Monday, May 25, 2009

Menemui ABG (Anak Baduy Gaul)

"Sue... aku mo cerita." Cerita Joan dengan baju batik bertambal-tambal dalam satu kesempatan ketika tanpa sengaja dipertemukan lagi sesudah pertemuan aneh dan singkat di kereta menuju Bogor.
"Apa?"
"Mau ke Baduy nih. Yang confirm ....,....,...., Ikutan yuk aku belum pernah juga."
Wow. sudah lama saya ingin bertandang ke sana menjadi saksi cerita teman-teman yang pernah ke sana.
Sayang last minute cancellation dia kabarkan ketika kami siap-siap packing. Huh, tuh kan... ga jadi ngakak ala bencong bareng deh :(

Di atas Kereta Kambing Bersama 2 Betina
Cuma 2ribu aja, harga tiket kambing yang mengantarkan kami dari Kota ke Rangkasbitung kami memperoleh fasilitas tambahan selain tempat duduk yaitu sampah, keringat yang bercucuran, bau-bau tak sedap, tukang penjual buah dan penjual pernak pernik lucu plus copet-copet terampil.
3 Betina yang dari tadi sudah cape ketawa sendiri, dihibur lagi oleh kedatangan si merah menyala. Namanya Cecep dari Jogja yang langsung pindah kereta menemui kami. Pemandangan baru yang membuat kami geleng-geleng. I wondered what are the other reds he wore.
Sampai di Serpong kamipun bertemu lagi dengan mbak Aris. Asyiiikk.. Akhirnya sesudah sekian lama akhirnya kita bisa satu trip.
Di dalam kereta tak henti-hentinya kami tersenyum dan tertawa menikmati kereta yang lucu itu. Lucu? Iya. Karena keretanya mirip mikrolet dan pasar pindah. Penumpang bisa belanja di atas kereta karena banyaknya penjual di sana dan kerennya lagi bisa berhenti dimanapun penumpang mau. Mana ada kereta seperti itu selain kereta kambing ini.

Kelucuan tak berhenti di situ. Ketika kami akan berangkat menuju terminal Rangkasbitung dan Jeng Swas memutuskan hanya menggunakan 2 becak untuk menuju angkot yang dimaksud, apa yang terjadi pada kami berlima? 3 becak? Ah nanggung. 2 becak? Yang satunya disempilin di mana?
"San kamu, aku pangku aja. Sini!" Kata cecep. Halah.... Jadilah saya dipangku Cecep.
Sayang becaknya cuma jalan sebentar jadi acara dipangku cedep juga cuma sejenak. Cep pangku lagi ya kalo ketemu.. (Hahahah Ngarep!)

Perjalanan yang lama dan panjang hari itu berakhir ketika maghrib sesudah ojek kami meliuk-liuk mengantar kami ke Simpang Koranji dan berakhir di Desa Nangerang.
"Nama desa yang kita tuju nanti apa mbak Swas?"
"Cibeo, San."
 
Dari Desa Nangerang kami kudu menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam dan melewati beberapa desa Baduy Luar. Desa Cijengkol adalah desa Baduy Luar pertama yang kami masuki menyusul beberapa desa berikutnya yang saya lupa apa saja namanya. Baru 30 menit kami berjalan, seorang baduy luar mencegat kami dan berniat untuk mengantar kami ke Baduy Dalam. Usut punya usut ternyata si Bapak tersebut berniat juga berjualan ke Baduy dalam karena menurut peraturan, orang Baduy hanya boleh berbelanja pas hari Minggu.
Wah lumayan deh dapat guide dan teman selama perjalanan. Apalagi malam seperti itu Jeng Swas sempat berbisik juga kalau ia belum pernah memasuki Baduy di malam hari. Jadi untung lah kita.

Gelap berteman suara binatang malam beriringan dengan gemerisik aneh di belakang, saya mengintili si bapak guide. Jalanan yang kadang naik turun itu membuat napas kami naik turun tanpa ampun. Jembatan-jembatan bambu yang sedikit licin membuat saya sedikit was-was karena kami harus melintasi sungai-sungai di bawahnya.

Tepat setengah delapan kami melintasi Cikertawarna sebuah desa sebelum Cibeo. Sepi sekali seperti desa mati karena tak satupun terlintas ada makhluk hidup di sana juga tak terendus sedikitpun suara manusia yang menempati rumah-rumah di sana.
"Pak di mana semua orang-orangnya kok kosong desanya?"
"Lagi di kebun." Saya hanya mengangguk sok mengerti. Padahal saya tidak mengerti sama sekali penjelasannya. Baru besoknya Jeng Mbak Swas bercerita kalau orang-orang Baduy kalau sudah ke huma akan tinggal berbulan-bulan bekerja di sana membawa serta seluruh keluarganya. (Udah pada ngerti kan "Huma?" Ya itu lo yang biasanya kita mainin pas masih kecil dulu yang ada pion-pionnya... :p)

Pukul 8 teng. Tepat 2 jam kami mendapati keriuhrendahan suara penduduk saat langkah kami makin dekat dengan desa tujuan.

"Swasti?" Begitu sapa salah satu penduduk Bady dalam. Alhasil acara kami ke Baduy kali itu bak mengantar Mbak Swas pulang kampung. Hampir seluruh penduduk kampung Cibeo mengenal mbak Swasti. Saya curiga jengong-jengong dia adalah salah satu Jaro perempuan di sana.
Lalu kami pun dipersilahkan untuk menginap di salah satu rumah penduduk yang bernama pak Aldi. Seorang Baduy sederhana dengan 5 anak dan 1 istri yang rentang usianya tidak jauh berbeda padahal usianya baru 30 tahun.
Lalu kamipun bersama-sama memasak makan malam di sana dengan ditemani istri Aldi dan penduduk sekitar yang saling berkumpul di sana.
Saya tertarik sekali dengan gelas yang mereka pakai yang terbuat dari bambu. Padahal sudah niat sekali meminta 1 gelas buat kenang-kenangan namun saya lupa.
Malam itu sesudah acara memasak dan makan malam bersama sebagian penduduk setempat kamipun tertidur dengan pulas dan menuntaskan lelah di balik sleeping bag kami masing-masing. Ah iya, sebenarnya kami mandi dulu di sungai karena kalau kami menunggu besok maka tak nyaman bagi kami untuk mandi karena harus berbasah-basah di bawah terang. Oh no...

Next Morning.
Saya terpana dengan meriahnya mbak Aris mengajari anak-anak Pak Aldy mendendangkan lagu lupa.. lupa.. ingatnya kuburan Band sementara Mbak Swas sedang asyik meracik bumbu nasi goreng petai (iya petai temannya jengkolll). ak guru TK mbak Aris asyik menggoyang-goyangkan badannya mengajari mereka namun sayang ia lupa liriknya. Tapi saya yakin seandainya ia tidak lupa pun anak-anak itu tetap tidak mengerti maksud lagu tersebut. La wong bahasa Indonesia saja mereka susah kok.

Lalu untuk menutupi "ketidakberdayaan" mbak aris akan kelupaan akhirnya saya dan ema turun tangan menjadi bala bantuan supaya irama pagi itu sesuai birama yang sepatennya seperti halnya yang didendangkan oleh kuburan ban.
"C A minor.. D Minor ke G.. Ke C lagi... "

Ah sudahlah, kami lapar. Makan pagi yuwks.
Kembali kami berkumpul menikmati nasi goreng petai dan telor dadar serta sambal. Sederhana di antara kerumunan anggota keluarga pak Aldy dan tetangga-tetangganya.

Pukul 9 teng kamipun meninggalkan Desa Cibeo. Aldy menyertai kami dalam perjalanan 4 jam menuju Ciboleger. Tracknya lumayan seru, naik turun, panas dan kering. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya kami berenam saling bercerita dan bercanda juga mendapat informasi lebih dalam tentang kehidupan asli suku Baduy. Kami diperbolehkan mengambil beberapa foto saat kami sudah berada di kampung Baduy luar. Aldy rupaya cukup gaul untuk ukuran suku Baduy.
"Pak Aldy atap rumahnya terbuat dari daun ya? Apa namanya?" Tanya Ema.
"Daun Kirai." Jawabnya.
"Oh... kirai-kirai dalam perau???" Gariinggg.

"Berapa lama lagi pak sampai di Ciboleger?" Tanya kami.
"Kirai-kirai 2 jam lagi!" Halah.... bisa juga nih orang ngebalesnya.

Ciboleger kami capai pukul 1.30  siang dan mengantakan kami pada perpisahan dengan Aldy, salah satu cermin suku Baduy Dalam yang tulus menjadi tuan rumah bagi tamu-tamunya.

Hem, kami sudah ingin kembali lagi ke Baduy....

No comments:

Post a Comment