Friday, May 16, 2008

Ndusel




Suka Banget ndusel ma konco-konco plek yang ngegemesin n jarang ketemu kek mereka.
Miss you all.
Sayang cuma dapat 2 perut ajah. :D

Ladies in Gathnas




Jika Perempuan-perempuan Pendaki Nampang Seperti ini deh...

Idle

Ransel Consina hitam jelek itu sudah tergantung diam di balik pintu kamarku.Huricane merah dan si biru yang dibeli karena kecelakaan itu sudah dilaundry seorang teman akhirnya menempati pojok kamarku lagi.
Sarung tangan, raincoat marmot, daypack osprey, kompor mini dan misting murahan sudah aku masukkan kotak dan kugeletakkan di bawah kolong kasur.

Sepatu-sepatu bersemedi dengan manis di kotaknya. Semuanya bersih tercuci.
Mereka semua diam, tak bergerak dan sangat pengertian karena yang punya sudah tidak bingung pengen berjalan ke mana, naik gunung apa, atau merengek minta ditemani menjelajahi tujuan yang tak bertepi itu.
Pemiliknya sudah tidak berhasrat mendaki gunung ataupun berjalan lagi.
Hanya dot chamberlain berwarna merah saja yang menemaniku ke mana-mana bersama tas tali cokelat menyusuri Surabaya dari satu tempat ke tempat lain bersama Tikka XP petzel saja yang kadang dipakai untuk menerangi ruangan jika lampu mati.

Tanah, hutan dan awan,
sampaikan pada Penciptamu
aku rehat sejenak untuk mencintaiNya lagi lebih dalam
tanpa perlu melangkah setinggi itu,
tanpa harus bernapas sesesak itu.

Di kala Rehat sejenak

Sudah 3 malam berturut-turut terkena flu dan terkena penyakit semacam desperate soul. (sekuelnya Desperate house wife untuk TV seriesnya dan Desparado untuk versi layer lebarnya)

Apa mungkin sakit ini karena aku sudah tidak memiliki lagu indah untuk dinyanyikan (yang ini terinspirasi seseorang yang kala itu juga sedang debrot) atau kemampuan jari-jari dan otak sudah tidak nyambung lagi untuk menulis. Loosing my inspiration. Gitu kata ke( r ) ennya. Kata mbak-mbak yang ada di destiny’s child, loosing my breath. Pendeknya sedang kehilangan ide alias nge-blank alias sedang doengoe.

Padahal akunya baik-baik saja. Langitnya masih biru sih
Ya meskipun sudah 3 hari juga aku tidak sempat menyaksikan dengan mataku sendiri bahwa langit kemarin-kemarin cerah karena
  1. Udah ga mandi 3 hari 3 sore (tau tuh gimana mukaku, apa bisa besok masuk babak final miss. Platuk?)

  2. Kehendak bantal, guling, kaos kaki dan selimut yang memintaku jadi tahanan rumah sementara),

  3. Nda mau ke mana-mana

Langitnya masih biru, cuman ga sebiru kalau kamu disampingku (ABG banget), mungkin kalau kamu disampingku langitnya berubah jadi biru mangkak alias mbulak alias mblawur (wakakakakakak)
Satu sms terkirim padaku menanyakan “Dokter bilang apa?”
Kujawab asal-asalan (note: bukan kucipok asal-asalan yach!) “Dokter bilang, nunggu apa lg mbak? Nunggu disuntik mati atau dikash obat over dosis? Sy bisa bantu.”

Si pengirim langsung reply tanpa disuruh (Ya iyalah!!), “Dodol…” aku jadi ketawa aja membacanya. Puas rasanya bisa bikin dia membalas dengan 1 kata gemes kek gitu.

Wahai pengirim nista, aku lho nda suka dodol sama sekali. Aku lagi suka duit n notebook (makin ga nyambung aja nih otak.)
Teman yang lain sms bilang “sayang yang lo perluin bukan dokter,…”
(Emberr.. aku perlu Ki Joko Bodong, mas.. wekekekekek)
Forget about dodol dokter n Ki Joko. Pernah aku bertanya (dulu) waktu pernah sakit yang sama kek beginian, kenapa orang yang kita harap untuk berada di samping kita itu nda pernah ada untuk kita, untuk sekedar say hello dan menanyakan kabar kita.

Dinikmati aja San sakit sendirian kek gitu. Enak deh” jawaban singkat yang langsung ku-Delete.
Lama juga aku mencari jawaban, no telepathy network coverage between me and him(s) is the only reasonable answer.
Kalau saja ada perasaan nda enak, mungkin dulu si kutu kupret itu bakal call me or at least came by disaat dia tau aku sakit, perutku terasa diremas-remas dan hanya teman-teman kos yang merawat anak nyasar ini ke sana ke mari, mencarikan dukun yang paling mandi untuk menyembuhkan sakitku kala itu. Aku ingat gimana bingungnya si Zeni n Adhe nyariin obat or Tante Sari n Om Sam yang sibuk masakin baso, Tante Dias yang ngebatalin kencannya.
Itu sepenggal cerita kegiatan PMR dan dapur umum di satu kamar kecil di belahan bumi cempaka putih. Dimana aku berlakon sebagai korban dan mereka sedang praktek ilmu ke palangmerahan mereka.

Omit telepathy, Skip it. Karena ga semua manusia bumi bisa bertelepati secara kecepatan kita masih sebatas kecepatan suara n bukan cahaya kek makhluk-makhluk extraterrestrial itu (halah UFO lagi!).
Forget it, dari sakit-sakitan macam ini sepertinya sakit kali ini (yang katanya dokter stress dan aku ga percaya, “Dok, I’m fine deh!) akan jadi sakit yang ga penting untuk kulalui lagi.

Sudahlah sudah jenuh mikir penyebab sakit, sudah saatnya mencintai diri sendiri tanpa perlu membaginya dengan manusia-manusia tak berazas manfaat seperti mereka.
Pengennya sih ga kasih les privat terlalu banyak namun apa daya muridnya overload n selalu ngedesek minta dilesin terus (sok digemari nih, jangan percaya daah), pengennya punya notebook secepatnya biar bisa ngerjain kerjaan di mana saja jadi ga perlu translate sampai jam 2 pagi tiap hari n bisa menulis kapanpun inspirasi datang (u’re not my only inspiration gitu lho!) namun apa daya ga punya waktu buat cari yang sesuai keinginan (sok suibuk).

Night of May, 11th 2008

F A R E W E L L

Bulan Mei 2008 ini adalah bulan penuh perpisahan yang memang harus dilalui oleh tiap manusia yang mengaku ciptaan Tuhan Sang Pencipta alam beserta isinya. Seperti pepatah jadul bahwa ada pertemuan, ada pula perpisahan. Ada yang terakhir ini selalu membuat kita merasa sedih. Setidaknya bulan ini ada beberapa perpisahan yang harus terlewati.

Perpisahan pertama adalah teman cool-ku yang akan meninggalkan negeri tercinta menuju salju yang akan dia taklukkan untuk sekedar bekerja menunjukkan kepiawaiannya mencangkul dan menyebarkan benih-benih tanaman di atas butiran salju yang kian menggunung di Alpen. Meskipun jauh dan jarang bertatap muka di bawah langit katulistiwa ini, aku sadar akan kehilangannya. Setidaknya dia tak akan berada di tempat dengan presiden yang sama denganku, SBY (halah!) Atau ketika aku menimpakan kaki ke bumi ibu kota, dia tak akan menemaniku jalan-jalan lagi sambil cengengas cengenges ngomong ga keruan, dari meledekku soal Alien hingga menyemangatiku untuk kuliah lagi dan memanas-manasiku untuk janjian ketemu main ice skating bareng di Gunung bersalju itu. (duh… semoga tercapai ya… kalau kesampaian kita bisa jual lontong balap n sate kerang di pintu masuk Alpen kali ya bro? – impian si kere banget deh). Entahlah padahal baru dua kali saja aku mendaki bersamanya, itupun di sebuah gundukan kecil di belantara kota Batu, tek tok pula dan di turunan palsu benama ayek-ayek (hahaha palsu.. secara dusta turunannya). Namun aku sudah merasa asyik saja ngomongin hal yang ga penting dengannya. Apalagi cela mencela. Kuanggap sebagai penguji imanku. Hahahaha… Untung deh masih sempat bertemu dengannya ketika ke Jakarta kemarin.. Cakap smart dan funny-nya akan selalu terngiang di telingaku. Above all I’ll be missing him…

Kedua dengan satu komunitas di mana aku mengisi hari-hariku dengan mereka selama beberapa tahun belakangan. Menangis dan tertawa dengan komunitas sederhana melalui media pengikat bernama mailing list. I guess it’s time to be realistic.

Perpisahan ketiga dengan sebuah hati yang harus diikhlaskan untuk mengarungi pilihannya sendiri. Terima kasih sudah menemaniku berjalan sejauh ini. Tanpa lelah memegang lenganku saat aku letih dan meminjamkan hati meski hanya sejenak. Aku akan melangkah sendiri lagi. Tak mengapa, eidelweis dan savannah itu masih menungguku meski tanpamu. Jadi aku akan hanya berdoa untuk kebahagiaanmu dan tetaplah tersenyum dan mencelaku kapanpun kau ingin. Semoga bahagia untukmu selalu kakakku . Semua akan baik-baik saja.

Jika perpisahan ini menjadikan hidupku makin indah, aku rela Ya Allah…

Warna Warni Gathering Pendaki Indonesia 2008




Cuci Otak ala Section One

On borrowed time adalah episode terakhir dari La Femme Nikita session 3.
Ceritanya: Sudah sering kali Michael dan Nikita melakukan backstreet dengan cara mencuri waktu di kala mereka bertugas. Dari mulai aksi bo’ong-bo'ongan Nikita yang disandra musuh dan akhirnya hanya Michael yang mampu menyelamatkan si pirang nan sexy itu. Seperti bisa ditebak usaha “penyelamatan” pada adegan mesra dimana membuat pemirsa (khusunya aku) merasa touching, shaking dan shocking (halah!). Secara Madeline dan Paul (Si tua bangka licik namun cerdik itu) yang mengepalai section one sangat-sangat anti dengan hubungan Nikita dan Michael. Alasannya, bisa mengganggu konsentrasi dalam menjalankan tugas, padahal setelah diprosentase tingkat kefokusan Michael pada Nikita berjumlah hanya 1.4% saja dari 100% fokusnya pada tugas!!! (Bujug nih manusia apa Robot ya ga boleh mikir yang lain selain membunuh dan membunuh) Berbagai cara dikerahkan untuk membuat mereka terpisah satu sama lainnya. Mulai ancaman dicancell (baca: dibunuh) dua-duanya, Michael yang didown grade posisinya secara sengaja, ataupun Nikita yang dipaksa dengan ikhlas menyerah dan berjanji di hadapan Madeline n Paul untuk tidak berhubungan dengan Michael. Tetap saja ngga ngefek. Cinta mereka teramat kuat dan smart. (Pokoknya ga kek Romeo n Juliet yang sok mellow deh).

Akhir kata setelah kehabisan akal, Madeline membuat satu-satunya cara, mencuci otak Nikita dan menghapus satu cerita, satu cerita saja dalam hidupnya, cerita bahwa ia pernah mencintai Michael. It succeed. Michael mendapati tatapan kosong dan sikap dingin Nikita.

After I watched Nikita, will I wish I was her? Brain washing for a single foulest memory?

I guess it’s not that necessary.

Si pencipta otak lebih memiliki teknologi perencanaan yang jauh lebih baik untuk kita secanggih dan sebagus teknologi balas dendamnya untuk mereka yang sudah menyakiti makhluk-makhluk sexinya.