Sunday, June 29, 2008

Jika Jompo Dikalahkan Berondong


Ya kira-kira seperti kejadian subuh tadi di Ernst Happel Stadium saat matador-matador berondong yang dimotori oleh Iker Casillas yang keren abis menjaga gawangnya. Oke lah penampilan yang terkesan culun itu setidaknya bisa mematahkan kearoganan tim panser yang dari awal sudah terseok-seok jalannya menuju babak final perebutan piala eropa dan akhirnya berhasil ditekuk cuma dengan 1 gol doang oleh si pirang Tores.

Saya ingat waktu masih SMP dulu, saya adalah salah satu penggemar berat Lega Calcio karena di situ ada Maldini yang waktu itu masih muda belia dan sekarang sudah berencana pensiun. (gosipnya tiap ganti musim kompetisi demikian, tapi kok ya belum gantung sepatu sampai sekarang yah? Jangan suka ingkar gossip deh, Mal!). Sebagai perempuan normal saya yang tidak bisa main bola, memang lebih menyukai mengamati sepak bola Eropa daripada Liga Indonesia dengan alasan utama : Pemainnya cakep-cakep! Ga mungkinlah saya jadi penggemar berat Liga Indonesia yang pemain gantengnya bisa dihitung. Itupun impor, contohmya Jeremi Rojas yang lebih terkenal karena kasus buah membuahi sarah azhari ataupun pemain Persebaya yang konon dulunya dikenal cukup hebat di negeri asalnya, saya sudah lupa dia berasal dari mana, yang saya ingat namanya Branko. Dan keahliannya bukan mencetak gol tapi memacari selebritis yang tidak terkenal, yang itu saya juga malas menulisnya. Ga terkenal sih! Jacksen F Tiago, Roger Mila? Dah buat elo ajah! Hahahaha… pendeknya saya menikmati bola liga eropa (kecuali liga Inggis, I don’t like it, apalagi Beckham… Go away deh..) ya karena cakepnya pemain-pemain itu, bayangin saja ketika mereka meronta-ronta kesakitan di lapangan, busyet mukanya masih aja kece abiss! Enak aja buat dilihat. Beneran lo kalau pas lagi ga pengen makan, liatin mereka main bola, nafsu makan ini rasanya makin tinggi (Yang ini hiperbola!)

Dan untuk kesekian kali, alasan yang sama berulang kembali dini hari tadi, bedanya apa yang membuat saya akhirnya mau melek untuk melihat final piala Eropa kali ini adalah keingintahuan saya untuk mengamati gaya pelatih Jerman, Joachim Loew dan bukan tampang para pemainnya di lapangan hijau itu. Karena kesengsem liat tampangnya yang sering muncul di kompas dan detik itu, sayapun memegang Jerman sebagai pemenang.. Dan ternyata benar. Dia memang- oh my God! I must admit… an eye catching coach-. Dan yang lebih membuat saya betah untuk menahan kantuk adalah pantat sexinya. Sedang serius keliatan seksih, apalagi kalau sedang panik wuihhh makin seksi bow… Wakakakakak..

Seorang teman nan jauh di sana sms “Ampun… sampe ngamatin pantat segala!” hahaha… Gimana lagi mas Dhanis.. pantatnya memang eye-catching selain mata dan bibirnya yang juga cool pastinya. Halah! Seandainya saja pelatih sepakbola Indonesia ada yang sedemikian kerennya, pasti deh rajin nyambangin mereka latihan bola. (Ah itu kan hanya imajinasi bonex yang haus akan keindahan pemain secara sudah lama sepakbola kita cuma ecek-ecek di tengah ketidakmaluan yang sempat mencuat.)

Berbeda dengan Loew yang memimpin pemain-pemain gaek, sang pengatur dari Spanyol, Luis Aragones berusia cukup senja. Saya kagum melihat semangatnya yang keren jadi senang aja melihatnya meskipun penampilannya jauh dari kata seksi. Mungkin semangatnya yang funky itu yang akhirnya memotivasi kaum muda matador untuk berlatih lebih giat tanpa beban. Terbukti dari awal pertandingan mereka sudah main dengan halus, GPE (Ga Pake Emosi) Berbeda dengan Panser yang berkali-kali naik esmoca sampai berkali-kali pula salah arah dan tujuan. Ya maunya ke gawang tapi mesti keliru ke samping or ke atasnya gawang. Aduh. Beberapa menit sesudah peluit paruh kedua, saya sms ke mas Dhanis lagi yang insist untuk menjagokan tim panser (mungkin ia merasa harus membela tim ini karena masih merasa dirinya indo Jerman seperti halnya Podolski yang masih punya pertautan batin dengan Polandia. Mas.. ingat mas, sampeyan ini Wong Sunda asli. Hahaha…) Jadi sms saya berbunyi “sdh mas sptnya si jompo dah waktunya ngalah ma yang berondong. Ga usah nangis.”

Dan benar Tores jadi satu-satunya penyelamat Spanyol lewat gol yang dia ciptakan di babak pertama, dan ketika peluit tanda pertandingan berakhir berbunyi, saya melihat euphoria yang sepi. Tidak seperti ketika Italy, Prancis ataupun Jerman menang, apalagi kalau dibandingakan dengan suasana Persebaya menang liga (ini lagi ) Mungkin karena pendukung yang ga banyak memenuhi stadion atau karena mereka masih merasa kaget saja secara dah lama banget ga pernah menang jadi kesannya kagok alias kaku pas mereka pegang piala. (Halah! Sirik aja!)

Dan SMS terakhir yang saya dapat, “Halah… beneran kalah ama berondong deh, hiks…”

Dan Si kakek Aragones dapat hadiah dilentur-lenturkan para matador berondong ke angkasa.

Dan Loew, si pantat sexeh pun loyoh….
(Don’t worry Loew, I wish I was there by your side. Waduh! Kesengsem soroh ini … )


** photo taken from detik.com

Sunday, June 8, 2008

Langkah kecil ke Mahameru

Bembeng menyuruhku menutup mata lalu menggandeng tanganku dan memintaku berjalan perlahan ketika beberapa langkahku bersiap menapaki area savanna kecil di antara cemoro kandang dengan Kalimati.
Sepertinya mirip seorang kekasih yang ingin memberi kejutan hadiah waktu anniversary atau semacamnya ke pasangannya.
Aku bertanya GR. “Mau ngasih kue tart ya mas?”
Bembeng tidak menjawab melainkan masih menuntuku pelan sakan-akan akan memberi kejutan lebih besar dari hanya sekedar kue tart. Mungkinkah itu mobil... Apa emas batangan sekilo? Ga mungkin!! Apa mungkin penghasilan mbeng langsung diwujudkan dalam bentuk maskawin saat itu juga?
Hem… atau mungkin mbeng sudah menyiapkan laki-laki tampan semacam Nicholas Syahputra, masih single, setia, petualang sejati dengan carier di pundaknya berdiri merentangkan tangan bersiap-siap menyambutku sambil membawa bunga edelwis untukku di tangan kanannya?– ini impian perempuan jomblo yang lama medag jaya buanget deh.
“Oke San, sekarang buka matamu.”
Aku menjerit takjub, kaget dan tidak percaya bahwa lukisan itu ada di depanku.
Gunung mengerucut dengan asap di atasnya yang menyembur-nyembur indah tanpa ampun dengan dentuman-dentuman mesra menyambut langkah pertamaku menuju kakinya..
Sesudah menjerit kaget aku terdiam dan bertanya “Itu apa mas?”
“Gunung!” sambil menyalakan batang rokok dan membaginya bersama Mr. Sugianto (porter tercinta kami)
“Mahameru namanya.” Lanjutnya
Dan ini adalah langkah pertamaku menuju padanya.

Agustus ini Kalimati sangat-sangat dingin plus panas di siang hari. Tangan-tangan kami benar-benar mati untuk memasak waktu malam tiba. Tak berani tidur di tenda karena dingin, kami berlima (aku, Miss Ary, Bembeng, Sigit serta Sugianto makan malam sambil menghangatkan diri.
Tak ada yang ngecamp di sana selain kami dan 2 orang dari Bromo Tengger yang naik karena mau bersemedi di sana.

Di batas akhir Archapada………….
Sesudah berpijak dengan rantai di kanan kiri, aku sudah tak memiliki bantuan lagi untuk menahan langkahku menyusuri jalan berpasir itu.
“Mas… pegangannya di mana lagi?”
“Heh????? Ga onok, San!” (Ngga Ada!)
Aku melongo tanda tak mampu. Mengikuti Bembeng dan Ms. Ary yang kala itu masih ada di sampingku. Lama-lama mereka berjalan menjauh. Aku jatuh bangun sendiri begitu juga ketiga orang itu. Mbeng, Miss Ary, Sigit saling berkejaran. Aku bingung melihat gunung ini. Dalam hati sempat berpikir, kok ya mau naik gunung kalau disiksa secara nista macam ini. Sempat pula dalam kelelahan kami shoot foto dan mengambil video untuk direkam. Sunrise menemani perjalanan 2 up 3 down atau 3 up 5 down itu.
Sumpah ga sampai-sampai!
Entah sampai kapan perjalanan ini akan berakhir.
Berkali-kali aku menoleh ke belakang. Melihat gumpalan awan putih bagai lautan itu, atau menoleh ke arah timur, melihat srengenge (matahari) yang baru terbit dengan cakrawala warna jingga yang menggaris bagaikan pembatas antara bumi dan langit itu. Padanya tak henti-henti aku berucap Subhanallah, Allahu Akbar diantara napas yang tersengal-sengal menahan lelah dan stress melewati pasir-pasir itu.

Sesudah melintasi cemoro tunggal sejam yang lalu….

“Ayo San.. kurang dikit San… “ Aku memotivasi diri sendiri.
Namun sayang beribu sayang aku lelah… lapar..
Berhenti menikmati semilir angin dan melepas lelah serta penat.

Aku terbayang rawon di warung budeku di Malang, atau soto daging khas Malang yang sedap pakai koya kelapa plus babat goreng, minumnya fanta or sprite. Wah keknya aku harus cepat naik biar sore ini bisa segera turun ke ranupane dan langsung bablas ke Malang terus makan soto or rawon (meskipun aku ga terlalu suka karena post-effect sesudah makan rawon, tapi keknya lebih enak makan rawon daripada prusutan di pasir ini) sesudahnya aku akan tidur. Lalu besok paginya ke pasar Blimbing beli tempe kacang digoreng pakai tepung terus di makan anget-anget. Enaknya… Pasti ga akan terasa lagi siksaan ini.

Itulah isi otakku ketika sesaat malas menuju pucak. Otak berisi bayangan makanan-makanan enak itu menemaniku sampai 200 meter menuju puncak mengakibatkan aku lapar beneran. Aku memilih diam saat lelah menyerangku habis-habisan. Sudah tak ingin melangkah lagi pada puncaknya. Kulihat Ms. Ary dan Mbeng dah jauh hampir sampai ke puncak. Sigit beberapa meter di belakangku dan juga ogah-ogahan menuju puncak.
Sudah tak kuat, mataku berkunang-kunang, semua terasa gelap dan aku memilih menjatuhkan diriku di atas lautan pasir itu.
Murmuring, I said, “I can’t stand. Aku ga mau ke puncak.. aku ga mau.. aku mau turun..” sambil menangis sedih sendiri.
Dan menutup mata sampai lelah berbicara sambil menangis. Sigit menggeretku mengabarkan bahwa dia juga ga akan muncak karena sepertinya ia ga sanggup. It was his first trip too.
Aku dah no reken him waktu sadar. Beberapa menit kemudian aku keluarkan sebatang cokelat sambil mengusap air mata. Kukunyah sambil duduk di bawah matahari yang makin menyengat. It’s 8.40 a.m.
Melihat bawah dan awan-awan putih perlahan-lahan menghilang aku melihat ke bawah. Cukup jauh juga langkah ini. lebih kurang 100 meter lagi menuju puncak. Apakah akan sampai di sini saja langkahku?
...........................................

Apa kata dunia kalau kurang sekian meter saja aku menyerah untuk sampai ke dekat jonggrang saloka. Lagi pula jika ini adalah perjalanan terakhirku, mungkin aku harusnya mengakhiri dengan indah. Mungkin tak akan ada kesempatan lagi untukku menapaki keganasan pasir ini. Setidaknya kalau aku berpindah planet, akan dapat aku ceritakan bahwa aku pernah menapaki gunung sialan nan indah ini.
Huh!! Aku menarik napas panjang, sisa cokelat aku kantongi lalu melihat jam tangan. Kurang 15 menit lagi. Di atas jam 9 Mahameru sudah terlarang untuk didaki. Racunnya sudah mulai mengintai penginjaknya.
Ku katakana pada Sigit, “Git, aku muncak saja. Kalau kamu ga naik, aku nitip daypackku ya. Kalaupun hanya 1 menit di sana gapapa. Aku Cuma ingin tau puncaknya sebentar saja.”
Berbekal cokelat kecil aku ke atas tanpa memikirkan apapun kecuali menyebut namaNya. Dan hanya berhenti beberapa detik untuk menghela napas.

“Ayo San.. dikit lagi” Teriak Mbeng n miss Ary di sana. Mereka sudah terlihat lagi.
Aku makin girang. NamaNya makin cepat kudendangkan mengiringi betis jelekku yang kusiksa habis hari itu.
Lalu ketika beberapa langkah lagi aku sampai, Mbeng menyambutku. Sungguh tak kuasa aku menahan tangis yang dari tadi aku tahan sambil melangkah.
I can reach you Mahameru!!!
Aku bilang pada Mbeng, “Mas… aku bisa.” Sambil menangis di pelukannya. Mirip adik yang ngadu ke kang mas-nya. Seketika itu langsung bersujud syukur mencium mesra pasir hitamnya. Dan Miss Ary mendekatiku sambil memelukku dan ikutan menangis. Ini sudah ke-4 kalinya ia menapaki Mahameru.
Rasa haru menyelimuti perasaan kami bertiga, apalagi ketika berada di depan tugu Soe Hok Gie. Mis Ary memberiku hadiah. Sekotak susu Ultra. Aku tersenyum. Sayang sekali Sigit tak bisa bergabung karena dia memutuskan tidak ikut. Lalu kami berfoto-foto bersama dengan girangnya.

Tiba-tiba Sigit muncul!!
Ya dia akhirnya ke puncak juga.!!! Tapi sudah tidak kebagian susu Ultra karena sudah aku habiskan. Maap ya Git :p
Jonggrang Saloka menyembur dengan angkuh lewat dentumannya. Kawah yang menjadi swarga lokanya para arwah-arwah suku tengger yang mati apabila keluarganya sudah menjalankan ritual kasada ini, mungkin akan selalu indah untuk dikenang. Beberapa kali kami menunggunya muncul seperti sedang piknik di pinggir pantai.
Puas, kamipun meluncur turun sambil balapan di atas lautan pasirnya.

Kembali ke Kalimati, mulai bermunculan kaki-kaki lain yang sudah bersiap-siap meramaikan pasir semeru nan bengis dan memabukkan.

Beberapa hari sesudahnya, sebuah sms dari seorang teman menanyakan keberadaanku di semeru dengan suhu yang sudah mendekai 2 derajat Celcius.
Hem.. Pantas, tangan kami kaku dan kulit menjadi kobong. Untung ga jadi Anoman Obong.


****************
Mengenang Pertama kali menapaki Mahameru 2-5 Agustus 2007
Mahameru yang makin sulit untuk didaki akhir-akhir ini.
Semoga masih sempat anak cucu kita mencumbui pasirnya lagi..