Sunday, October 24, 2010

Surat Kepada Hujan

Aku ke sana lagi Rain,

Ke Sukamantri. Sudah 3 tahun lebih berlalu, dan masih sama jejak itu. Jalanan, portal, dan pemandangannya masih seperti saat pertama kali aku menyapa tanah basah yang bersebelahan dengan lahan tapos milik mantan penguasa negeri ini. 
Samar-samar aku mengenang di mana pertama kali aku dan dia menapaki bukit itu. Meskipun di waktu berikutnya dia melepeh seluruh kenangan kami, namun tidak lagi aku mengutuknya.

Rain, harusnya kemarin aku tertawa bersama kawan-kawan setiaku itu. Aku sadar, aku sudah tidak lagi sepadan dengan pembahasan mereka kecuali kenangan bodoh yang kami urut satu persatu dengan tawa. namun harusnya itu bukan masalah kan, Rain? Memang tidak bermasalah sama sekali.

Namun entah kenapa rencana untuk tergelak tanpa henti itu menjadi naik turun seperti kincir raksasa di Dufan yang pernah membuatku takut bukan kepalang itu.
Aku sedih Rain, sedih mengingat sebuah cerita singkat yang manis di awal, namun getir sekali di akhir .

Tiba-tiba rain, otakku tidak bersinergi dengan Sukamantri dan hujannya dan semua gurau di sekitarku. Tiba-tiba sakit itu terasa sekali, rain. 
Semua cerita kami terputar tanpa remote di monitor maya kepalaku. Jangan bertanya seperti apa. Mungkin mirip dengan luka yang hampir mengering tapi tanpa sengaja terciprat air laut.. Perih luar biasa dan membuatku takut berada di sana. 

Buitenzorg sore itu bising oleh hujan dan aku sama sekali tidak menikmati lagi percikan gerimis di luar jendela mobil kami. Aku ingin segera pergi dari kota kecil itu dan tak akan melangkah lagi ke semua tempat yang mengharuskanku singgah di situ, rain.
Rain, aku tidak ingin mengingatnya lagi. Tidak untuk menyimpannya juga di memori diamku. 
Aku membenci Buitenzorg seperti aku membencinya....

______
12122012