pertahankan
benar-benar selama pacaran. 
Sebagai contoh, pada waktu pacaran dua sejoli akan saling memperhatikan, 
saling mendahulukan satu dengan yang lain, saling menghargai, saling mencintai. 
Lalu apa yang dapat menjadi pengikat yang mampu terus mempertahankan sebuah pernikahan,
bila kecocokan-kecocokan itu tidak ada lagi? Jawabannya adalah KOMITMEN.
Seorang kawan saya di Surabaya membuat sebuah penelitian, perilaku
selingkuh kaum adam pada waktu mereka dinas luar kota dan jauh dari anak /
isterinya. Apa yang membuat pria-pria tersebut selingkuh tidak perlu 
dijabarkan lagi.
Tetapi apa yang membuat pria-pria tersebut bertahan untuk tidak selingkuh?
Jawaban dari penelitian tersebut sama dengan diatas yaitu :  
  KOMITMEN.
Hanya komitmen yang kuat mampu menahan gelombang godaan dunia modern
pada waktu seorang pria berada jauh dari keluarganya. Begitu pula
sebaliknya, pada kasus wanita yang berselingkuh. Komitmen adalah sebagian dari
cinta dalam definisi seorang psikolog kenamaan bernama Sternberg. Dia
menyebutnya sebagai "triangular love" atau segitiga cinta dimana ketiga sudutnya
berisi
Intimacy (keintiman), Passion (gairah) dan Commitment (komitmen). Sebuah
cinta yang lengkap dalam sebuah rumah tangga selayaknya memiliki ketiga
hal diatas. Intimacy atau keintiman adalah perasaan dekat, enak, nyaman,
ada ikatan satu dengan yang lainnya. Passion atau gairah adalah perasaan
romantis, ketertarikan secara fisik dan seksual dan berbagai macam
perasaan hangat antar pasangan.Commitment atau komitmen adalah sebuat
keputusan final bahwa seseorang akan mencintai pasangannya dan akan terus
memelihara cinta tersebut "until death do us apart". Itulah segitiga cinta
karya Sternberg yang cukup masuk akal untuk dipelihara dalam kehidupan
<PRE style="LINE-HEIGHT: 14.4pt">rumah tangga. Bila sebuat relasi kehilangan salah satu atau lebih dari 3
unsur diatas, maka relasi itu tidak dapat dikatakan sebagai cinta yang
lengkap dalam konteks hubungan suami dan isteri, melainkan akan menjadi
bentuk-bentuk cinta yang berbeda.    
Sebagai contoh :Bila sebuah relasi hanya berisi intimacy dan commitment saja, 
maka relasi seperti ini biasa disebut sebagai persahabatan.Bila sebuah relasi hanya bersisi passion dan  intimacy
saja tanpa commitment, maka ia biasa disebut sebagai kumpul kebo.    Bila
sebuah relasi hanya mengandung passion saja tanpa intimacy dan commitment,
maka ia biasa disebut sebagai infatuation (tergila-gila). Nah, bagaimana
bentuk cinta anda... ???

Monday, July 30, 2007

One evening di Unyil

Ngumpul di Unyil kali ini berbeda dengan acara kumpul-kumpul kami yang bisanya. Anggota tetap masih aku, Didi dan Rona serta anggota tambahan on-off Prima. Serasa seru dan lucu. Mungkin makin seru seandainya teman-teman pendaki se surabaya pada komplit ngumpul di sini.

 

 

Jarum jam menunjukkan angka 5 lewat 15 menit waktu kukeluar dari pintu gerbang MNTC. Sesudah dhuhur tadi aku sudah membuat appointment via YM untuk kencan bareng Didi n Rona di tempat favorite kami bertiga “The Unyil” untuk melakukan ritual sitting on the mattress under the sutet next to the Nginden River in Surabaya Coret yang kalo dipikir-pikir ga terlalu coret banget sech karena banyaknya mobil-mobil built up yang melintasi warung-warung lesehan di jalan raya antara Rungkut dan Nginden itu.

Jadi apa hubungannya antara Rona, Didi, Unyil dan Sutet.

 

Let’s take a look to the brief explanation below:

Rona Depatra- I call him Ronde. Aku mengenalnya lewat media milis pendaki. Si ganteng, tinggi putih dan berkaca mata ini muncul dengan wajah innocent-nya serta suaranya yang mungkin orang ga akan nyangka kalo dia punya badan seatletis itu. hiks… pertama kali bertemu di atas gerbong kereta Bengawan waktu Gathnas di Solo 2 tahun yang lalu. Gara-gara tampangnya yang agak ganteng ini, ia rela jadi tokoh utama di film besutan Didi dalam ajang tugas TA Didi. Kok ya mau diplokoto ma Didi. “Pokoke ngenes San nek Didi jadi sutradara. Ga pernah Ontime!” Keluhnya satu hari. Sabar Ron, itu adalah jalan menuju kesuksesan sebagai bintang layar lebar. Hueksss.

 

Didi – Aku ga ngerti tentang dia sampai aku menemukannya tergelepar di kamar superbagonk setelah mengantar Mely dan Tryas ke Argopuro 2 tahun yang lalu. Melly menyamaratakannya dengan Andy Badung. Hahahaha. Untuk yang satu ini dia selalu mencari-cari kelebihan dirinya “Tapi gantengan aku kan San?” atau “Ada bedanya lo. Dia ga bisa motret kek aku yo” hahahaha.. (Buat Andy kalo sempet baca, jangan dendam ke Didi ya. Anggap itu sebagai rumput yang bergoyang. Lha!)

Didi yang PD-nya setinggi langit ini punya style yang ska habis. Temen-temen pendaki di Jakarta mengenalnya sebagai Didi Rujak. Aku heran apa sih kelebihannya Didi sampai-sampai tiap kali ke Pasfes dulu, selalu saja ada yang nanyain tentangnya dan berakhir dengan kirim salam ke dia. Yang pada akhirnya kutau. Itu ta kelebihanmu? :))

 

Well, mereka adalah 2 orang itu selalu available untuk diajak ngopi n menikmati ote-ote sampe malam. 2 orang yang bisa diajak ngakak sampe bergelas-gelas minuman dari teh hangat, wedang jahe sampe es pop ice (ga berkelas banget gitu lho! Tapi gpp asal bisa diminum) habis. Yang nyambung sehidup semati untuk menikmati kekesalanku tiap kali aku jutek ma komentar-komentar Didi yang panas di telinga dan Rona bagian kompor yang siap nyalain spirtus supaya suasana makin panas. Dalam satu kesempatan aku dihabisi olehnya “Wis ta san, kamu itu ga cakep kok pake jual mahal ke aku. Apa sih susahnya buat bilang “iya” aja pas aku nyatain ke kamu??” “Iya deh Di.” Aku ngangguk-ngangguk sambil masukin tahu ma petis ke mulutku. Apa sih susahnya bilang iya kalo aku bisa nikmatin tahu goreng ma petis sambil kepedesan n kepanasan gini. Didi dan Rona 1 perguruan di kampus komunikasi elit di Surabaya (selalu mereka banggakan) tapi beda jurusan da n beda rejeki. Huekekekekek….

 

And what’s Unyil anyway?

Unyil – ini nama sebuah warung tenda yang buka hanya pada maghrib sampai tengah malam. Nama Unyil diambil dari nama beken si pemilik. Mungkin karena keimutannya dia dipanggil Unyil hehehehe… Warungnya sering jadi tempat mampir orang-orang yang pulang kerja sambil ngopi dan makan gorengan. Dari telo goreng, tahu goreng, ote-ote (my favorite of all), pisang goreng dan gorengan yang lain. Well sebenarnya banyak juga warung-warung lesehan macam ini di daerah tersebut, tapi Karena sudah terbiasa dengan Unyil, tiap kali janjian pasti di situ. Dan kalaupun Unyil ga buka kami pasti batal bersantai dan berlesehan meskipun warung-warung yang lain pada buka. Well, we can say Unyil minded. Tapi ya untuk golongan tertentu saja. Ga semua teman-teman pendaki di Surabaya cangkruk di sini.  

 

Now let’s get back to our topic.

 

“Sayang, nanti temanin buka sambil makan ote-ote di Unyil ya” ketikku di media massanger favorite-ku itu.

“Oke beb. Kamu dandan yang cakep ya. Biar aku makin sayang ma kamu” Rayuan Gombal mukionya ga pernah lupa tanpa peduli itu di alam nyata maupun di dunia maya.

“Kasih tau Rona juga” tambahku

“Kamu aja beb. SMS ke Rona”

“Ntar kalo dia OL aku kasih tau deh”

 

Dan Ronapun tanpa diperintah muncul di YM. Mungkin punya indra ke 17 selain indra-indra yang lain.

“Ronde jelek. Nanti pulang kerja ke unyil ya. Komeng dah ok tuh.”
”Jam piro San?”

“Jam 6”

“Oke. See u”

 

Jalanan Galaxi Mall ramai dan sedikit macet karena sekarang akses untuk melewati jalanan yang tiap malam minggu dipake sebagai tempat road race illegal dan kalo malam dibuat ajang temu jodoh antar pembokat dan sopir di sekitar Galaxi ini makin smooth saja. Alhasil kemacetan mulai jadi trend di sini.

Namun pikiran dan otakku masih merekam kemarahan seorang kawan kepadaku yang jauh di sana. Semoga saja marahnya ga lama. Gara-gara ngelamun ini, beberapa polisi tidur di jalan Dharmahusada kuterabas.

DZINGGGG!!!

Sakit juga pantat ku kalo seperti ini terus.

 

15 menit berlalu dalam lamunan-lamunan yang membuatku berhenti tersenyum setelah sepanjang hari kubahagia. Dan sampailah aku di jembatan Nginden. Jembatan yang penuh kenangan bersejarah di mana aku pernah bertemu perempuan berambut panjang memakai baju sepan putih membawa payung mirip artis Kiki Fatmala atau Diah permatasari tepat di atas jam 12 malam…. Lha emangnya ini Jembatan Ancol, Emangnya ini cerita horror??? Hiks…. Ini jembatan Nginden dan ini cerita pendek tau….

 

Ya ya… aku di sini 3 atau 4 tahun yang lalu. Masa-masa indah yang kulewati tiap malam untuk bercengkrama dengan waria-waria yang kujadikan sebagai sample untuk bahan skripsiku.  Kadang aku tersenyum sendiri mengenang malam hingga subuh yang kulalui bersama nyamuk dan tidur di depan pertokoan hanya untuk menunggui mereka selesai bekerja. Aduh… Jadi pengen ketemu ma Mak Tio nih. Apose kabaret-nya ya bow. Sutra lambreta bangor ya kitkat tinta ketumbar…. Apose Diana sudah berhenti dolce gabana ya? Hahahahaa….

Next week kalo sempat aku mampir deh Mak ke salonmu. Creambath sekalian ngegosipin laksa-laksa koleksimu. Durhaka kalo sampe ga inget dirimu. (soal survey waria ini akan kuceritakan di lain waktu).

 

Back to The Unyil.

Warung Unyil sudah dipenuhi orang-orang yang pulang kantor sambil ngopi dan menunggu macet berkurang. Maklum daerah rungkut dan sekitarnya adalah area langganan macet meskipun ga segila Jakarta, bagi kami keadaan macam ini sudah cukup merepotkan dan melelahkan.

 

Ga kebagian tempat duduk.

Padahal kerongkongan harusnya sudah tersiram air yang manis-manis nih.

Sambil berdiri aku nikamati coklat dingin sambil menunggu D & R.

 

Berita duka: Ote-ote habis L

Kedatangan mereka yang telat dan ote-ote yang ludes karena ditebas pembeli lain serta gagalnya aku mendapat tempat duduk adalah cobaan yang diberi Unyil untuk melatih sabarku. Syukur deh masih ada tahu goreng yang masih panas ma sambel petis. Seep lah acara buka puasa kali ini.

Setibanya Rona yang disusul Prima (siapa lagi Prima itu?) Well, in short, dia ini calon Nyonya Rona Depatra. Kami berpindah tempat di atas terpal dan lesehan sambil menikmati purnama di balik sutet (sangat tidak romantis! Huekekekekek bodo amat!) Dan sangat tidak beraroma lagi saat Didik muncul dan memulai kegiatan rayu –merayunya.

“Sayang, kok di sini aja yuk kita nikmati bulan sambil jalan”

Aku masih asyik dengan tahu n bungku menthuk (anyone who knows this kind of food? This is special kue basah in Surabaya. Similar with Dragon sari Alias Nagasari berisi ayam or daging suir dan dilumurin santan kani terus dibungkus pake daun pisang dan dimasak sampe matang) yang diselipin teman di kantor tadi siang dalam tasku. Aku cuman nyengir kuda.

“Mo lihat bulan apa lampu oblek?” Sela Prima.

“Makanya Rona masih jelalatan aja la wong kamu ga romantis gitu.” Hehehe kena juga Prima dikerjain.

Wajahnya sirik tiap kali ada pasangan lewat. “Kamu minta mas kawin apa sih supaya kamu mau nikah ma aku?”

Kan udah kusebutin sayang!” Jawabku

“Canon Digital yang 10 MP, Notebooknya apple yang warna putih. Ga putih ga mau. Agak mangkak-mangkak dikit ga mau ta?

Aku cuman geleng sambil nahan tawa begitupun Ronde.

“Sama Ipod Nano yang 5GB ya? Total semua brp? Asal kamu mau nikah ma aku, tak kasih San!”

“Sekarang?”

“Oke. Aku mau donor ginjal dulu lah. Tunggu di sini. Apa sih yang ga buat kamu??”

“Dik kamu kalo nyangkem terus. Tahumu tak babat lo yo.” Dan Rona – Prima Cuma bisa ngakak ngeliat rayuan mautnya.

Ntah kenapa Didi akhir-akhir ini sudah ngebet pengen nikah. Di otaknya hanya ada keinginan punya pacar, kawin terus nikah. Padahal kerja juga dia ngaku lom mapan banget.

“Sekarang tak Tanya, kalo dah nikah kamu mau apa? Tujuanmu itu lo?” Tanyaku spontan.

“ML pak!” huakakakakakakakakak. Kami bertiga langsung ngakak.

“Habis ML ngapain?” tanyaku lagi masih sambil ketawa

“Ya siap-siap ML lagi!” Saat itu aku, Rona dan Prima sudah ga bisa ketawa.

“San aku itu wis 26taon. Nahan pak 26 taon! Bayangkan itu.” hahahahahaha…. Bullshit kalo yang ini.

Dan percakapan-percakapan lain yang mengalir deras dari mulut kami dengan diterangi cahaya purnama. Kali ini Purnama sudah tidak lagi berada di balik sutet. Ia sudah menyembul di atas tenda Unyil tapi kami memilih untuk duduk dan tiduran dia atas trotoar beratapkan bintang dan langit hitam. Bercerita tentang Argopuro yang akan aku lewati bersama teman-teman dan cerita konyol Didi yang tersesat di Welirang dan akhirnya meminta Joeitem untuk menjemputnya dan yang membuat memoriku terbuka adalah bahwa Didi sering memanggilku Peyek. Ya Peyek akibat kegiatanku yang selalu kebetulan menggoreng peyek tiap kali dia menelpon di rumah.

“Ingat ga San kalo dulu kamu dulu goreng peyek tiap malam terus dijual kan buat nambahin bayar Kiranamu itu?” hahahahahaaha…. Masa-masa susah. Masih aja ada di ingatannya. “Tapi ga nemen kek gitu yo!” Sanggahku.

Ataupun wajah Ronde yang bingung dengan cara ngomong ke atasan meminta kenaikan gaji dan keinginannya bersama Prima untuk membeli rumah. Wow…. Bener-bener bertujuan ya? Kapan aku bisa seperti mereka berdua? Hem, time will tell lah.

Teman-teman bilang aku sinting karena melepas kerjaan yang aku jalani sekarang.

Sinting sedikit ga papa kali. J

Saat ini prioritasku adalah reborn dan menjalani proses to grow and learn to be mature. Intinya pengendalian diri. Betul?? (Aa Gym mode on) Difficult but must to try.

 

Sesekali ponsel berbunyi. Kawan nan jauh di sana tadi masih kesel dan belum puas protes hingga akhirnya mengSMS. Aku jadi berhenti makan. Sudah tidak enak rasanya.  Andaikata bandara ada di seberang Unyil pasti aku akan berusaha  terbang ke sana sebagai isyarat bahwa aku benar-benar menyesal telah membuatnya kesal.

Hufffhh… I just dunno what to do to make your anger off.

Well, hari sudah makin malam, keadaan perut yang makin sakit karena banyak tawa dan nafsu makan yang suddenly lost akhirnya membuatku berpamit pulang. Mau istirahat.

Didi, Ronde, Prima kapan-kapan kita kencan lagi ya. Oh ya kira-kira Sutet tadi apa hubungannya dengan cerita ini? Ga ada. Cuman background pemandangan di depan aja. Hiks.

Makasih udah nemenin aku. Kamis temenin lagi yak.. hemm. nambah!.

 

 

 

 

Friday, July 20, 2007

Argopuro

Start:     Aug 12, '07 12:00p
End:     Aug 16, '07
Location:     East Java
Long Trip bersama Teman-teman Milis Pendaki.
Semoga senang dan menambah ilmu dan teman-teman baru.
Yang mau ikt.... buruan daftar.
Info lebih lengkap ada di www.pendaki.org

Thursday, July 19, 2007

Weekend

March 19-18, 20007

Hari itu lumayan panas. Tapi tidak menyurutkan langkah kiranaku sama sekali menuju terminal Bungurasih yang letaknya dari ujung ke ujung (I mean dari ujung utara ke ujung selatan) Dengan daypack merah kesayangan (maklum Cuma itu punyaku) aku berhasrat tinggi menuju Malang. Kota kecil di selatan Surabaya yang sudah setahun lebih tak kukunjungi. Untuk saat ini, orang mungkin malas menuju Malang. Selain jalan menuju sana yang macet karena orang beramai-ramai berdemo di Lapindo, udara juga sepertinya sangat tak bersahat. Hujan-panas dalam waktu yang ga tentu. Tapi bukan aku kalo hanya karna hal macam itu, langkahku munuju Malang jadi surut. Hidup Malang! Dengan semangat sumpex akupun berjalan ke sana. (I mean naik bis bukan jalan). Setahun lebih aku melewatkan malang. Terakhir kali aku ke sana saat patah hati. Sekarang di saat yang sama aku ke sana. Aneh. Tiap kali bermasalah dengan lelaki, sekembalinya dari Malang aku pasti tersenyum lagi. Masih inget jelas bagaimana aku manyun di hadapan Ita dan Regean yang waktu itu baru jadian. “Sudah tau kan, mbak itu maunya jalan ke Matos cuma sama Ita aja, ngapain sih Ita ngajak Regean segala? Emangnya ga ada waktu apa jalan ma Regean?” Ita bingung dan meminta maaf, aku yakin dia ga enak waktu ngajak Regean. Gue jahat banget sih ngeganggu orang baru jadian. Ita makin merasa bersalah saat tangisku makin menjadi. Tau ga waktu itu expresi Ita gimana? Wajahnya ikut memerah saat flanella menembangkan “aku bisa” “Itu kan lagu wajibnya Ita juga mbak waktu Ita ditinggal ma Yadi?” Nyindir banget nih lagu.

Demi aku yang pernah ada di hatimu

Pergi saja dengan kekasihmu dengan kekasihmu yang baru

Dan aku yang terluka oleh hatimu

Mencoba mengobati perihku sendiri

Aku yakin bisa

Aku bisa Tanpamu

(Flannela:Aku Bisa)

“Mbak. Mbak mau Ita gimana supaya mbak ga nangis? Ngerokok ya? Iya? Ita belikan rokok siapa tau mbak ga sedih lagi? “

“Beli tiga batang dek!”

Merokok ga enak. Aku batuk dan sesudahnya aku kapok. Aku milih makan jagung bakar dengan rasa pedas asam manis. Dan sepertinya 2 cone es krim mc Donald lebih enak daripada merokok. Kami muter-muter malang sampai jam 11 malam saking sumpeknya. Tau sendiri jam segitu di kota kecil pasti sudah sepi sekali. Masih dalam mobil kami bernyanyi tanpa henti mirip orang kesurupan. Lepas. Bebas. Sampai dini hari kami bermain bilyard di garasi. Curhat sambil nyodokin bola-bola dengan penuh emosi. Membuat list kejelekan Yudi dan Yadi. 2 orang yang sama inisialnya. Tapi juga sama-sama brengseknya. Waktu itu sich!!!! Dan gimana Ita yang menemukan Regean sebagai pelariannya namun akhirnya sampai sekarang mereka adem ayem tentrem gemah ripah lo jinawi. Tau artinya ga sih? Kubaca lagi SMS Regean yang dari tadi siang SMS ke aku berkali-kali.

“Mbak, pokoknya ntar malam kita jalan lagi kayak dulu. Tapi ga usah manyun kek dulu ya mbak. Aku kangen juga ma mbak yang lucu dan ceriwis. Mirip Ita.”

Satu botol aqua dingin dan chic magazine jadi teman selama perjalanan. Dengan tekad besi dan baja aku bakal tutup mulut selama perjalanan ga pake ngobrol sama sapa aja yang duduk di sampingku. Yang paling penting nih aku diem dan baca majalah. Masih di atas motor. Jalan di Surabaya sepi ga sepadat hari libur biasanya. Di balik cadar merah aku melirik diriku sendiri lewat spion. Kebiasaan narsis yang memang ditakdirkan untukku sejak aku lahir. Di mana ada kaca di situ ada aku.????

Weeks kenapa masih membekas ya? Sembab di mata kanan kiriku mirip atlit habis main tinju. Bayangan Chris John yang tiap kali istirahat sambil dikasih minum ma pelatih dari tempat minum warna putih dan berselang melintas di cermin itu. Kalo di rumah botol minum macam itu pasti dipake ayah untuk ngasih minum burung piaraannya. Nyebelin juga ya. Wajah udah ancur kek gini masih juga ditambahin mata yang sembab seperti habis disengat kumbang-kumbang. Semua karena semalam. Saat marahku meledak di depan ayah-ibu.

Jadi ini hasil aku dibujuk pulang? Apa janjinya? Ako boleh jalan ke mana aja? Mana buktinya? Pembohong semua!!!!!!

Dan mereka masih dengan pembelaan yang entah apalah namanya tetap kukuh memarahi dan melarangku pergi.

Betapa berbedanya aku sejak aku pulang dari Jakarta.

(Ya emang aku dah berbeda. So????????????????)

Bahwa mereka masih “ngeman” aku.

(Apa sich yang dilihat dari aku? I’m not that precious.)

Bahwa aku tinggal di rumah, maka aku harus nurutin mereka.

(Makanya aku berat waktu disuruh balik ke sini dan ngikutin aturan yang lama lagi. Bosen. Capek. Seperti inilah aku sekarang karena terjajah oleh aturan-aturan kalian!)

Pliss aku Cuma butuh tempat yang jauh dari rutinitas untuk menemukan diriku  lagi. Kapan kalian bisa mengertiku?

Tuhan

Jangan pulangkan aku lagi ke duniamu

Karna dunia yang kau beri sudah tak berarti lagi

Aku malas pulang dengan kejenuhan

Yang tiap saat datang tanpa henti

Jangan pulangkan aku bila hanya dia yang kupikirkan

Hidupku sudah tak berarti

Maka matikanlah sluruh jiwaku

Karna tiap sel yang ada padanya sudah bukan diriku lagi

Jadi matikanlah aku Tuhan

Masih terekam kuat kejadian malam itu TV dan radio kunyalakan kencang-kencang. Omelan ibu berlalu begitu saja di telinga dan otakku. Tapi tidak mataku. Ada yang meleleh di sana. Aku menangis sejadi-jadinya tanpa suara. “I’m not that precious. I’d rather die now! I’m not that precious. Please understand…..” I don’t know how long that I stated those f**** words.!

My sist. She come and hug me. “Ke manapun kamu pergi, kalo masih ada masalah akan tetap seperti ini.”

Kepala, mata dan hidungku sakit luar biasa padahal aku ingin terlelap setelah puas menumpahkan semua kekesalanku.. Tapi perut ini.. ah.. sakit sekali. Aku ingat aku belum makan dari pagi. Aku muntah. Kepalaku pening bukan main. Apa ini efek samping kelamaan menangis ya?

Hari itu libur nasional dan terminal cukup ramai dengan calo-calo penupang yang saling berebut.

Malang mbak?”

“Jombang mbak?”

“Banyuwangi mbak?

Aku cuek. Aku ingin santai dan ga buru-buru. Tapi daripada ditanya mulu aku memilih menyerahkan diri pada salah satunya. “Malang mbak? Biasa yo? “ Aku mengangguk dan mengangkat alis. Calo itu memegangi lenganku takut kalo diambil calo lain. Ada yang tau alasan kenapa calo bis selalu memegang lengan korban perempuan sedang kalo laki-laki pasti ga berani pegang-pegang. Emang penting ya pertanyaan ini?  

Bus lumayan panas. Ngapain juga naik bus biasa? Mending tadi naik bus patas aja ya? Meskipun harganya 2x lipat. Dalam keadaan seperti ini aku hanya berharap semoga nanti yang duduk di sampingku ga jutek. Mending ibu-ibu atau bapak-bapak tua yang ga banyak nanya “turun mana, dari mana? Asli mana? Ada hp ga? Mau diantar ke tempat tujuan ga?” GRRRRRR!

Masih dalam panas, tiba-tiba seorang laki-laki merebahkan diri duduk manis di sampingku. “Et dah. Susah banget menghindari lelaki ya?”

Mataku melihat keluar jendela dan sesekali beralih ke chic yang salah satu artikelnya bilang “7 tanda-tanda salah pilih pacar”. Hemmm sepertinya kesalahan itu aku alami ya? Kenapa artikel ini ga muncul sebelum aku mengenal kata pacaran. (That’s silly question too!)

Bus mulai berjalan melewati tol Surabaya-Sidoarjo. Penglihatanku tetap pada luar jendela tanpa sedikitpun menoleh ke samping kananku. Aku inget, dari dulu aku ingin melihat lapindo dengan Lumpur panasnya yang bikin heboh. Aku belum sekalipun menyaksikan seperti apa bentuknya. Sebelah mana sih? Saking penasarannya, dengan terpaksa aku bertanya pada laki-laki di sampingku. “Mas, mana sih Lumpur lapindonya?”

Seperti yang kuduga sebelumnya. Dengan semangatnya ia bercerita tentang asal muasal Lapindo. Sambil sesekali melontarkan pertanyaan-pertanyaan tadi. Tuh kan? Aku bilang apa? Pasti pake Tanya yang itu deh… Males banged (pake “D”)

Percakapan terhenti saat hujan tiba-tiba turun tanpa permisi. Deres dan kenceng. Aku harus menutup jendela.

Hujan………

“Di sini hujan Cinta”

“Iya sama di sini juga”

“Kok bisa ya sama-sama hujan. Padahal aku di sini kamu di sana kan? “Emang langit seberapa luas sih? Sampai Jakarta hujan, Surabaya juga hujan?“ dia Protes di tengah malam saat kami asyik bertelpon. Kegiatan wajib dan rutin kami waktu itu.

“Ga tau”

Mungkin malaikat penyiram air hujan waktu itu pada ngerti perasaan orang jatuh cinta kali ya? Jadi seandainya Surabaya hujan, Jakarta pun pasti dikasih hujan. Yang jelas airnya sama-sama dari malaikat cinta. Tiap saat kami menyamakan diri kami masing-masing. Sama-sama kena flu pada hari dan jam yang sama. Ngerasakan udara yang sama-sama panas, nomor ekstention kantor yang sama-sama 103nya. Bahkan zodiac yang sama. Semua serba kebetulan.

“Cinta kita memang berjodoh kali ya?” Ucapnya by the phone.

Aku menghela napas panjang. Membuka lembaran Chic berikutnya. Bus masih melaju kencang. Tapi tiba-tiba berhenti di depan pintu tol keluar. Antri. Waduh macet nih. Ternyata benar. Jalan tol terputus dari Sidoarjo dan harus putar balik melewati Porong dengan kemacetan yang panjang dan syarat akan hiburan pengamen, penjual permen dan juga penjual klepon. Ya Klepon. Makanan favoritku. “Satu ya Pak!” teriakku semangat tanpa malu.

“Lapar ya mbak? Mau kacang? Permen? Mau? Nih ambil aja punyaku” kata mas tadi. Jutek deh.

“Nggak, makasih” Aku mau klepon!!

Hemmm lumayan enak. Tapi kok ada rasa anehnya ya? Gamping ? apa kebanyakan gamping ya? Tau gamping ga sih?

Sudah separo kotak klepon kuhabiskan. Malasss. Baca lagi Chic ah.. ada yang bergetar dalam kantongku. SMS diterima…… Laporan bahwa rekeningku bertambah Rp. xxxxxxxx. Wah siapa yang salah transfer nih? Beberapa menit kemudian SMS lain masuk. DJ. Si bule Tanya apa aku sudah terima uangnya? Cukup untuk uang saku keminggatanku?

Bule    : ”Susaaaaaan, lw kenapa? Ada apa?

Aku     : “ Bisa nggak sih lw ga ganggu gw sehariiiiiii aja. Gw kan bilang gw ga mau diganggu minggu2 ini. Gw lagi sumpex (pake “x”)!!!!

(Gw bukan sumpek ma lw, tapi sumpek ma dia. Salah gw apa? Mereka yang ngecengin kok gw yang kena getahnya?)

Bule    : “Oh…. Susan jangan marah gitu donk!”

(Nih gw yang paling benci denger cowok ngerengek sambil bilang “oh…’ yang dimanja2in n dibikin sesimpatik mungkin.) Gw, Cuma mo mastiin lw baik-baik saja honey……(For God shake! Jangan panggil gw honey, Dear, My love. It’s all f**** sheet!). Bagus Bule jadi sasaran empuk buat aku marah setelah pertengkaran hebat semalam. Jangan nelponin orang pas zaman perang gini ya!

Bule    : Ada apa sebenarnya? Lw habis nangis ya?”
Aku     : Iya! Aku mo minggat dari rumah!

Bule    : Kenapa? Lw dilarang hiking honey?”

Aku     : Tau ah males ngomong!”

Bule    : Ok. Aku bisa ngerti. Aku bisa Bantu apa?”

Aku     : Nggak ada. Oh ada. Jangan hubungin gw lagi!!!!!!!”

Bule    : oke.. Emang lw cukup duit buat minggat?”

Aku     : Cukup!!! Kalo habis gw bisa jual barang2 gw. Lw ga usah tanya2 ah!”

Bule    : Oh.. no.no.no hon, jangan jual barang2mu!”

(yawdah gw jual diri! What do u care????!)

Setelah itu, HP kumatiin. He hasn’t finished to talk. Aku tau. Aku jutek banged (pake D). Nih orang kapan nyerahnya ya? Mungkin kalo ayam-ayam pada henti berkokok dia pasti berhenti.ti.ti.ti…

Yes. Thanx. That’s too much. I’m not asking but u gave it 2 me. Don’t know how 2 pay u back. I don’t need it 4 a moment.

Sent…

He’s been so kind to me. But still I cannot love him. I’m sorry. U’re the only one who come when I’m dying. But you’re not the one that I wish. Hope I can pay ur kindness back………………

Mas di sebelahku tetap melancarkan pertanyaan-pertanyaannya yang sangat biasa. Kenapa lama sekali ya jarak Surabaya-Malang? Biasanya kan Cuma 2 jam? Huh…. Sampai kapan aku kan tetap di sini ya?

“Oh jadi mbak pernah kerja di Jakarta ya? Saya juga mbak. Tapi saya di Bekasi”

“Oh ya? Jadi apa mas? “
”Saya jadi tukang bakso mbak”

“Wih… asyik dong mas.”
”Asik apanya la wong saya pernah dorong bakso dari Kalimalang sampe Cikunir ga ada yang beli.”

“Ya gitulah mas, orang jual kadang laku kadang masih banyak.”

“Makanya saya Cuma sebulan mbak. Gak kuat. Jakarta ga seenak kata orang-orang..”

Aku tersenyum. Mengangguk dan agak sinis. Jakarta juga ga seindah yang kukira dulu mas.

Semua begitu indah, sampai dia memutuskan untuk menyudahi semua lewat sikapnya yang menyiksaku dalam berbagai pertanyaan. Sampai saat ini aku tetap bertanya apa yang salah padaku sampai aku disudahi tanpa daya, tanpa ampun dan tanpa kesempatan untuk bertanya kenapa dan membuktikan bahwa aku bisa menjadi seperti yang kau mau.

Kau bilang karena Kau dijodohkan! (Pesan moral: akhir-akhir ini banyak lelaki yang sudah dijodohkan! WASPADALAH! WASPADALAH!) yang pada akhirnya kau mengaku bahwa kau masih mencintainya.

Terakhir kau bilang karena kita sudah ga cocok.

Ga cocok

Ga cocok……

“Lihat aja zodiac kita sama, kalo sama banyak ga cocok-nya” (kalo dipikir-pikir waktu itu dia seperti orang “dewasa” yang berusaha ngebujuk anak kecil yang ngerengek pengen es krim. “Sudah jangan beli Esnya Bapak itu, tunggu aja nanti tukang Es yang pake celana merah!”)

Bagaimana mungkin saat berjauhan kau bilang aku tujuan hidupmu yang kau damba lalu sekarang saat aku menurutimu untuk mendekat padamu, kau bilang kita ga cocok? Kau sendiri yang bilang bahwa semua kebetulan itu adalah tanda bahwa kita memang berjodoh (apa kau tertular pribahasa Jawa : Isuk tahu, Sore tempe?). Kau yang menawarkan dirimu untuk menemaniku melihat bintang di malam hari hingga subuh datang. Kau kubur kemana semua ucapanmu itu? Kemana? Apakah hanyut bersama siraman hujan yang tak lagi sama? Ataukah melayang pada bintang kita masing-masing yang langitnya terbelah karena sudah tidak cocok?

Semua hanya diplomasi kan? Hanya speak yang kau buat-buat. Katakan saja kau tak cinta. Katakan saja kau hanya coba-coba untuk jalan denganku. Katakan saja aku bukan perempuan sempurna yang kau mau. I’m just your second hand! You just want to try me! You just want to play me!

What a lie…….

You and I

What about All your 10,000 promises

That you gave to me

(BSB: 10,000 promises)

Satu jam setengah yang penuh perjuangan dan satu jam yang membuat masa lalu itu menari-nari di kepala dan telingaku, akhirnya kami sampai Kali Porong. Huh! Akhirnya wajah-wajah para penumpang menunjukkan kelegaan. Supir bis sudah menancap gas kencang-kencang. Macet sudah berlalu. Akupun bisa rilex agak bersandar di tempat duduk nan sempit.

“Berarti mas-nya ini nanti nyambung ke Blitar ya kalo sudah sampai Arjosari”

“Iya. Mbak kok tau?”

“Sodara saya banyak yang di Gadang, Blitar, Dampit juga banyak. Tapi saya jarang ke sana. Saya seringnya ke Blimbing.”
”Oh… kalo ke Blitar mampir saja mbak ke Karangkates. Nanti saya jemput.”

“Iya. Gampang.”

“lho bojo-ne neng endi mbak?” (kenapa sih laki-laki itu selalu nanyain hal-hal yang ga penting kek gitu??? Pengen tau kita itu laku apa ga ya??)

“Almarhum semua!”

Angin masuk melalui jendela dan ruang–ruang yang agak lapang dalam bis. Dan sembab mata ini makin membuatku ngantuk. Aku harus berjalan lagi harus melangkah lagi meskipun aku terseok-seok dan tulangku patah aku harus melangkah, ga boleh melihat ke belakang lagi kalo ga mau ketabrak. Sesampai di Malang, aku pasti bisa. Akan ada tawa lagi, akan ada senyum lagi, akan ada harap lagi. Pasti.

Tepat pukul 1 siang, bus memasuki terminal Arjosari. Sampai juga diriku di Apple Town. Cukup melelahkan perjalanan ini tapi tak selelah diriku bernapas tanpamu. Dan supaya aku ga lelah lagi, aku harus mencari space baru untuk menambahan oksigen. Ga perlu Oxican kan untuk bernapas? karena masih banyak pohon dan tumbuhan yang memberinya dengan gratis untukku. ……

Lima menit lagi, aku akan berada di peraduan bersama Ita yang sengaja ga ku beri tau bahwa aku sudah sampai.

Sampai jumpa lagi Cinta..

So much hurt, so much pain,
Takes a while to regain what is lost inside,
And I hope that in time, you’ll be out of my mind.
I’ll be over you.
(Gabrielle: Out of Reach)

 

Kedatanganmu

Bertemu denganmu di siang ini membuatku tersenyum sepanjang waktu.
Sama sekali bukan yang kuharap untuk bertegur sapa di pagi ini denganmu. Tiba-tiba kau tawarkan mawar merah jingga yang sempat ku mau. Meski semu dan membodohi. Tak ada harap sedikitpun terlintas. Kecuali senyum yang lagi-lagi bisa kunikmati sendiri.

Kawan, sekian lama kita tak bertemu kau sudah jauh melangkah meninggalkanku. Namun tak pernah ada prasangka jika semua ini akan tetap merekah. Seperti sedia kala saat kita berdiskusi panjang lebar tentang hidup kita masing-masing.

Kawan, Aku sudah tersenyum lagi, menikmati deru angin dan ombak yang dulu sempat kau ceritakan padaku........

 

Di Ruanganku yang dingin: 19/07/07: 14:30

Tuesday, July 17, 2007

IJEN PLATEU




When everthing's getting normal, I haven't figured out the new point to reach. (shoot by The Lonely Tracker)

Monday, July 9, 2007

Ijen Plateu with Him and his young GF....

Siluet sore kemerahan menemani kami di terminal kecil Besuki yang jaraknya 2 jam dari Terminal Bayuangga Probolinggo. Sambil menunggu bis ke Bondowoso, aku  duduk di bangku penjual minuman bersebelahan dengan Dhea di pinggiran jalan dan asik membuka kulit telur puyuh. Dia paling suka memilah-milah isinya sambil menyingkirkan si kuning yang dianggapnya lembek untuk dialihkan ke mulutku. Sang ayah masih asyik dibujuk para ojek supaya menerima jasa ojekannya ke Bondowoso. 50rb  untuk 2 motor. Aku melirik aja pas mendengarnya hampir tergendam rayuan maut si Tukang Ojek. “Nop. Kita naik bis aja. Kemahalan naik ojek. Bis datang jam 5. Kurang 15 menit lagi kan?” Taufan setuju. Belum sampai 15 menit, bis tanpa ac yang terlihat full mengantar kita ber tiga menuju Bondowoso. Untung si kecil tangguh. Dia ga bermasalah walaupun nanti harus berdiri. But, thanks God we got seats to sit.

 

Persis jam 6 kami sampai di Bondowoso dan bertemu jeep yang sudah dibook Taufan sebelumnya. Pak Andin the man in charge, sudah menunggu sejak bis yang kami tumpangi tadi masih melewati Paiton kira-kira jam 4 sore tadi. What a professional! Dan udara dingin menyambut kami ketika perlahan-lahan jeep menanjak ke arah perkebunan dan melewati jalur perhutani dengan jalan yang huh… bisa mengocok perut. Berliku dengan tikungan-tikungan tajam dan pohon-pohon pinus di kanan kiri kami. Dhea mulai tak sabar dan bertanya berkali – kali ke ayahnya kapan sampai. Hingga akhirnya dia tertidur di sebelahku. Maklum kami sudah melakukan perjalanan sejak jam 12 tadi siang di dari Malang dengan bis yang berganti-ganti. Mataku yang harusnya masih beristirahat karena kejar tayang pekerjaan sampingan men-translate yang kualami 2 malam kemarin, saat itu harus keep on steady.

 

Pukul 20.20 akhinya jeep memasuki kawasan perkebunan kopi Blawan milik PTPN XII.

Keroncongan menyertai kami bertiga dan dengan “agak” lahap kami menyantap makan malam bersama. Sop, nasi goreng dan mi goreng perlahan-lahan bersandar di perut memberi makan kaum duafa di dalam perut 3 refugees yang terlantar di Catimor yang ternyata merupakan hotel yang sudah berdiri sejak 1800-an sejak meneer-meneer Belanda menguasai perkebunan di sekeliling Ijen. Pantas kalo bangunan kuno itu masih berarsitektur panggung. Dengan desert tawa dan canda hingga pukul 11 malam kami melakukan ritual menutup mata. Dan zzzz…zzzz… ape’ deh..

  

Pukul 5.10 alarm berbunyi. Membuatku membuka mata. Yup the trek begins this morning. Sang ayah dan pacar kecilnya makin erat menutup selimut waktu kubangunkan mereka. Sengaja selimut kuambil dari tubuh mereka.

“Come on wake up! Ijen is waiting!”

Dhea bangun sambil tersenyum sedang ayahnya malah telungkup memeluk Dhea kembali yang sebenarnya siap-siap beralih-alih makin erat

“Hiks.. selimutnya ditarik. Bobo lagi yuk sayang… Sini biar anget. hehehehe…” Ledeknya

“Nanti aja tante Susaaannn.” Dhea mengikuti Bapaknya.

“Ye… katanya semalam mau bangun pagi-pagi liat surise? Mau ga?”

“Mau.”

“Tuh tamu yang lain udah berangkat. Nanti kita ketinggalan dan ga kebagian sunrise lo de’”

Mendengar kata ketinggalan, si kecil langsung bangun. Good Gal! Let’s leave the dad. Xixixixi……

 

Acara tarik menarik selimut usai sudah. Tepat jam 6 pagi setelah mengantongi roti dan telur, kaki ini melangkah menunju jeep yang agak telat menjemput. Karena udara dingiiinnnn sekali, selimut hotel kami bawa sebagai teman penghangat dalam mobil.

Mata kami menikmati udara pagi dan pemandangan yang tenang selama perjalanan menuju kawah Ijen

 

Ijenan menuju Ijen

 

10 menit ke arah 7, jeep memasuki kawasan Ijen Plateu. Cukup Rp. 1.500,- untuk memasuku kawasan ini. Bau Sulfur sudah menjadi aroma penyambut selamat datang. Trek kami kira-kira 3 km untuk sampai ke kawah. It’s too cool sampai akhirnya North-face milik Taufan kupakai. Tapi aku lupa, tiap kali kedinginan aku anti sekali memakai baju berangkap-rangkap. I chose to get cooled than being sick!

Too late, pusing memburuku. Efek kelamaan jarang naik dan jarang jogging. Huh! I hate this. Kurelakan berlelah-lelah bersama Taufan dan Pacar kecilnya. “Udah mas duluan saja sama Dhea dia udah nunggu. I’ll be fine!”  Setelah menyerahkan sekotak susu Ultra buat bekalku, dia langsung mengejar pacar kecilnya yang sudah tidak sabar berkompetisi menuju puncak dengan anak kecil di belakangnya.

 

10 Menit aku bertahan dengan siksaan di kepala hingga akhirnya kukeluarkan semua. Legaaaaaa banget.

Perjalanan tidak lagi memuakkan karena sakit kepala dan syndrome dingin. Berkejar-kejaran dengan bule-bule Prancis yang kalo jalan pake jinjit-jinjit. Sesekali aku mencoba menirunya. Tapi baru 3 langkah aku meneyerah. Nyiksa batin dan harga diri. Ogah! Hahahaha…

Ternyata berjalan sendiri itu nikmat. Aku terdiam dalam lelah, penat dan keindahanNya. KeajaibanNya sampai aku bisa berjalan di sini. Pemandangan di sampingku tak bisa membuatku terdiam dan berhenti berucap Subhanallah.

Gunung Raung dengan gagahnya bersanding dengan Gunung Cengi. Dan bukit-bukit lain yang tak akan pernah lelah menawarkan pesona. Ditambah lagi gantungan awan di kanan kiriku. Allahu Akbar. U’re so Gorgeous.

Para penambang yang tiada lelah memanggul belerang dari atas bergiliran bersisipan denganku.

Tikungan dan tanjakan kulalui dengan senyum meskipun harus terengah-engah. Akhirnya jam 08.45 aku akhirnya sampai di sana. Kawah yang luas menganga dengan warna hijau di dalamnya dan dari jauh kulihat sang ayah sedang asyik motret pacar kecilnya, She swinged her hand calling me. Finally I met them.  

Yups it’s time to be banci poto.

Dalam terpaan angin dan aroma sulfur membuat si pacar kecil ingin turun cepat-cepat pulang. Namun, sang ayah masih belum puas mengembangkan kemahirannya berfoto. Dan dibujuknyalah lagi si kecil menuju tempat yang lebih aman dari terpaan angin. hehehehehe

Tak lama kami di atas. Kiran-kira jam 09.30 kami turun. Kali ini lebih riang karena terus bersama-sama. Masih dengan keindahan bukit-bukit gagah dan gantungan awan putih dan langit biru itu, kami turun. Bercanda bersama si kecil main tebak-tebakkan garing dan sesekali terhenti untuk minum dan menikmati bekal juga membagi rokok kepada para penambang. Sebelum kembali ke jeep, Dhea meminta ijin untuk memberi makan kijang-kijang di dekat pos.

“Ayah kita beli Kijang aja ya. Biar aku bisa kasih makan tiap hari?”

“Mau? Ya udah beli” Timpal sang ayah.

“ Asyik..” She’s so eager and can’t wait.

“tapi kamu ya yang naikin sampai ke Solo?”

Dan wajah imutnya kembali di tekuk…. Aku dan Ayahnya hanya tersenyum saja.

So Fun…….

 

  • For Taufan and pacar kecilnya. Thanks for allowing me to join the trip. It’s unforgettable. Ayah ingat yah cerita Pak Andin tentang kenek yang bunuh diri itu. hehehhehee. Anyhow U’re such a great father… Lucky to have u on her side.
  • To Jasmine Amadhea Lintang Amadangi, si pacar kecil sang Lonely trekker… Tough girl. No more words to say for you.
  • Dan Yang menguasai jagad alam raya beserta isinya termasuk aku dengan segala limpahanMu aku tetap memerlukan pelukanMu kapanpun dan di manapun