Thursday, December 18, 2008

When It's coming.....

Tadi pagi saya sempilkan ucapan kangen saya padanya.  Rasa yang masih sama seperti pertama kali saya mulai merinduinya.
Dia diam. Tidak membalas.
Beberapa minggu lalu ketika saya sempilkan kata itu padanya, tanpa menunggu dia akan langsung menjawab, "aku juga kangen kamu." atau "Sabar sayang.." dan sesudahnya saya akan tenang dan nyaman untuk berjalan meskipun saya tidak berani menebak itu benar atau tidak.
Ah, mungkin dia terlalu sibuk atau mungkin terlalu bosan dengan ekspresi ini.
Saya diam. Hambar. Saya merasakan kehambaran sepanjang jalan itu.

Jujur saya kehilangannya. Kekendoran rasa yang ada padanya tidak bisa saya abaikan dan mau tidak mau membuat saya melek kembali mungkin tak lama lagi saya akan merasakan sakit yang sama seperti yang sudah-sudah. Ditinggalkan....

Sekarang di sini saya, berdiri tanpa bisa melakukan apa-apa lagi. Saya jedah untuk tidak merasa tersakiti atas pilihan kisah yang sempat saya ikuti. Hanya ikhlas yang ada untuk saya jalani seperti yang pernah saya untaikan pada awal hubungan ini.
Saya menunggu untuk disakiti kembali..
Dan saya yakin Tuhan Yang Maha Keren dan super mantab di Atas sana tidak akan membiarkan saya menangis sendiri. Saya yakin Tuhan akan memeluk saya seperti halnya Tuhan selalu memeluk mimpi-mimpi dan keinginan saya. Termasuk satu keinginan saya untuk bersama dengannya satu hari nanti. Namun, jika Tuhan mengendorkan pelukanNya pada mimpi saya tersebut, saya juga cukup menerima maksudNya bahwa saya akan dilimpahi lagi dengan cinta dan cerita lain yang lebih membahagiakan.
Mengutip ucapan dari seorang mantan paling "bedebah" itu, saya adalah perempuan kuat, maka sayapun meyakinkan diri saya bahwa saya akan tetap kuat walaupun abu hujatan dan hinaan menghujani saya. Bahkan jika saya ditakdirkan untuk sendiri lagi.....


*************

Monday, December 15, 2008

T E B A K




TEBAKKK
SIAPA NIH??? KALO BERHASIL NTAR DIKISS MA MODELNYA

Buahahahahahahaha...... Wekekekekekk

Thursday, October 30, 2008

Ke Gede Bareng Pundee




Kantor baruku sempat membuat aku geleng-geleng ga percaya. Baru 2 hari gabung, hari ketiga dah diajak Outing. Ga tanggung-tanggung ke puncak Gede. Untung ada kebijakan logis yang membiarkan mereka yang sudah punya anak ikutan outbound aja di Mandalawangi.
Wuihhh sumpah sempat bikin aku ternganga lebar melihat mereka yang tak pernah naik gunung pada berberat-berat ria naik ke Gede lewat Putri.
Adanya kebingungan gimana caranya buang hajat, cuci tangan ataupun ngelipat Sleeping bag di gunung.
Seru seru....
Hasilnya? Salah satu boss di sini sekarang lagi sibuk ngumpulin alat-alat lagi seperti masa mudanya dulu yang katanya sering naik gunung-gunung di Jawa Tengah. Dan yang lebih membuatku mringis adalah kalo lagi bete bawaannya mereka ke toko outdoor dekat kantor or hunting sepatu hiking di Taman Puring. Hahahahaha... Keren ngga sih?
Teman-teman lainnya? Sama aja. Pada sibuk keracunan pengen naik gunung. Dikit-dikit ngomongnya puncak gunung mana gitu. Dan juga seneng banget diajakin nonton poto-poto hasil pendakian mereka.
Dalam satu kesempatan, si Bos nyuruhin kita berhenti kerja buat ngeliat film editan selama naik gunung kemarin.
Oh ya... sehari sesudahnya, kami saling menjerit saat si Boss iseng nyubitin betis-betis sexi kami. Seandanya bisa membalasnya.. hehehehe...

Nih potonya yang sekelumit itu. Ada boim, kisut n orang-orang montana juga loh...

Gede bersama Super Lebay




Nih polah kami di atas sana

Wednesday, October 29, 2008

Super Lebay - Catatan Pendakian Seri Gunung Gede

Ke Gede kali ini terasa berbeda dari dua kali trip terakhir yang aku lakuin sebelumnya

1. Karena tiba-tiba saja didaftarin sama om Dhanis dan langsung disuruh packing beberapa hari sebelumnya tanpa ba bi bu.

2. Karena jalannya tanpa istirahat yang cukup.

3. Karena melewati setiap jengkal lintasan Tanjakan Setan which is belum pernah kulakukan sama sekali.

4. Karena most of the trip, I was the only female between the pirots of the mountain. Bisa kebayangkan saat jiwa mudaku yang meletup-letup berirama dengan mereka yang beranjak senja tapi tetep aja pengen jadi ABG.

5. Karena ada teman-teman jalan baru, Kang Bagja -the mountain biker yang mencoba jadi mountain walker, Kang Asep yang membawa serta daun mudanya Indra, Dhedhe sang Aduhay, Faid yang ini ga tau nih dari mana pokoknya cool aja kalo jalan. Plus All About Marley yang taunya cuma di MP aja.

6. Yang lebih keren lagi adalah Kong Nanda yang baru kali ini kulihat berani ngegembol depan belakang keril dan Day pack. Keknya pemandangan itu sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu kali ya sebelum dia jadi Master Kungfu Panda.

7. Plus... Om Dhanis yang boleh bangga karena trip kali ini, dia ngga pake porter. Tuh keril dia bawa sendiri. Tenda dia bawa dewe, semua-mua deh. Mungkin mereka berdua dah prepare karena takut malu sama women series ya.. hemmmm...

Udah ah, mending baca sendiri catper Jalan super lambreta ke Gede kali ini.

 

Berhuru hara melawan kantuk ke Kandang Badak 04.13-13.30

Waktu itu Subuh saat semua anggota Super Lebay meninggalkan Pos Pendakian Montana. Butuh waktu kira-kira satu jam untuk sampai di Jembatan kayu menjelang Panyancangan di mana kami disibukan dengan sesi pemotretan berlatar Pangrango di kala Subuh. Indah sekali fajar itu. Headlamp kami matikan menikmati suasana semi remang dan terang hutan, beraroma daun dan tanah basah yang menemani penciuman kami. Helaian napas panjang tak membuat kami berhenti mengagumi pemandangan indah kala fajar itu tiba. Gunung ini sudah menantang kami untuk memasukinya lebih dalam dan mendapati puncaknya sebagai klimaks akan langkah kami yang dimulai saat Subuh bergema tadi.

Hanya beberapa menit sebelum kami benar-benar puas mengeksplorasi lereng indah di atas jembatan itu, langkah-langkah wanita super dari milis Pendaki itu mulai terdengar. Ntah siapa dulu yang kami temui saat itu, aku lupa.

Meskipun identitasnya dikenal sebagai ”women” alias cewe jangan dikira semangatnya terkalahkan oleh om-om  senang yang kutemani pagi itu. Kami masih kalah cepat dengan mereka. Ya iyalah secara mereka tau diri banget ga perlu narsis, senarsis om-om dan perjaka ting-ting kelompok Lebay ini. Marley dengan gaya mulet atau Kong Nanda yang maco abis dengan gembolan depan belakangnya yang saling bersaing dengan tas pinggang abadinya masih asik berhaha hihi di depan potopotograper (pake”p”) amatir, Om Dhanis dan Kang Bagja. Sedang aku, Mbak heny, Kang Asep dan Indra (wakakakakak.. selalu kagok inget nama indang bow... yuwkks ) asyik masuk jadi model dadakan bersaing dengan Marley sebagai penata gaya.

Sejenak kami terpana melihat salah satu Superwoman itu dengan bawaan keril yang lebih tinggi dari tubuhnya. Sumpah ga bakal mau bersaing deh kalo naiknya secara bar-bar gitu, Bawa keril segede itu. Kira-kira Beauty case di dalamnya ada berapa macam ya? Alis, bedak, maskara dan blush on... Atau jangan-jangan isinya Cuma beberapa set bikini, tang top, gaun pesta buat dipakai di atas mandalawangi atau peralatan masak super lebay??? itu aja yang ada di otakku selama memperhatikan gerakan mereka yang kadang terengah-engah dengan perkasanya.

Cool... beberapa saat kemudian kudengar omelan bawel sang sweeper Nita yang berusaha menyemangati para superwomen yang jalannya tidak secepat jalannya. Hahahaha.. sepertinya dia kudu belajar ilmu sweeper super sabar dari sang master Kungfu Panda.

Aku Cuma bisa leng geleng geleng saja melihat langkah dan bawelnya yang beriringan.

Berkali-kali kami harus balapan dengan mereka menuju kandang Badak. Pukul setengah 2 siang akhirnya kami berhasil menuntaskan lelah sejenak dan menikmati makan siang di depan tenda yang sudah disiapkan kedua teman yang mendahului kami, Faid dan Dede. Cara masak dan makan kami? Silahkan dibayangkan, sepertinya tidak bersahaja, penuh omelan dan perintah pada asisten-asisten yang perlu training tambahan itu.

Marley: Ini gimana nyalain kompornya. Ih ich ga berani nih...” Katanya sok bences.

Sedangkan si Kong Nanda? Dia sibuk sendiri mendirikan Rino di kandangnya. Mempertegas bahwa ia lebih memilih untuk tinggal dan menikmati riuh rendah infotainmen yang kali ini shoot locationnya berada di ketinggian 2700 MDPL itu. Mungkin ia akan jadi satpam para superwomen yang besok paginya berencana menteg-tog-ki Pangrango.

 
Kandang Badak-Puncak-SK perjalanan yang melelahkan 15.00-20.30

Sesudah berberes sangka di kandang Badak dan meninggalkan si gembala tunggal bersama Mbak Heny dengan perempuan-perempuan perkasa itu, kami berdelapan (7laki-laki tulen dan 1 perempuan semi tulen) menapaki tanjakan terjal menuju Gede dengan destinasi akhir, Surya Kencana.

Kali ini langkahku tak sekuat tadi, bahkan sudah tidak lincah seperti burung prenjak yang tadi pagi sempat kukira karena sudah terbiasa berjalan jauh beberapa minggu ini karena tempat kos yang lumayan jauh dari jalan raya. Kali ini aku melangkah dengan rasa lelah yang tertahan. Semalam tidak tidur sama sekali ketika menunggu kloter kedua sampai di warung Mang Idi.

Di simpangan itu, sesudah narsis dan mengisi frame-frame cantik dengan gambar-gambar kami di dalam kamera masing-masing, Om Dhanis menawarkan jalan alternatif. Tapi Marley Darling memilih jalan yang lurus saja. Mungkin dia takut dosa kalau berjalan di jalan yang salah. Halahhh!

”Nanti kita akan climbing dikit, waktu melewati tanjakan rantai.”

Nyesek. Climbing? Seterjal apa sih? And yup. Benar-benar terjal. Miring, dan ga ada bonusnya.

Tanjakan Setan or tanjakan rantai or tanjakan seanjing-anjing or apalah namanya. Satu tempat yang paling bisa membuatku menyerah, marah dan hampir desperado diantara beberapa gunung yang sempat aku singgahi.

Kisut pernah mengajaku menapaki puncak ini tanpa ada rasa lelah karena ia memilih lipiran sebelah kiri tanjakan berantai-rantai itu plus malam sebelumnya kami sempat istirahat di air panas selama beberapa jam. Sepertinya jalanan pada saat itu tidak selama dan sepanjang ini.

Aku terdiam duduk menunggu beberapa kawan di belakangku sambil terus gemetaran sesudah hampir beberapa menit lalu aku harus melawan rasa takutku untuk mengayuhkan diri dengan bertaruh sepenuh kepercayaan pada Faid bahwa ia bisa menopangku untuk menggapai tanjakan yang harusnya bisa kuhindari kalau saja aku tak salah arah. 180 derajat. Mungkin lebih. Aku menggelengkan kepala lagi pada Om Dhanis saat dia berusaha meyakinkanku untuk menyerahkan tanganku pada lengannya dan tubuhku untuk ditopangkan pada tubuh Faid. Kulihat Marley berhasil berbalik arah menuju alur yang lebih mudah. Dia berhasil melewati tempat itu. Dan cangkemnya kembali narsis, senarsis gayanya yang meliuk-liuk itu. Aku? Sibuk dengan rasa takutku di sisi lain dari tebing itu.

”Percaya sama saya mbak Susan. Ayo injak tanganku.” Faid menyatukan tangannya lewat selah-selah jarinya. Matanya berusaha meyakinkanku. Aku menggeleng.
”San, kamu pegang lenganku kalo ga berani!!Kakinya nginjek tangannya Faid.” Om Dhanis menyerahkan lengannya.
Suer. Jantung serasa berhenti, jari-jari tangan serasa tak bertulang. Aku beranikan diri memanjati tanah itu.
Aaachhhhh.... Om Dhanis berhasil menarikku begitupun Faid ternyata mampu menahanku hingga aku sukses menyandarkan kaki ke atas tanah yang tidak berperikedataran itu.

Sumpah Jiperr banget sama tanjakan dan ketinggian terjal macam itu.
Hari makin gelap, sekali lagi kutengadahkan kepala ke atas melihat langit yang makin kelabu hawa dingin mulai merasuki kami. Daun-daun di atas pepohonan sudah berubah warna menjadi siluet berbanding dengan warna kabut. Kang Asep, Kang Bagja, Om Dhanis, Dhedhe serta Marley dan Indra masih dengan semangat dan kadang engahan dan erangannya saling beriringan menapaki batu-batu terjal yang makin meninggi. Begah sekali. Ada batu setinggi pundak yang bisa kusandari sejenak saat kantuk dan lapar tiba. Namun hanya sekejap saja istirahat itu berlalu. Dingin sekali.

Meskipun aku berjalan tak terasa sedikitpun hangat menyergapku. Aku makin kedinginan di tengah erangan lelah dan tarikan napas panjang yang bergantian dengan emosi dan marah karena tidak segera sampai. Sempat terdengar suara Om Dhanis yang meneriaki Dhedhe supaya mengarahkan aku menuju ke kiri jalan. Sesudahnya aku lupa selain suara napas panjangku dan bayangan di depan yang kukira adalah Faid yang menungguku di depan. Faid menungguku sambil berhenti melihatku. Iya dia berhasil kulewati. Dengan terengah-engah aku menoleh pada faid yang berdiri tepat beberapa langkah di samping kiriku. Tunggu. Itu bukan Faid. Aku yakin itu bukan dia, Faid tak memiliki mata itu. Tak kuacuhkan lagi siapa dia. Aku berjalan lagi dalam sesak napas dan takut yang tak pernah kurasa selama beberapa kali pendakian. Pulang. Aku Cuma ingin pulang......

”Sinetron” malam itu berakhir dengan sukses. Aku ngga ingat apapun selain Malkis Rasa Abon Sapi yang ditawarkan om Dhanis dan Teh hangat yang kurang manis yang dibuatin Kang Asep. Jaket berlapis-lapis sudah melekat di tubuhku. Dan ketuju laki-laki cakep (kecuali Marley hehehehe) sudah ada di depanku, berusaha mengalihkan perhatianku supaya aku tetap fokus.

”Jangan kemping di sini ya. Ngga boleh. Kita kudu pulang.” Aku bilang ke mereka.
”Iya!!!!” Serempak mirip anak TK!!!!
”Jangan ninggal kalo jalan!”
”Iya!!!!”
”Dede di depan jalannya, trs Kang Bagja di depannya Susan.” Kata Om Dhanis kasih perintah. ”Jangan terlalu jauh kalo jalan.”
Dalam remang kami menapaki sisa-sisa tanjakan itu. Sejenak aku menggamit lengan Kang Bagja di depanku di mana kurasakan ”dia” masih ada di sana menunggu kami untuk berjalan meninggalkan tempat itu.

Jarum jam menunjukkan pukul 7 malam saat kami melintasi puncak bayangan. Kira-kira tidak sampai 30 menit saat kami bertemu dengan tupai kecil di puncak Gede yang mengagetkan kami saat duduk berjejer meikmati gemintang yang menempel dengan jelas di dinding langit berwarna hitam. Indah, damai, benar-benar pekat dengan bulan yang melengkung menyabit di sana.

Sesudah jalan turun pelan dan terseok-seok sampai Kang Bagja mengeluh karena kakinya sakit, akhirnya jam setengah 9 kita sampai di padang itu. Surya Kencana.

Kurasakan angin itu lagi, Angin dingin yang menerpakan kesejukan....
Tepar. Om-om itu tepar semua. Kecuali Indra, Dhedhe dan Faid yang menungguku memasak sayur asem dan ayam bumbu kuning untuk mengisi kekosongan perut. Tak ingin terjadi apapun pada saat kami asik tidur nantinya.


Selamat Pagi Surya Kencana....

seribu rambutmu yang hitam terurai
seribu cemara seolah mendera
seribu duka nestapa di wajah nan ayu
seribu luka yang nyeri di dalam dadaku
di sana kutemukan bukit yang terbuka
seribu cemara halus mendesah
sebatang sungai membelah huma yang cerah
berdua kita bersama tinggal di dalamnya
nampaknya tiada lagi yang diresahkan
dan juga tak digelisahkan
kecuali dihayati
secara syahdu bersama
Ooo.. selamanya bersama selamanya

(Huma Di atas Bukit -Godbless)


Marley masih ngomel-ngomel pengen melihat puncak di pagi hari.
”Gara-gara semalam lw akting jadi Nyi Blorong, gagal deh liat awan di puncak!” Omelnya sambil berusaha menyalakan kompor gas.Dia tidak berhasil.
”Lw gimana sih sudah berapa kali gw ajarin nyalain kompor??? Malu dong sama keril n sepatu baru!”
”Halah lw tuh... katanya pendaki. Mana? Ngerepotin aja. Keril dibawain ma faid. Udah gitu pake nanya siapa gw lagi. Untung itu bukan lw. Coba kalo itu lw. Udah gw tampol aja deh!!!!”
”Ngga mau ngajak Marley lagi kalo naik gunung. Jangan ajak dia lagi ya Om... ”
”Tenang aja Ley, gw bakal ngajakin lw tiap kali naik gunung! Susan juga pasti diajakin terus. Gw kontrak seumur hidup deh!”

Tawa, celaan dan hinaan menghiasi pagi di depan tenda kami sambil menunggu Kacang hijau request Kang Asep yang ga matang-matang. Sebelumnya kami bertemu dengan tim HC yang sudah 2 malam berada di Surken.

Kira-kira 30 orang gitu deh. Banyaaaakkkk banget.
Seharusnya kami pulang mulai pukul 10 pagi. Tapi sayangnya karena banyak sekali sesi pemotretan yang harus dilaksanakan pagi itu, dengan terpaksa kami memulai down hill pukul 11.30

Seperti biasa, Narsis ala Marley menulari kami semua tak terkecuali Kang Asep n Indra, Faid sudah meluncur berlari turun dari tadi dan kami hanya bisa menggapai kembali GPO pukul 4 sore sebelum akhirnya mampu mencapai tempat Mang Idi lagi sesudah Maghrib.

What a trip.........

*** Terima kasih kepad Allah SWT yang sudah mengijinkanku naik lagi ke Gede
*** Kepada angin Surya kencana sampaikan salam rinduku pada Ibu dan Ayah di rumah serta Hafidz-ku. Tante kangen kamu Ndul! Kemanapun angin menghembuskan langkahku, kupasti akan kembali, tunggu anakmu ini ya....
*** Kepada rumput empuk di sekitar eidelweis katakan pada gerimisku bahwa aku rindu mencumbui rintiknya..
*** Kepada Kong Nanda dan Tante Heny teman perjalanan yang memilih menikmati badak-badak di kandangnya. Love u kong n Tante..
*** Untuk teman-teman super woman di pendakian women series yang sempat beberapa kali jalan, kalian perempuan-perempuan keren. Sumpeh ga berani bersanding sama kalian. Secara aku cuma bisa bawa daypack ajah. hehehe

Kepada 7 pendekar tangguhku yang menemaniku selama perjalanan kemarin:

*** Untuk Kang Asep makasih buat sponsornya dan tumpangannya. Indra ... this is the beginning of your fight.
*** Dhedhe dan Faid.... yang tak henti2nya menyemangatiku saat aku down
*** Kang Bagja... jangan kapok jalan ma susan ya... ntar kumasakin dengan cara yang lebih beradap hehehehe....
*** Marley darling sayang... kita akan naik bareng lagi  kan? Sambil berantem, cela-celaan dan kejar-kejaran dan ahhhhh.... kangen Marleyyyyyyyyy...Yuwks...!
*** Om Dhanis, om gw banget deh. No word to say.

==================================


Tuesday, October 28, 2008

Tolongin MP kena Blok

Om Jarotsumo MPnya lagi keblog.
Kasus singkatnya gini: berkali-kali om Jarot sign in MPnya. Tapi gagal terus. Akhirnya dengan berbagai cara Om Jarot buka MP di kompi lainnya.
Tapi apa yang terjadi? Komputer itu juga gagal untuk membuka MPnya bahkan MP si pemilik kompi itu sendiri tidak bisa terakses.
Waktu mau sign in si MP bilang :

Proxy Error

The proxy server received an invalid response from an upstream server.

The proxy server could not handle the request GET /.

Reason: Could not connect to remote machine: No route to host


Kira-kira ada yang tau kenapa???

Tuesday, October 21, 2008

Five to Feel

Lima hal yang benar-benar terasa ketika masih beberapa hari berada jauh dari rumah

  1. Homeless

Tiap kali ditanya, “Lw tinggal di mana San?” Pasti jawabnya satu. ”Di mana-mana” Secara numpang sana sini masih. Syukur dah nemu tempat shelter sementara, mulai Rabu ini dah menempati kamar baru.

     2. Toilet, my favorite room

Selain sebagai tempat pee and poo. Yang jelas toilet di kantor baru bisa dijadikan tempat menangis sepuasnya tanpa ada yang tau. Maklum belum punya kamar buat nangis kalo kangen rumah, capek karena banyakan mobile, atau sebel ma orang-orang.

  1. Missing Home

Sumpahhhh kangen banget sama suasana rumah kecil di pojokan Platuk itu.

     4. Ojek

Kirana di rumahnya. Jadinya cuma ngandalin tukang ojek kalo kecapean jalan. Kapan hari dah dapat kenalan tukang ojek baru, jadi bisa call anytime I need him. Mantabbbb… Oh ya baru ngeh kalo namanya Bang Pi’i. Hehehehe....

  1. Stronger

Padahal dah lelah jadi perempuan kuat. Pengen sekali-sekali menangis or ngegelandot manja ke seseorang supaya bisa nangis di depannya lalu nyandar di pundaknya sambil diusapin kepalanya sampe ketiduran. Tapi kok rasanya cemen banget. Ujung2nya Cuma malas ngangkat telpon aja pas akunya lagi BeTe. Semoga mereka pada ngertiin. Plus jadi makin cuek ma orang-orang which is bukan aku banget deh. Bow… Jakarta memang kejam. Jangan harap bisa berteman dengan ramah seperti di kampung. But this is a choice, no matter what.
Syukur bisa cuek juga.


***Dalam keadaan seperti ini, rindu pada gerimis itu makin menjadi-jadi deh... yukk..

 

 

Do'a seorang Jablay

Karena katakter yang ada di dalam tulisan ini cukup menguatkan keGR-an saya bahwa itu adalah saya, maka sesudah meminta ijin, maka saya diperbolehkan mengkopi dan meletakkan tulisannya di dalam MP saya  ini.


September 27, 2008

Tadi malam saat chatting via YM dengan seorang teman, sebuah pertanyaan kulontarkan kepadanya, bukan sebuah pertanyaan yang usil, iseng atau bahkan sebuah pertanyaan yang harus dijawab dengan memeras otak. Bukan…, pertanyaan ini sederhana saja, malah terkesan sedikit religius, “ Apa yang menjadi doamu selama Ramadhan ini ?

Alur percakapan yang nampak di screenku, tiba-tiba sedikit tersendat, bisa jadi karena dia sedang berusaha mengingat doa apa yang selama ini ia ucapkan, atau memang network Telkomsel Flash yang kerap naik turun di kawasan Ciganjur ini. Tidak lama muncul jawabannya di screenku. Ada beberapa doa sepertinya, karena ia membubuhkan angka satu pada jawaban pertamanya. Kubiarkan menunggu sambil memberikan response pendek di sela doa-doa yang ia ketikan. Satu doanya yang menarik adalah harapannya pada Ramadhan tahun depan, sudah bisa membangunkan seseorang untuk diajak sahur bersama dan diajak sungkem ke orang tuanya pada hari raya.

Sebuah doa yang sederhana menurutku dan cenderung conservative, namun tajam. Tajamnya, karena keinginan pada doa tersebut menggambarkan sebuah pencapaian utama dalam hidup seseorang. Menikah, mempunyai keturunan dan hidup bahagia dengan keluarga.

Beda dengan kelompok pendoa moderate dan liberal yang lebih cenderung mengutamakan karir dan hidup mapan terlebih dahulu sebelum akhirnya ingin mewujudkan pencapaian yang satu itu.

Menilik dari penampilan dan pergaulannya, pendoa ini sebenarnya sosok yang cukup menarik, dan ngga pernah kekurangan teman lawan jenis. Terhadap semua teman-temannya, dia bukan merupakan orang yang sak pena’e dewe, tapi dia orang yang peduli, malah cenderung romantis, maksudnya ngga peduli walau teman-temannya suka pada rokok dan makan gratis.

Tumbuh dan besar di salah satu kota besar di Indonesia membuat gaulnya juga jauh melewati batas territory negara ini, bahkan batas planet kita. Luasnya seperti menggambarkan gairah mudanya yang tidak ingin terkungkung pada satu hal saja. Ingin selalu terlibat pada semua perhelatan orang-orang muda. Otaknya juga terbilang encer, selalu update dengan isu-isu terbaru. Selain lancar berbahasa Inggris dan Indonesia, dia juga mampu berkomunikasi dengan baik bahasa Jawa dan bahasa bencong.

Duduk sejam bersama dia, bisa dipastikan puluhan sms dari banyak penjuru akan mendarat manis di inbox hp-nya. Bergaul dengannya berbulan-bulan, beberapa cerita tentang pria-pria menarik juga meluncur dengan lugas dari bibirnya.
Singkatnya dia cukup mewakili untuk disebut sebagai salah satu perempuan yang menarik.

Kembali ke doanya, dan melihat dari semua label yang melekat padanya, aku hanya berpikir apa lagi yang dicarinya ? sepertinya ada sesuatu yang berjalan tidak sesuai dengan mimpinya. Karena walaupun memiliki banyak teman pria, beberapa kali perempuan satu ini kerap memberikan label jablay pada dirinya sendiri. Padahal menurutku dia bukan penganut
monkey’s theory ataupun orang yang suka makan bubur panas-panas. Menilik dari cerita asmaranya, mengutip istilahnya Samuel Mulia, dia lebih berperan sebagai pasangan yang tercocok hidungnya. Yang memberikan loyalitas penuh pada pasangannya.

Teman… tahu ngga sih, banyak orang yang jarang sahur sekarang ini. Bisa jadi mereka tidak sahur karena memang benar-benar males bangun, atau mungkin mereka berpikir, kalau sekedar bangun aja sih bisa, cuma ngga sanggup nyiapin buat dirinya sendiri, maklum pulangnya udah malem banget. Atau karena memang ngga ada yang membangunkan dan menyiapkan sahurnya. Nah fakta ini bisa sekaligus good news dan bad news kan :D

Apapun doanya, Tuhan pasti akan mendengarkan. Apapun mimpi itu, Tuhan pasti akan memeluk mimpi-mimpi itu. Apalagi ini sudah menjelang hari-hari akhir ramadhan, katanya jangan melewatkan malam-malam ganjil setelah hari ke 20 ramadhan.

Mudah-mudahan Tuhan mengabulkan doamu ya .. Amin. Jangan terburu-buru mengambil keputusan ya, masih banyak hari di depan, Ramadhan berikutnya juga masih lama.

Selamat lebaran.


**Makasih buat lonelytrekker (bukan single***** sensorrrr..... wakakakakakakak) karena sudah mendoakan lewat tulisannya, kang mas "ketemu gede di gunung" yang selalu bisa membuatku mati gaya, yang ga henti-hentinya mencela, memarahi sekaligus menasehati adik kecilnya ini dengan tutur singkat yang selalu membuat saya tersindir supaya jadi lebih baik. Tapi tetep aja ngga ngefek. Ngefek kok cuy, tapi dikit :D wekekekek...

Semoga lebaran taon depan bisa kukenalkan padamu calon suamiku itu. Amin.

Wednesday, October 8, 2008

Surabaya hujan malam ini



Senja ini ditutup dengan tawa bersama sambil merasakan bau tanah basah yang baru saja mendapat guyuran gerimis yang tanpa henti.
Malam ini aku juga diberi kenikmatan melalui temaram lilin karena padamnya lampu di hampir seluruh penjuru kota sembari memasukkan beberapa potong baju ke dalam Consina hitam itu.

**Ah, kenapa bukan dari kemarin-kemarin menghujani hati dan jiwa nan gersang ini???

Sekedar ingin berucap terima kasih Tuhanku yang Maha keren atas semua siraman yang sejuk yang Engkau sentilkan sebagai jawaban atas doa-doaku kemarin sembari membisikkan padamu bahwa sudah lama aku merindui hujan yang tiba-tiba membuatku berlari dan berucap, "ternyata cuma Tuhan super ngerti yang aku mau."
Semoga ini yang terbaik

Thursday, October 2, 2008

SMS Lebaran


Tren SMS berisi ucapan selamat berlebaran memang sudah menjadi gaya hidup masyarakat majemuk yang sepertinya sudah susah sekali menghadirkan diri di depan orang yang memiliki pertautan secara langsung. Hal ini membuktikan bahwa apalah arti jarak dan waktu kalau hanya dengan 100an perak saja kita sudah bisa menunjukkan bahwa kita masih ingat dengan seseorang nan jauh di sana plus kesempatan mengucapkan selamat hari raya sekaligus memohon maaf atas segala khilaf di masa lalu. Bahkan sebelum hari raya tet, berpuluh-puluh SMS sudah mampir di inbox saya. Inti isinya tetap sama, mengucapkan selamat idul fitri. Senang juga rasanya masih ada yang ingat sama kita di hari yang fitri ini. Tapi ada kecenderungan baru di beberapa SMS itu. Di akhir kalimat ucapan nan panjang itu terselip pesan singkat nama si pengirim plus embel-embel “dan keluarga”

Awalnya saya merasa biasa saja membacanya dan berpikir mungkin ingin menyingkat dan memencet send to all supaya lebih cepat, Cuma kok makin lama makin banyak yang kirim dengan akhiran senada meskipun mereka (I mean yang kirim) belum berkeluarga. Well, sesungguhnya nama mereka sudah terlihat jelas di phone book saya, kenapa harus diakhiri dengan pengulangan namanya plus menyertakan cluster “keluarganya”.  Sempat di beberapa SMS saya terpancing untuk menuliskan nama saya lagi sebagai jawaban atas SMS-SMS yang masuk itu (tapi ngga pake nama “keluarga” secara ngga ada hubungannya gitu lho). Cuma karena mikir betapa tidak efektifnya maka saya menghapus SMS model itu. Lagi pula saya hanya akan berkirim SMS ucapan Selamat Lebaran pada mereka-mereka yang saya kenal atau sahabat lama yang sudah lama tidak berhubungan. Kecuali kita menggunakan nomer baru yang belum dipublikasi ke penjuru masyarakat luas sepertinya cukup logis kalau kita menyertakan nama kita di akhir ucapan itu.  

Pun SMS dengan menyertakan keluarga, nama istri, nama anak-anaknya di akhir kalimat, membuat saya ketawa nyengir saja. Boleh dianggap ini bentuk sarcasm ataupun selfish saya yang belum berkeluarga. Namun mau tidakmau sarcasm ini diamini pula oleh beberapa teman jomblo yang sedang merayakan lebaran sendiri saja bersama keluarga (baca ayah, ibu kakak, saudara-saudara.. and not their supposes).

“Emang keluarganya kenal kita? Bukannya SMS itu buat kita n kita juga SMS ke dia bukan ke keluarganya??”

“Ih, bininya juga kalau ketemu gw buang muka, ngapain nyantumin nama bininya??”

“Kek kurang ide aja, mau pamer apa? Sekalian aja besok-besok keluarganya diajak komprengan”

Dan lagi-lagi saya cuma cengar cengir aja menerima reaksi – reaksi kecut tak berkesudahan itu. Pembahasan yang makin membuat saya yakin bahwa hal itu benar-benar tidak efektif disampaikan ke orang lain yang tidak ada pertautan sama sekali. Yang lebih lucu seorang teman nan jauh di sana protes pada saya (iya pada saya dan bukan pada orang yang bersangkutan)

“Dia ngasih ucapn lebaran, tapi pake nulis namanya plus keluarganya ya termasuk anak-anak plus istrinya lah. Gue jadi eneg aja nerimanya. Penting apa gue ngeliat dia pamerin bahagianya sementara gue mikirin kapan giliran gue bisa sama-sama dia di lebaran ini?”

Dan jawaban (lagi-lagi) sarcasm saya singkat saja, “Punya udel ngga laki elo?!”

Kasian ngga sih??? Hahahahaha….

Karena itu menurut opini saya, mengirim SMS berisi ucapan selamat lebaran dengan nada apapun cool-coolsaja. Cuma akan lebih baik jika kita bisa membuat isinya berkualitas, efektif dan tepat sasaran. Lucu aja kalau kita mengirim SMS ucapan Selamat Lebaran dengan dalil-dalil mesra ataupun bahasa yang agak liar sementara si recipients adalah atasan, mantan pacar ataupun teman-teman biasa kita (bukan orang yang kenal kita banget). Plus masih menurut saya akan jadi hal yang memuakkan kalau para simpanan, selir ataupun kekasih gelap itu menerima SMS ataupun pesan-pesan singkat formal nan garing dengan embel-embel “pamer kebahagiaan keluarganya” di akhir kalimat. Hahahaha…

Masih sempat dibuat tawa dan akhirnya jadi rujukan balas dendam saya pada “kepameran” itu, seorang kawan jomblo lainnya menyelipkan namanya berserta tulisan istri dan anaknya di akhir kalimat. (xixixixi) Hemm sepertinya boleh ditiru tuh supaya kita bisa berbesar hati meskipun berimajinasi sedikit. Dan, bukannya imajinasi juga sebagian dari doa yang terselip?

Apapun SMS yang anda kirimkan, ijinkan saya mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H Mohon Maaf lahir dan batin ya…

*Susan, Suami dan anak*

*************

Sorry kalimat penutup di atas saya perjelas. Ini adalah doa dan imajinasi saya juga supaya bisa nyelipin kata-kata itu pada SMS-SMS saya di lebaran mendatang.

Wednesday, September 24, 2008

Jumpa Pertama (Chapter 2)


“Arung, masih ingat kan denganku? Jingga”
Jingga? Awalnya aku hanya tertegun melihat kedua mata sayu yang berusaha meyakinkanku bahwa aku pernah mengenalnya. Jingga? Seingatku selama beberapa kali menghabiskan malam bersama beberapa wanita yang aku sudah lupa berapa jumlahnya, tak satupun ada yang bernama Jingga.
“Ah… iya. Kau Jingga Prameswari yang asal Jogja itu bukan?” Dia menggeleng. Aku terdiam berusaha mengingat-ingat. Bukan apa-apa. Kasus penipuan sudah makin merajalela di ibu kota. Semua orang bisa sok kenal untuk mendapatkan secuil kekayaan. Termasuk menggunakan alat berbentuk manusia berkelamin perempuan untuk menarik simpati lawan jenisnya. Dan perempuan di hadapanku ini? Dimana aku mengenalnya? Mukanya merah, wajahnya tirus, Mata bulatnya terlihat lelah. Dan rambut sebahunya meneteskan hujan yang sudah menggenanginya semalam penuh itu. Aku masih belum ingin mengiyakan bahwa aku mengenalnya hingga akhirnya ia menyebut nama satu tempat yang sudah lama tak kusinggahi.

“Ranu Kumbolo. September 2003”

Ah. Itu dia, aku mengingatnya sebagai pelangi kala itu. Warnanya terlalu sedikit jika hanya menjadi Jingga, dia sangat berwarna warni, ya seperti selendang bidadari yang muncul sesudah hujan membasahi danau itu.
“Hai.. Jingga.. Apa kabar?” Aku tersenyum dan langsung mengambil alih beban 60 liter di pundaknya. Suara seraknya aku ingat, tapi wajahnya yang lebih tirus dari yang dulu, tentu saja membuatku tidak tau sama sekali bahwa ia adalah pelangi yang sempat membuatku terhenyak semalam suntuk. Dia jauh berbeda meskipun semangatnya itu masih terlihat di binar mata bulatnya nan ayu. Bagaimana mungkin aku melupakan dia. Si penunggu Kumbolo yang kukira hanya bagian dari halusinasiku sesudah terengah-engah mengitari jalan landai nan panjang selama 3 setengah jam dari Ranu Pane sendiri. Niatku ingin berjalan secepat mungkin menyusul gerombolan si berat yang sudah menungguku untuk summit di malam itu juga. 3 setengah jam berjalan sendiri tanpa kawan bercerita pastilah membuatku lelah sekali. Aku jadi teringat bahwa aku sempat mengambil beberapa gambarnya yang sedang asyik tiduran di bawah pohon di tepi danau Kumbolo dengan SLRku sebelum ia sadar. Beberapa hasil bidikan itu sempat aku taruh di dinding balik pintu lemariku sebagai sebuah pemandangan yang eye catchy tiap kali aku mencari CD dan mengambil kaos untuk berganti pakaian. Pemandangan wajah yang damai sambil terpejam seakan-akan ia menyatu dengan semilir angin, udara dan kabut siang di Kumbolo yang sering tiba-tiba berubah menjadi panas yang menyengat.

Kembali pada ingatan pemandangan indah di siang menjelang sore itu. Akhirnya aku batalkan niat untuk meneruskan perjalanan ke Kalimati menyusul teman-teman yang lain di perhentian terakhir menuju puncak mahameru. Sesungguhnya akan menjadi pendakian ke tujuhku bila aku mampu menaklukkan lagi pasir memuakkan yang panjang itu sebelum akhirnya kakiku akan mampun menyentuh kembali bebatuan kecil yang akan disemburkan tiap lima belas menit yang keluar dari jonggrang saloka dengan asapnya sangat seksi itu. Sudah tak sabar rasanya menunggu saat-saat menjemukan berperang melawan pasir-pasir itu.

Namun kenapa tiba-tiba kaki ini tertahan untuk tetap duduk di samping makhluk kecil yang wajahnya biasa saja tapi membuat aku tertarik itu?

Beberapa menit sesudah keadaan mencair, dengan lancar si pelangi penunggu ranu itu menceritakan bagaimana ia akhirnya berlari menuju Kumbolo itu seorang diri. Ia melakukan pendekatan kepada kelompokku yang akhirnya bersedia menyertakannya ikut dalam ekspedisi “kecil” mereka menuju Mahameru.

“Aku ngga akan sampai ke puncak kok. Mungkin sesudah Ranu Kumbolo aku akan berpisah dari kalian.” Katanya pada Tori yang kala itu menggantikan aku menjadi leader karena ketelatanku. Mungkin ketika mereka sedang melakukan dealing, aku baru turun dari pesawatku dan bersiap menuju Tumpang kemudian beralih dengan jip yang sudah Tori pesan untuk menungguku keesokan harinya. Aku kehilangan satu malam bersama mereka. Tapi cukup terbayar dengan apa yang kulihat. Pelangi itu mengenakan sweater merah maroon, sedang berlindung diantara semak empuk dan bersahabat di lipiran danau. Kumbolo kala itu panas sekaligus dingin tanpa ampun. Sehingga bingung rasanya harus ke mana mencari perlindungan. Pondok kecil rasanya sudah tak pantas untuk dia huni. Dan disana, di bawah pohon sebelah timur danau ia mengabadikan tiap tetes embun yang berjatuahan dalam tidurnya. Sendiri. Dia menguasainya. Dan aku seperti seorang tamu yang baru melangkahi danau romantis itu.

“Hai. Sendiri?” Tanyaku padanya yang sedang asyik merebahkan dirinya dan langsung kaget ketika mendengar hempasan tubuhku di atas rumput di sampingnya mengambil posisi duduk.
“Oh, hai. Aku kira tadi hanya langkah angin yang datang. Ternyata manusia.” Dia tersenyum renyah. “Tadinya aku bersama beberapa teman, tapi aku milih pisah.” Dia mengamatiku. “Tunggu. Jangan-jangan kau salah satu dari mereka, bukan?”

“Arung.” Aku ulurkan tangan sambil mengangguk, mengiyakan pertanyaan lewat lengkungan bibir pink-nya yang dibiarkan kering itu.
“Jingga.” Aku hanya tersenyum saja mendengar nama yang ternyata hampir senada warna bibirnya.

Masih di bawah pohon di pinggir danau Kumbolo, mengalir pelan tapi pasti kami bercerita banyak hal, tentang hidupnya, cita-citanya hingga makanan kegemarannya. Juga tentang kisah cintanya. Tiga batang rokok sudah habis kusedot dan Jingga masih saja berceloteh tentang keinginannya menembus Kumbolo sebelum hari itu tiba untuknya. Bawel juga nih perempuan. Tapi tidak membosankan sama sekali bahkan terkesan polos dan beruntun dalam tutur seraknya.

“Kahlil akan membawaku serta menghabiskan masa S2nya di Melbourne. Maka kuberkompromi dengannya bahwa aku akan mau diajaknya serta jika aku diijinkan ke Semeru. Setidaknya hanya ingin membuktikan bahwa di tanah Jawaku ini, memang ada tempat damai dan tenang seperti ini.” Kala itu mendung tiba-tiba datang begitu cepatnya. Dan kami tetap tenang menduduki rumput. “Dan ia setuju. Diberinya aku waktu tiga hari untuk ke sini. Minggu depan masa tunangan itu akan kami laksanakan.”
“Senang rasanya mendengar ada yang akan berbahagia.” Kataku. “Selamat ya.” Kataku mungkin agak terdengar sinis hingga Jingga tidak membalasnya ucapan selamat itu melainkan memandangku dengan tatapan anehnya.

“Arung! sudah habis berapa batang rokokmu dan kenapa tidak juga segera menyusul mereka? Mereka menitipkan pesan akan menunggumu hingga Kalimati. Setidaknya sebelum Maghrib kau sudah harus di sana bukan?”

“Keinginanku adalah raja dari langkahku. Jika aku ingin, aku pasti berjalan sekarang.”

Jingga:

Angkuh. Dia sangat angkuh. Rambut panjang sebahunya yang lurus itu membuatku ingin menyilakannya sejenak saja supaya aku bisa menikmati kekuatan wajahnya dengan jelas. Kahlil juga menyukai petualangan. Bahkan dia yang sering menceritakan keindahan tempat ini. Meskipun sudah sering dia keliling negeri lain, dan dia ingin sekali mengajakku ke sini. Namun minggu lalu ketika tiket kepulangannya ke Indonesia dia batalkan karena kesibukannya kuliah sambil bekerja itu, akhirnya ia melepaskan aku sendiri ke sini. “Jangan sampai kau terlena dengan tempat indah itu, Jingga.” Pesannya.

Aku cukup terlena dengan suasana di sini memang. Dan lebih terpikat ketika sosok seperti angin yang tanpa suara itu tiba-tiba membangunkanku dari mimpi sebentar di siang ini. Namanya Arung. Arung Samudera. Dan dia terlelap di dekatku sesudah menghabiskan beberapa batang rokok dan sandwich sederhana yang dia buat secara instan dan dibagikan separo untukku. Gawat. Ini sudah menjelang senja. Dan dia tidak bangun juga. Hari kian petang.
“Arung… “ Kubangunkan dengan bisikan pelan di telinga kirinya. Ketika ia terbangun, ia memutuskan untuk tidak menyusul mereka. Aku sudah yakinkan berkali-kali padanya aku akan baik-baik saja di Kumbolo dengan tenda soloku yang akan aku pasang sebentar lagi.

“Aku laki-laki dan tak akan mungkin meninggalkan perempuan seorang diri. Apalagi kau baru pertama kali di sini. Lagipula Mahameru akan menungguku kapanpun aku ingin ke sana” Sergahnya beranjak mencari posisi yang tepat untuk mendirikan tenda. Ketika protesku menyeruak atas pelecehan yang secara tidak langsung ia ucapkan. Ia berkata, “Bukan apa-apa Jingga, aku bingung kudu menjawab apa kalau pasir dan asap di atas sana nanti menanyaiku, “kau tinggalkan di mana pelangi penunggu ranu yang kau temui di Kumbolo tadi itu?””

Tawaku kembali menyeruak. Dia sudah menemukan celah untuk membuatku tertawa selain tertegun dengan cerita-cerita petualangannya di alam ataupun di dunia nyata bersama setiap perempuan yang rela menunggu giliran untuk mendapat kesempatan memenangkan hatinya. Tapi sempat pula aku tersanjung oleh kata-kata manisnya senja itu. Tidak salah jika para perempuan itu takhluk dengan komparasi cerita antara alam dan keindahan dirinya sendiri yang sengaja diucapkan oleh suara seksinya itu. Masih sempat ia menambahkan kata-kata itu“Kamu bukan Jingga, tapi kamu pelangi. Karena kenyataannya warnamu bukan hanya Jingga di mataku.”
Matanya mentapku lekat, sekilas tapi merasuki tubuhku dan menimbulkan getar tersendiri di tiap inci syaraf-syaraf halus dadaku. Bahkan Kahlil tak pernah sedemikian indah menggambarkan siapa diriku.

Arung:
Senja beranjak malam. Purnama kembali menyeruak sesudah malam kemarin mengantarkan jeep yang aku sewa itu menapaki Ranu Pani.
Ranu Kumbolo sangat dingin malam itu. Beberapa cangkir teh yang ia buat juga seakan tidak bisa berkompromi lama untuk menghangatkan tubuh. Dalam tenda yang mampu menampung nyala api kompor itu, Jingga menyibukkan diri untuk berkali-kali menghangatkan air.
Terkadang dengan jelas dapat kucium harum rambut sebahunya yang menyibak dengan acuhnya menghalangi pipi halusnya. Dia tetap sibuk di sana.

Awalnya kukira ia baik-baik saja. Namun ketika ia tiba-tiba terdiam beberapa saat dan mulai melepaskan satu persatu jaket polar yang tadi sempat kuberi untuk dia kenakan. Lalu ia mulai akan melepas kaosnya, aku langsung menyalak, “Kamu mau ngapain?” aku kaget mencegahnya melakukan tarian striptease kecil di dalam tenda. Sempat aku bertanya dalam hati tentang maksud perempuan yang ada di depanku ini. “Aku kepanasan. Ini di mana?” Sergahnya. Tanganku mengarah memegang erat jemarinya. Dingin sekali! Dan ia bilang kepanasan? Di tempat yang sangat dingin ini? "Ini di mana sih panas sekali.... " Hypotermia! Ini gejalanya! Kukeluarkan sleeping bagku, ketika kubimbing ia masuk ke dalamnya, jelas tersengat aroma lavendernya. Benar-benar wangi. Ah setan apa yang merasukiku. Aku harus membuatnya hangat. Agak tenang. Segera kumasukkan air panas itu dalam botol dan kuberikan padanya yang terbaring lemah disampingku. Terkadang menggigil terkadang merasa kepanasan.
“Jingga... Ini, letakkan di atas perutmu, supaya kamu lebih hangat. Pegang dengan kedua tanganmu”

Dia terdiam. “Jangan tidur ya. Cerita lagi dong… Oh iya, siapa calon tunangan kamu tadi namanya? Kahlil ya? Kahlil siapa? Kahlil Gibran? Seberapa hebat dia sampai bisa menaklukanmu? Ga nyangka, cewe seperti mu bisa takluk juga ma cowo..” Berhasil. Jingga agak sedikit tenang dan menimpali semua perkataanku. Dia sudah mulai mendapat orientasinya kembali. Namun aku tetap saja bicara tanpa henti untuk membuatnya tetap tersadar. Hingga entah kerasukan panah birahi dari mana hingga akhirnya terlontar ucapan itu.
“I feel very cold. Warm me, please..” Mungkin tangannya sudah mati rasa hingga akhirnya botol berisi air panas itu sudah tak dapat lagi menanggulangi masalahnya. Matanya sayu. Bibirnya bergetar, keduanya tampak pucat.
Kumasukkan tubuhku ke dalam sleeping bagku yang agak lebar itu, mendampingi tubuh mungilnya di dalamnya terpekur dan menggigil, matanya memohon.
“Sorry Jingga… Gue peluk ya?” Dia hanya mengangguk sambil bergemetar.

Jingga:
Dan tubuhnya merengkuhku dengan sekuat tenaga berusaha menyalurkan hangat yang dia punya. Terkadang kurasakan tangannya membelai rambutku, belaian yang belum pernah aku rasa sama sekali dari Kahlil, belaian lembut yang kuminta, And suddenly we kissed, a prolonged kiss. Awalnya hanya sekali. Namun aku terlalu hanyut. Aku memintanya lagi dan dia memberikannya lagi dan berulang-ulang …

Arung:
Mungkin purnama kala itu sudah benar-benar bulat, entahlah kami kurang paham. Mungkin ia menikmati pula suasana romantis dalam tenda kecil kami. Seusai pelukan hangat dan pertemuan bibir kami yang saling mengait cukup lama itu menyatu dan suhu badannya kembali normal, aku berbisik pelan, “ how lucky Kahlil, yah..” Tiba-tiba ia berhenti, melihatku seakan terpana, kemudian memegang kedua bibirnya yang terkatup itu dengan tangan kanannya. Seraut tatapan penyesalan akan apa yang baru saja ia lakukan. Mukanya tiba-tiba kosong menatapku. Kemudian menggigit bibirnya sendiri.

“You are not, Kahlil! ” Katanya sambil memalingkan muka.
Iapun menyudahinya saat purnama sudah benar-benar tegak lurus dengan kami. Masih terekam kuat bagaimana kami tiba-tiba diam dan tak lagi bercerita tentang masa lalu dan masa yang akan kami hadapi. Bagaimana kami menyilangkan lengan di bahu kami masing-masing dan merapatkan pelukan dengan kaki yang kami lipat erat sambil duduk. Kulihat rambut sebahunya. Tak mengarah lagi padaku begitupun mataku padanya mencoba menghindar walaupan apa yang terjadi barusan di luar kendali, yang kutau adalah ciuman super dahsyat yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, bahkan sampai sekarangpun aku sering teringat tentang bibir lembutnya, merasakan bagaimana rambut sebahunya menyibak dan menggelitik leherku sesaat. Dan Ranu Kumbolo terasa seperti salju di antartika. Kadang kupikir dia memang melakukan itu semua untuk menggodaku dengan penyataan lucunya. “Kamu jangan aneh-aneh ya… We did it not on purpose.” Diucapkannya di sela-sela masa bibir kami bertemu. Dan ketika ia berbaring lagi di dalam sleeping bagku, aku memilih keluar dari kantung tidur yang sebernarnya masih tersisa untukku. “I’m sorry…” Kuucapkan padanya sambil menutupkan rapat-rapat resleting dan menempatkan posisi tidurnya supaya nyaman. “Good Night..”
Dan dekapan erat di lengan yang tiba-tiba itu, ia ajukan sebagai permintaan bahwa ia tak ingin sendiri. Tangannya menggenggamku memintaku supaya menempati posisi yang aku tinggalkan di dalam kantong tidur itu.

“Kalau aku masuk akan terjadi hal yang lebih. Dan kau akan lebih menyesal sesudahnya.” Ucapku sambil menatapnya. Tanganku tak lepas juga dari genggamannya.
“Just stay next to me, and hug me. Not more than that..”
Dan Jingga makin merapatkan tubuh mungilnya sambil menggigil. Aku hanya bisa menikmati pemandangan indah yang baru tadi siang aku temui sekarang sudah tergolek pasrah meminta sebuah kehangatan di balik es dingin Kumbolo yang malam itu makin deras menyerbu udara di rumputnya yang lembab.

Esoknya sebelum berkemas pulang, kulontarkan satu pertanyaan kecil yang selalu aku lemparkan pada semua perempuan-perempuan itu setelah kenakalan kecil seperti itu, atau bahkan lebih, terjadi.
“Apakah kejadian semalam akan kau anggap sebagai hal yang penting dan menuntut?“ Tanyaku padanya.
“Tenang aja, aku bukan tipe penuntut seperti fansmu yang lain. I know exactly how and to whom I should commite my heart.” Dan dia berlalu dan berhenti sesaat menoleh padaku. “With you? I guess not” sangat simpul senyumnya.

Aku juga ingat sekali bagaimana dia menegaskan ulang pernyataannya tadi ketika kami akhirnya bersama-sama turun menuju pos pendakian, sangat di luar dugaan. “Remember, I’m not one of them!”
Kata-kata itu selalu terngiang di telingaku, hanya dia satu-satunya perempuan yang tidak mau disejajarkan dengan perempuan-perempuanku yang lain.

Dan pagi itu, ia meminta perlindungan dengan muka basahnya akibat hujan yang dilalui semalam. Tidak adanya angkutan dan nomer telponku membuatnya harus berlari dan gambling mencari alamat yang sempat kuberikan padanya.

“Ini Jingga… alamatku, kalau sempat tersesat di sekitar monas, dan kamu ga tau harus berlari ke mana. Lihatlah bintang atau purnama jika sempat bertemu pelangi bertanyalah padanya harus kemana langkah mu tertuju. Bintang pasti membuatmu ingat 1 hal kalau kamu punya teman yang tinggal di satu gubug di sudut kota. Keluarkan dompetmu dan ambil kertas kecilku ini. lalu larilah padaku…”
Perempuan paling nekat yang kutau. Dari rimba belantara di ujung pulau jawa dia berani ke satu tempat asing ini? Beberapa saat setelah mengeringkan rambut dan tubuh basahnya, ia mengabariku bahwa pertunangan itu ia batalkan 3 hari menjelang hari H! 3 hari sesudah kisah singkat di Ranu Kumbolo itu terjadi.

(Bersambung...)

Monday, September 22, 2008

sepuluh hal tentangku

Demi memuaskan Jeng Swasti yang berkali-kali mengingatkan PR berantainya yang dia kasih ke aku beberapa hari lalu, jadilah beberapa hal yang semestinya kusimpan di bawah ini kuungkapkan dengan ikhlas. Semoga ga eneg aja bacanya ya.


To know me precisely, you can even figure out from the 10 brief stories I wrote below:

1. Yes, I do
Dulu pernah ngefans banget n berharap bisa jadi pacar seorang kakak tingkat yang lucu n rock and roll banget. Suaranya yang merdu banget pas nyanyi n masih terngiang sampe sekarang. Tapi ternyata dia ngga terlalu ngeh sama aku  Satu tahun sesudahnya dia suka sama teman dekatku dan melakukan pendekatan habis-habisan dengan aku dan seorang teman lagi sebagai mac-com nya. Suatu hari sesudah kencan dan memberi mawar dan sebagainya, dia menelpon menanyakan apakah temanku tadi mau jadian ma dia. Guess what, I was the one who picked up the phone karena temen aku itu sedang malu-malu kucing and baru bangun tidur pula.
Temenku                 : (Teriak) bilang “yes I doooo… “
Aku                         : (Sambil pegang telpon) ya udah ngomong dewe!
Lelaki rock and roll  : Gimana, Tuk Platuk? dia jawab apa? (that’s how they call me.)
Aku                         : (Bingung – harusnya dia jawab dewe ya??) “Yes, I do!”
Lelaki rock and roll  : ha?
Aku                         : Dia bilang “Yes, I do!”
Kudunya dia bertanya itu setahun sebelumnya kepadaku ya! Hahahaha…


2. Clubbing? So far Jez Once!
Itupun karena terpaksa demi mencari data para waria yang asyik rumpi-rumpi di sebuah diskotik dalam acara pemilihan Miss Waria di Surabaya. Kalau bukan karena kenekatan memilih judul “Slang Used by Waria in Surabaya” aku ngga akan berani memasuki tempat itu, selain jalanan tempat mereka mangkal tiap malam minggu. Beberapa teman cowo dan waria yang membawaku serta ke sana sudah lihai menikung dan mencak-mencak sambil mabok. Lirikan dan rumpian para gay dan waria yang melewatiku makin membuatku pengen cepet-cepet get fuck out of that crowded.
Bukannya sok alim, tapi aku kagok soroh (banget) berada di sana.


3. Dilombok
Gara-gara ada segerombolan anak-anak lewat di depan rumah pada “belajar” ngomong jantjoek akupun sebagai anak berusia 4 tahun yang cerdas dan well learner, ya ikutan lah.


And the disaster came…
Mendengar aku dengan fluently alias gape ngucap kata itu, dengan tanggap dan sergap, Ibu datang dengan beberapa cabe rawit di tangannya dan yes, aku sukses makan dengan paksaan!
Langsung nangis Bombay sebelum ditolong mbah putriku dengan gula-gula ditangannya. Sejak itu, aku nda berani makan cabe rawit n ngerasa jijik sama sambel di atas cobek.


4. Desy Prakoso
He was the boy of every young girls dream about… hahahaha.
First boyI crushed. rambut kriting, berubuh ceking dan tentunya idola cewe-cewe kelas 5 n kelas 6.. hahahaha
Dia waktu itu kelas 6 dan aku kelas 5. Sempat surat-suratan, cuy!
(norak sorohhhh!!!!)
Kelasku dan kelasnya terpisah oleh pintu yang memungkinkan kelas 5 mengintip kegiatan anak-anak kelas 6. Dan pastilah aku ngintip downg…. Secara ada Desy gitu lo di sandang! Suatu hari kegiatan spying menghasilkan pengetahuan baru tentangnya. I saw Desy Prakoso lagi menyalin PR teman sebangkunya sambil berkali-kali menggerakkan bagian mulut dan hidungnya, mirip banget mantan presiden RI yang terkenal dengan ucapan, “gitu aja kok repot!” Ternyata itu adalah kebiasaannya bow!!!
Seorang teman yang sempat aku certain sambil menirukan kebiasaa Desy Prakoso tadi tertawa sampai terkencing-kencing. Hahahahaha… aku aja kalo mengingat kisah itu selalu membuatku ngakak ga karuan kok, apalagi orang lain. Kira-kira gimana dia sekarang ya...


5. Inggris 9, Indonesia 5
Lulus SMKN Kejuruan dengan hasil transkrip di mata pelajaran Bahasa Inggris 9,17 dan Bahasa Indonesia 5,67. Sedih sekali karena ngga pernah maksimal mempelajari bahasa sendiri. Dan itu adalah nilai terburuk diantara sekian banyak mata pelajaranku kala itu. Usut punya usut ternyata guru bidang studi suatu pelajaran menentukan sekali hasil yang bisa didapat seorang murid. I didn’t have any comprehensive Bahasa teacher in that years.

6. I’ll be Back
Selalu saya ucapkan ketika pertama kali menginjakkan kaki di tempat yang baru. Sepertinya ada chemistry tersendiri untuk mengatakan kalimat itu jika aku menyukainya, sehingga sesuatu yang bagiku di luar mimpi itu akhirnya menjadi kenyataan berulang. Semisal tak pernah terbersit keinginan untuk ke Jakarta namun ntah mengapa ketika meninggalkan Jakarta 3 tahun lalu aku membatin pelan,”I’ll be back!” Dan ternyata kota itu mengharuskanku berkali-kali ke sana untuk urusan ini itu. Begitupun dengan Bandung dan Semeru. Kedua tempat susulan yang membuktikan bahwa dengan kata-kata I’ll be back itu aku selalu kembali ke sana. Sepertinya nanti kalo diijinkan menginjak NYC, pasti aku akan bilang, “I’ll be back again and again!”

7. Mesum
Ini yang sering aku tanyakan pada beberapa teman. Kejadian pertama waktu di Kute sore hari. Beberapa teman sudah mendapat beberapa bule buat diinterview sebagai tugas Mata Kuliah Manusia dan kebudayaan Indonesia serta speaking. Karena sudah malas jalan n sudah selesai hunting bule, aku dan temanku (which looked brighter and whiter than me!) seorang bule menghampiriku mengajak jalan-jalan menyusuri Kute. Bow… malam di pantai yang enak ya makan jagung sambil kejar-kejaran kek di iklan silverqueen. Hahaha..
Bule : Come on. I’ll give u pleasure!
Me   : Nunjukin muka super blok’on n tolah toleh ke teman di sebelah
Bule : I’ll give you some presents how about that?
Me   : I think u are knocking a wrong door!
Bule : Alright. Where do you stay? What number?
Me   : Udah pengen nggampar mukanya
Bule : I’m staying in….. and this is the room number… (ngasih name card hotelnya)
Me   : Langsung beranjak jalan dan menggandeng temanku erat-erat (suerr takutt)
Bule : How much are u???
 
Aku langsung ngacir, sempat pake acara tarik-tarikan tangan sama bule sialan itu.
Empet kali tuh bule! !!!

Dan beberapa kejadian susulan di Gambir dan Bandung yang kalo diceritakan akan sangat panjang dan lucu. Yang jelas sesudahnya aku pasti sms beberapa teman dan berakhir dengan pertanyaan, “Emang muka gw mesum ya?”

8. Birthday
Ngga pernah ada perayaan Ultah kusus selama aku bernapas kecuali ulang tahun ke 25. Guess what was my wish before? Waktu itu aku berdoa ingin sekali meniup lilin di usia seperempat abad di luar tempatku lahir dengan orang yang kucintai (cieeeeeeeee). Sebagai tanda aku bisa memulai kehidupan yang lain yang jauh dari rumah. God heard me. Waktu itu enoy datang membawa sebuah black forest kecil titipan kak Vera di sela-sela acara Buka bersama teman-teman pendaki di Ragunan.
Semua memberi ucapan selamat dan ah… that was the sweetest thing I have ever had. Kado terindah yang ngga pernah kusangka akan datang dari teman yang lain bukan dari orang yang kucintai kala itu.
Hemmm… I love you friends…


9. Maaf, jangan Pentas dulu
Yang ini agak sedih untuk dikenang.
Semasa TK mungkin terlalu aktif dan suka petakilan jadi di setiap kesempatan, guru-guru TK itu selalu mengikutsertakan aku di beberapa acara luar sekolah. Tapi anehnya orang tua murid dikenakan biaya sewa kostum, transport dan lain-lain. Ada satu acara yang aku sangat ingin ikuti ketika terpilih mengikuti pentas tari bunga.
Namun, satu hari Ibu mengatakan pada Bu Endang supaya aku jangan dipilih terlebih dahulu karena tidak ada uang untuk membayar sewa kostumnya dan lain-lain. Nelangsa rasanya. Padahal sempat ikut latihannya…
Kalau mengingatnya aku makin bersemangat menjalani hidup dan bekerja supaya anak-anakku tidak mengalami cerita yang sama seperti itu. …

10. Jadi Guide
SMKku dulu punya travel agency yang melayani pengaturan tour, biasanya ke Bali n tiap murid pasti kebagian sekali membawa rombongan ke sana. Mungkin karena tidak ada persiapan khusus buat memberi pelatihan ke murid-murid jika ada tour dadakan, maka aku dapat jatah sampe 4x membawa rombongan sebagai guide dan kadang sekaligus tour leadernya, sementara yang lain ada yang belum sempat diberangkatkan.
Karena juteknya, seorang teman ngga mau ngomong dan menyapaku sampai kelulusan tiba. Ya siapa sih yang ngga BeTe kalo dia belum sempat jalan-jalan gratis sementara ada yang sampai 4x dapat, dapat duit pula! hahaha…
Halah. Bukan salahku, kalee…


************
Dan akhirnya kurantaikan PR ini pada orang-orang tua aja deh biar tau mereka kek apa pas masa penjajahan dulu:

1. Farid (tralala.. trilily...)
2. Nanda
3. Abah Fachrie (Gigolopala)
4. Rycopobia
5. Penjaga Makam
6. Om Jarot
7. Tante Harlie (Dunia Inoi)
8. Dhanis Wanardi
9. Mbak Diantini
10. Bang Rasyid (Karat Outdoors)

kerjain ya... :p

***poto cabe nyomot di hotradero.multiply.com