Wednesday, July 23, 2008

Melangkahi lagi Mahameru




Album yang egois karena hanya memunculkan gambarku dengan baju superman yang memang kusiapkan untuk dipuncak.
Sory kalo merasa kesaing :p

Dan Semeru Makin Maknyusss Saudara

Oh bukankah ku pernah melihat bintang
Senyum menghiasi sang malam
Yang berkilau bagai permata
Menghibur yg lelah jiwanya


Nyaman sekali menyinyirkan bait itu secara perlahan sambil menatap gumpalan awan senja bergelembung-lembung menutupi hamparan udara di depanku di beberapa persimpangan dari Kumbolo menuju beberapa pos untuk menggapai kembali terdekat di kaki Semeru, Ranu Pani. Sejenak tertegun menatap lengkungan batas cakrawala sembari menunggu Kak Rina yang hanya beberapa langkah di belakangku. Saat itu menjelang maghrib dan aku bilang padanya, “Kalau Maghrib tiba dan cuma ada kita berdua sepanjang jalan ini, kita berhenti sejenak ya, Kak. Aku mo benerin Kasut dan menunggu kaum lelaki yang masih berkejaran di belakang itu. “ Dan tak lama kemudian mereka saling menyusul kami lagi dan saling berpapasan dengan bule-bule yang berdatangan karena penasaran dengan semburan asap di puncak Mahameru yang kami lihat tadi pagi.

Sesudahnya kami semua bermarathon ria, mengayunkan langkah lebih cepat agar tidak terlalu malam untuk tiba kembali di desa yang terkenal dengan hasil bumi bernama Kapri itu. Malam makin menyengat dan dingin kian melanda perjalanan. Beberapa kali mata ini tak sempat untuk berkonsentrasi melihat jalan di depan yang menyebabkan aku terjatuh.
Mungkin karena aku terpana oleh langit malam itu. Bukannya aku menunggu penampakan wahana berbahan metal berbentuk piring terbang ataupun cerutu yang luar biasa besarnya dengan cahaya yang sangat benderang, dengan ufonaut yang berjubah, berjenggot, dan bermata mirip ET di balik kemudinya. Aku yakin kali ini makhluk-makhluk Extraterestrial itu tak akan mengganggu pemandangan indah di langit bumi yang gemerlap dengan bintang-bintang yang tertempel sedemikian lekatnya. Saturnus kala itu berdampingan dengan satelit bumi bernama Bulan. Sangat terang pijarnya seperti halnya bintang yang benar-benar berkilau, menghibur yang lelah jiwanya, yang sedih hatinya…
Mantab memang. Ada bintang, ada mega, ada pohon palm menjulang tinggi berlatar belakang purnama. Tinggal satu yang kurang, serigala! (Halah! Ngilangin suasana romantis deh)

Semua bermula dari …….

Ada satu janji tertinggal kepada seorang kawan untuk menapaki pasir berbisik di dataran berbentuk segitiga yang tertinggi di Tanah Jawa, terucap hampir setahun yang lalu. Dan ketika kesempatan itu datang si kawan tersebut memintaku untuk menemaninya menjalajahi lagi daerah kekuasaan suku Tengger itu, aku pun mengiyakan sebagai pemenuhan atas janjiku padanya. Aku menyadari sekali bahwa fisikku kala itu tak mungkin siap dihajar dingin dan terik Ranu Pani hingga Kali Mati di bulan Juli ini. Ya, targetku hanya Kali Mati seperti yang berkali-kaliku katakan padanya, “Oke gw temanin sampai Kalimati aja deh. Gw flu nih, ga bakal mo muncak!” Deal!
Meskipun beberapa hari sebelum keberangkatan, sang kawan sempat memintaku mengurungkan niat karena kabar kesehatan yang belum membaik, aku yakin masih sanggup melajukan jemari kaki dan betis ini di sana.

Tak sia-sia langkah ini menyakin. Banyak kawan-kawan baru dari JePe dan seorang kawan dari KL yang menunggu untuk bersama-sama berdebar-debar melihat sehebat apa sih gunung ini. Dan yang membuat saya cukup terhenyak adalah kehadiran si perjaka ting-ting asal kelompencapir “Pendaki” Bang Rustam alias Cepot juga menyambut saya di malam saya datang memasuki halaman rumah Pak Laman, the truck driver di Desa Tumpang. Oh My Jod, Bang Cepoot. (Sok histeris)

Ranu Pani-Ranu Kumbolo (09-15 WIB)
Sesudah perut kami terisi telor dan mi rebus sebagai teman nasi buatan Bu Nunuk, kamipun melangkah menuju Ranu Kumbolo.
Aku dan kawanku tadi terus melaju meninggalkan cepot dan kawan-kawan. Aku sudag berusaha cukup kuat aku untuk menyamai langkah setannya, bahkan porter yang sempat di sewa Mbeng untuk membawa tenda super gedenya itu tak bisa mengiringi langkahnya. Padahal si porter yang bernama Cak Mul itu sudah menggunakan cara pemotongan kompas yang lumayan cepat. Kami baru sadar kalau ternyata si porter berada di belakang kami. Mungkin ia sempat terinspirasi oleh cerita yang aku dongengkan selama di jalan.
“Tim Teg tog waktu itu jalan malam n nyampe di Rakum Cuma 2,5 jam-an
“Oke deh kita bikin jalannya 3 jam aja yuk, biar cepet nyampe Ranu Kumbolo.” Sampernya. Hem.. Sepertinya, mulut dan kakinya bakal sepakat narget 3 jam sampai nih. Apa dia ngga ngerti kalau aku ga fit gini. Dan kubiarkan dia berjalan menjauh sampai akhirnya tak terlihat lagi olehku yang memilih berhenti sambil ngemut permen cap tangan selama beberapa menit sambil duduk di pinggir jalan berumput dan berbatako dan menunggu kawan-kawan lainnya lewat. Saat berjalan lagi tenyata si kawan tadi juga berhenti karena merasa si suara bawel yang dari tadi nemenin dia jalan, ketinggalan di belakang (hiks!). Ternyata dia masih berperikeperempuanan !

Dan semua gagal sodara-sodara! Sampai di Pos Sampah kami berhenti lama karena menunggu yang lain. Lagian ini naik gunung kan? bukan kerja MLM yang kudu cari kaki cepet-cepetan biar dapat bonus banyakan. Target nyampe Rakum cepet-cepet ga bisa dikejar karena memang kondisi siang yang cukup panas dan track yang naik turun meskipun banyak landainya. Sebenarnya kami semua akan menembak kalimati untuk bermalam di sana. Namun apa daya, atas keputusan bersama dan mempertimbangkan kondisi badan, kami semua harus buka tenda di Ranu Kumbolo dan bercumbu dengan dinginnya angin di tepi danau yang menyebabkan kami semua harus terjaga berkali-kali karena tak kuasa menghalau dingin yang terkadang menusuk tulang sampai ke relung jiwa ini.

Rakum-Kalimati (10 a.m. – 02.30 p.m.)
Panas, Debu, Terik mentari yang menyengat membuat langkah ini harus berkali-kali berhenti. Dan ah, si kawan tadi meninggalkan aku lebih jauh lagi. Dan akupun memilih berjalan dengan Om Gonjes Cs yang banyak behaha hihi menikmati jalanan berdebu naik turun yang kejam karena cahaya yang terlalu menyilaukan mata dan menghabiskan cairan di kerongkongan itu. Sekali lagi aku bersyukur ada Cepot juga di sana yang selalu mengajakku bercerita sambil curhat-curhat masa-masa percintaannya sehingga perjalanan kali itu jauh dari rasa membosankan. Ga nyangka cintanya Cepot sedalam itu. Jadi yang mirip-mirip itu Pot yang lw suka? Pot ingat Pot, itu anak kecil baru lulus sekolah. Dia baru lair, lw-nya udah ngerokok n tawuran.
Pantas kemarin di Ranu Kumbolo aku ditolak mentah-mentah di hadapan kaum JPers.
Cepot? Nolak aku? Ya mungkin ini adalah tanda-tanda zaman jahiliyah muncul lagi deh. (hahahaha… piss pis… prett)

Setiap perkataan yang menjatuhkan tak lagi ku dengar dengan sungguh
Juga tutur kata yang mencela tak lagi kucerna di dalam jiwa
Aku bukanlah seorang yang mengerti tentang kelihaian membaca hati
Aku cuma pemimpi kecil yang berangan tuk merubah nasibnya


Sore itu di Kalimati, aku bergabung memasak dengan La Fumma Group (Maksudnya teman-teman yang tinggal di kampong La Fuma tetanggaku) Di situ terkuak misteri sinar bayangan betapa kocak-kocaknya mereka. Ayu, Uchit dan aku berebut menjadi pembantu. Dan Bang Arief Cuma ngasih instruksi ini itu ajah. Dasar mandor! Tovic dan mas Wahyu? Bagian icip-icip deh.
Sore menjelang malam, 3 sosok laki-laki sok ganteng itu benar-benar menyusul kami. Yup, Kohan, Arief n Pramono mendapat sambutan kemeriahan dari kami yang sudah bersiap-siap istirahat. Edan tenan! Surabaya-Malang-Ranu Pani-Ranu Kumbolo-Kalimati dikebut dalam waktu sehari itu juga?

Sebelum istirahat, sekali lagi kawan tadi menanyaiku, “Yakin mo muncak? Ga usah deh kalo masih sakit.”
Masih ragu, aku menjawab antara iya n ngga. “Lihat-lihat dulu deh, ntar kalo enakan muncak, kalo nggak ya aku tunggu di sini aja.”
“Ya kalau emang mau naik, niatin!” Katanya. Nendang banget!

Malam ketika akan mencoba menutup mata untuk saving energy nanti waktu summit assault, kami kesulitan tidur apalagi mendengar Andri yang ber-Kalimati Idol dengan Kohan Cs di sana. Woyyyyyyy tidurrrr. Ntar lagi summit nih!

Summit Assault 11 p.m. – 05.30 a.m.
Dan Ya.. Malam itu juga aku niatin menapaki lagi pasirnya, mencumbui lagi anginnya dan saling berebutan oksigen lagi dengan tumbuh-tumbuhan di sekitar kami. Beriringan langkah kami. Sempat muntah sebelum menginjak Kelik yang akhirnya membuatku merasa lebih lega.
Arakan limpahan kawan tadi cukup membantuku menahan beban tiap kali melangkah menyusuri jejak para penjelajah yang ada di depanku. Di sampingku beriringan Bang Arief Yk n Dimas (asyikkk ada jomblo-jomblo di dekatku wakakakakak)

Bukan lagi makanan yang ada di otakku. Bukan lagi soal siapa yang akan aku kasih congratulation kiss nanti ketika sampai di atas. Bukan lagi harus berkejaran dengan purnama yang akan terbenam dan matahari yang akan terbit. Hanya niat dan konsentrasi akan titian, tanjakan keras yang panjangnya seperti tiada akhir yang membuatku melangkah tanpa henti Ia seperti perjalanan hidupku yang sampai sekarang belum menemukan tambatan untuk berlabuh. Dan pasirnya menimbulkan perih. Seperih hati yang tak lekang oleh badai. Namun semua harus dilalui agar harapan itu terenggut.

Ku gerak kan langkah kaki
Dimana cinta akan bertumbuh
Kulayangkan jauh mata memandang
Tuk melanjutkan mimpi yang terputus
Masih kucoba.. mengejar rinduku
Meski peluh membasahi tanah
Letih, penat tak menghalangiku
Tuk temukan bahagia


Dalam komat kamit hitungan angka satu hingga seratus, seratus hingga dua ratus, aku berjalan tanpa menghiraukan debu yang menyesakkan dan penat yang melanda.
Terkadang lelah, kantuk dan malas menyergap, menahanku untuk berhenti sejenak dan merasakan semilir keras angin Sang Kuasa.
“Mas henti dulu yuk di batu besar itu.” Kataku ke Bang Arief.
Headlamp kumatikan karena cukup terang cahaya purnama kala itu. Tiba-tiba Nurul, Tovic dan Mas Wahyu yang ada di atas kami berteriak. “Awas… batuuuuuu.. batuuuu..”
Aku mendongak ke atas, busyet!!!!! batu besar yang cukup bisa menghepaskan tubuh hingga terpelanting itu segaris dengan arahku. Aku melompot dengan kekuatan penuh ke arah kanan karena pasirnya lumayan berat, aku hanya berhasil mengalihkan selangkah ke arah kanan, dan batu besar itu berhasil melintas pada detik aku berhasil pindah jalur yang hanya beberapa centimeter dari jarakku sebelumnya. Pada garis di mana batu itu melintas. Nyawaku masih terselamatkan. Bang Arief yang tadi ada di belakangku pas, terlihat beberapa meter meloncat di sebelah kananku. Ia berhasil mengayuhkan tubuhnya lebih jauh dari aku. Dimas, aku dan Bang Arief hanya saling melihat, tertegun. Rasa kantuk itu hilang seketika berganti dengan dag dig dug di dalam dada. Mengucap syukur sedalam-dalamnya pada limpahanNya karena masih di beri keselamatan daripada terhempas oleh batu segede itu. Ternyata Engkau masih merestuiku hidup lebih lama lagi, ya Allah.. Terima Kasih...

Sesudahnya kami berjalan beriringan terus-terusan, tiap kali akan menginjak batu kami akan berhati-hati sekali untuk menjadikannya sandaran kaki. Sudah tak berani untuk berhenti lama-lama. Cukup menghela napas panjang saja tuk bersiap berlari kembali, melangkahkan kaki.

Bukankah hidup ada perhentian
Tak harus kencang terus berlari
Kuhela kan nafas panjang
Tuk siap berlari kembali


Dan saat itu 5.30 pagi ketika beberapa teman sudah berada di puncak dan menikmati poto-poto dengan sunrise, aku melangkahi lagi puncak Mahameru. Tak ada yang menyambutku seperti tahun lalu ketika bersama ketiga orang temanku. Dan aku tak butuh disambut. Air mata ini masih menetes perlahan menikmati semilir dan batu-batu hasil semburan asap jonggring Saloka. Gontai aku melangkah sambil menghapus tangis kecil itu.
Allahu Akbar, Subhanallah, Walhamdulillah.. Aku masih bisa menjejakkan lagi langkah kecil ini.

Ya, sakit bukan halangan. Kalau sudah diniati semua akan berhasil. Fisik lemah bukan alasan untuk melewatkanmu dan mental yang “dibaja-bajain” mungkin lebih berarti untuk menapakimu, Mahameruku….

Dan kami berfoto-foto di sana, aku sempat berteriak beberapa kali saking gembiranya berada di puncak itu lagi, meskipun dingin menyerang dan hembusan itu seolah-seolah akan merobohkan kami. Yang jelas Asap dari Jonggrang Saloka masih menjadi misteri yang membuat kami ingin dan ingin lagi melihatnya, mau dan mau lagi mendengar dentumnya.
Berturut-turut, kawanku itu menyusul kami di puncak. Dan tentu saja Cepot yang berhasil menebus keinginannya menapaki Semeru, akhirnya terkabul juga pagi itu. Ada sosok lucu yang berhasil menembus ganasnya pasir itu, Andri yang chubby itu pun berhasil sujud syukur di sana.
Sewaktu turun terlihat Ayu terpekur di bawah, hanya 200 meter menuju puncak. Nyalinya menciut melihat kami pada turun. Tapi dengan semangat yang kami siramkan padanya, akhirnya ia berhasil menggapai mahameru juga. Syukurlah…
Dan Mahameru makin Mak Nyusssss, sodara…..


Sepanjang jalan Ranupani – Tumpang, Mahameru tak henti-hentinya menghantarkan kami dengan letupan-letupan yang muncrat tanpa henti dan membuat kami beberapa kali meminta Gianto sang sopir Jeep untuk berhenti memberi kami kesempatan mengabadikannya lagi dan lagi. Ia seakan tak rela jika kaki-kaki manis kami pulang ke peradaban di mana kami berasal. Ah mungkinkah dia kesepian di sana…

Matur thank you
buat semua kawan dari kaum JPers.
Om Gonjess yang banyak share ilmu, Bang Arief Yk yang berada di sampingku selama menapaki pasir berbisikNya, juga mas Dimas, Tovic dan Nurul yang menyenangkan, Ayu yang hebat bisa ngalahin ciutnya nyali yang akhirnya bisa membawamu ke atas, Uchit yang berondong dah jangan patah hati mulu hahahaha, Faris yang imut, n Andri yang selalu menyanyi sepanjang jalan. Kapan-kapan temenin naik gunung di Jateng ya. Juga romobongan three musketeer, next time, gabunglah ma manusia-manusia ini. Hehehehe.. makasih buat sumbangan malaikat bersayapnya

Teman-teman Jatim Explore, Mbeng n Sinyo yang tetap lucu dan menyenangkan. Mbeng.. bosen aku. Tapi ya kadang kangen. Haahaha
Kak Rhina.. ga rugi kan jauh-jauh datang dari Kuala Lumpur dan akhirnya bisa melihat semeru?
Hero aduh sempat kelupaan. Cepet lulus jangan naik gunung mulu. Hehehehe... Kapan-kapan naik gunung bareng ya :D


Kohan, Mas Arief, n Pram yang nyusul karena pengen banget gabung ma kita-kita di atas. Kohan sory ya… ga bisa bikinin kamu Vanilla Latte di Rakum. La ketemunya di Kalimati, airnya susah tau. Hehehehe…

Bang Cepot yang akhirnya menapaki pasir itu, duh... ga nyangka bang cepot sanggup. Beneran nih aku ditolak? Ngga nyesal nolak aku? Jarang-jarang lo aku nawarin hahahahaah.... Btw, tendanya bow.... TFN, Eureka, Mountain Hardware lewat deh. Salut ma tuh tenda. Mau aja dipermak sana sini ma pemiliknya. Tapi tetep aja tembus. xixixixi...

Buluk, kawan mendakiku yang paling keren yang akan selalu meninggalkan aku jauh sekali tapi akan selalu berhenti dan menunggu tanpa kuminta. Kawan mendaki yang ga pernah protes ketika aku bawel, gondok ataupun sakit.

Sahabat adalah dia yang menghampiri ketika seluruh dunia menjauh..karena persahabatan bagaikan tangan dengan mata. Saat tangan terluka, mata menangis. Saat mata menangis, tangan menghapusnya

Dan pada bintang-bintang di kaki langit Mahameru,
Kutitipkan pesan ini.


Jangan pernah memintaku melupakan kisah itu. Namun beri aku jiwa baru untuk tetap berjalan dengan nyaman dan goresan senyum yang akan menguatkan langkah kecil ini seperti kala fajar itu ketika damaiku menyapa tanpa tangis saat melihat purnamaMu terbenam…


Thanks to PADI untuk inspiring OST maya-nya “Sang Penghibur”
Perfect song to move again.

Monday, July 21, 2008

Before Sunset in Bandung




Evening of July 7th 2008, I saw gorgeous sky during my coming back from Pasar Induk Gede Bage in Bandung. The sky was great, it tempted me to frame it.

Sunrise in Kenjeran




After almost 27 years living near the beach area, it was the first time for me to see the sunrise in Kenji.