Wednesday, September 24, 2008

Jumpa Pertama (Chapter 2)


“Arung, masih ingat kan denganku? Jingga”
Jingga? Awalnya aku hanya tertegun melihat kedua mata sayu yang berusaha meyakinkanku bahwa aku pernah mengenalnya. Jingga? Seingatku selama beberapa kali menghabiskan malam bersama beberapa wanita yang aku sudah lupa berapa jumlahnya, tak satupun ada yang bernama Jingga.
“Ah… iya. Kau Jingga Prameswari yang asal Jogja itu bukan?” Dia menggeleng. Aku terdiam berusaha mengingat-ingat. Bukan apa-apa. Kasus penipuan sudah makin merajalela di ibu kota. Semua orang bisa sok kenal untuk mendapatkan secuil kekayaan. Termasuk menggunakan alat berbentuk manusia berkelamin perempuan untuk menarik simpati lawan jenisnya. Dan perempuan di hadapanku ini? Dimana aku mengenalnya? Mukanya merah, wajahnya tirus, Mata bulatnya terlihat lelah. Dan rambut sebahunya meneteskan hujan yang sudah menggenanginya semalam penuh itu. Aku masih belum ingin mengiyakan bahwa aku mengenalnya hingga akhirnya ia menyebut nama satu tempat yang sudah lama tak kusinggahi.

“Ranu Kumbolo. September 2003”

Ah. Itu dia, aku mengingatnya sebagai pelangi kala itu. Warnanya terlalu sedikit jika hanya menjadi Jingga, dia sangat berwarna warni, ya seperti selendang bidadari yang muncul sesudah hujan membasahi danau itu.
“Hai.. Jingga.. Apa kabar?” Aku tersenyum dan langsung mengambil alih beban 60 liter di pundaknya. Suara seraknya aku ingat, tapi wajahnya yang lebih tirus dari yang dulu, tentu saja membuatku tidak tau sama sekali bahwa ia adalah pelangi yang sempat membuatku terhenyak semalam suntuk. Dia jauh berbeda meskipun semangatnya itu masih terlihat di binar mata bulatnya nan ayu. Bagaimana mungkin aku melupakan dia. Si penunggu Kumbolo yang kukira hanya bagian dari halusinasiku sesudah terengah-engah mengitari jalan landai nan panjang selama 3 setengah jam dari Ranu Pane sendiri. Niatku ingin berjalan secepat mungkin menyusul gerombolan si berat yang sudah menungguku untuk summit di malam itu juga. 3 setengah jam berjalan sendiri tanpa kawan bercerita pastilah membuatku lelah sekali. Aku jadi teringat bahwa aku sempat mengambil beberapa gambarnya yang sedang asyik tiduran di bawah pohon di tepi danau Kumbolo dengan SLRku sebelum ia sadar. Beberapa hasil bidikan itu sempat aku taruh di dinding balik pintu lemariku sebagai sebuah pemandangan yang eye catchy tiap kali aku mencari CD dan mengambil kaos untuk berganti pakaian. Pemandangan wajah yang damai sambil terpejam seakan-akan ia menyatu dengan semilir angin, udara dan kabut siang di Kumbolo yang sering tiba-tiba berubah menjadi panas yang menyengat.

Kembali pada ingatan pemandangan indah di siang menjelang sore itu. Akhirnya aku batalkan niat untuk meneruskan perjalanan ke Kalimati menyusul teman-teman yang lain di perhentian terakhir menuju puncak mahameru. Sesungguhnya akan menjadi pendakian ke tujuhku bila aku mampu menaklukkan lagi pasir memuakkan yang panjang itu sebelum akhirnya kakiku akan mampun menyentuh kembali bebatuan kecil yang akan disemburkan tiap lima belas menit yang keluar dari jonggrang saloka dengan asapnya sangat seksi itu. Sudah tak sabar rasanya menunggu saat-saat menjemukan berperang melawan pasir-pasir itu.

Namun kenapa tiba-tiba kaki ini tertahan untuk tetap duduk di samping makhluk kecil yang wajahnya biasa saja tapi membuat aku tertarik itu?

Beberapa menit sesudah keadaan mencair, dengan lancar si pelangi penunggu ranu itu menceritakan bagaimana ia akhirnya berlari menuju Kumbolo itu seorang diri. Ia melakukan pendekatan kepada kelompokku yang akhirnya bersedia menyertakannya ikut dalam ekspedisi “kecil” mereka menuju Mahameru.

“Aku ngga akan sampai ke puncak kok. Mungkin sesudah Ranu Kumbolo aku akan berpisah dari kalian.” Katanya pada Tori yang kala itu menggantikan aku menjadi leader karena ketelatanku. Mungkin ketika mereka sedang melakukan dealing, aku baru turun dari pesawatku dan bersiap menuju Tumpang kemudian beralih dengan jip yang sudah Tori pesan untuk menungguku keesokan harinya. Aku kehilangan satu malam bersama mereka. Tapi cukup terbayar dengan apa yang kulihat. Pelangi itu mengenakan sweater merah maroon, sedang berlindung diantara semak empuk dan bersahabat di lipiran danau. Kumbolo kala itu panas sekaligus dingin tanpa ampun. Sehingga bingung rasanya harus ke mana mencari perlindungan. Pondok kecil rasanya sudah tak pantas untuk dia huni. Dan disana, di bawah pohon sebelah timur danau ia mengabadikan tiap tetes embun yang berjatuahan dalam tidurnya. Sendiri. Dia menguasainya. Dan aku seperti seorang tamu yang baru melangkahi danau romantis itu.

“Hai. Sendiri?” Tanyaku padanya yang sedang asyik merebahkan dirinya dan langsung kaget ketika mendengar hempasan tubuhku di atas rumput di sampingnya mengambil posisi duduk.
“Oh, hai. Aku kira tadi hanya langkah angin yang datang. Ternyata manusia.” Dia tersenyum renyah. “Tadinya aku bersama beberapa teman, tapi aku milih pisah.” Dia mengamatiku. “Tunggu. Jangan-jangan kau salah satu dari mereka, bukan?”

“Arung.” Aku ulurkan tangan sambil mengangguk, mengiyakan pertanyaan lewat lengkungan bibir pink-nya yang dibiarkan kering itu.
“Jingga.” Aku hanya tersenyum saja mendengar nama yang ternyata hampir senada warna bibirnya.

Masih di bawah pohon di pinggir danau Kumbolo, mengalir pelan tapi pasti kami bercerita banyak hal, tentang hidupnya, cita-citanya hingga makanan kegemarannya. Juga tentang kisah cintanya. Tiga batang rokok sudah habis kusedot dan Jingga masih saja berceloteh tentang keinginannya menembus Kumbolo sebelum hari itu tiba untuknya. Bawel juga nih perempuan. Tapi tidak membosankan sama sekali bahkan terkesan polos dan beruntun dalam tutur seraknya.

“Kahlil akan membawaku serta menghabiskan masa S2nya di Melbourne. Maka kuberkompromi dengannya bahwa aku akan mau diajaknya serta jika aku diijinkan ke Semeru. Setidaknya hanya ingin membuktikan bahwa di tanah Jawaku ini, memang ada tempat damai dan tenang seperti ini.” Kala itu mendung tiba-tiba datang begitu cepatnya. Dan kami tetap tenang menduduki rumput. “Dan ia setuju. Diberinya aku waktu tiga hari untuk ke sini. Minggu depan masa tunangan itu akan kami laksanakan.”
“Senang rasanya mendengar ada yang akan berbahagia.” Kataku. “Selamat ya.” Kataku mungkin agak terdengar sinis hingga Jingga tidak membalasnya ucapan selamat itu melainkan memandangku dengan tatapan anehnya.

“Arung! sudah habis berapa batang rokokmu dan kenapa tidak juga segera menyusul mereka? Mereka menitipkan pesan akan menunggumu hingga Kalimati. Setidaknya sebelum Maghrib kau sudah harus di sana bukan?”

“Keinginanku adalah raja dari langkahku. Jika aku ingin, aku pasti berjalan sekarang.”

Jingga:

Angkuh. Dia sangat angkuh. Rambut panjang sebahunya yang lurus itu membuatku ingin menyilakannya sejenak saja supaya aku bisa menikmati kekuatan wajahnya dengan jelas. Kahlil juga menyukai petualangan. Bahkan dia yang sering menceritakan keindahan tempat ini. Meskipun sudah sering dia keliling negeri lain, dan dia ingin sekali mengajakku ke sini. Namun minggu lalu ketika tiket kepulangannya ke Indonesia dia batalkan karena kesibukannya kuliah sambil bekerja itu, akhirnya ia melepaskan aku sendiri ke sini. “Jangan sampai kau terlena dengan tempat indah itu, Jingga.” Pesannya.

Aku cukup terlena dengan suasana di sini memang. Dan lebih terpikat ketika sosok seperti angin yang tanpa suara itu tiba-tiba membangunkanku dari mimpi sebentar di siang ini. Namanya Arung. Arung Samudera. Dan dia terlelap di dekatku sesudah menghabiskan beberapa batang rokok dan sandwich sederhana yang dia buat secara instan dan dibagikan separo untukku. Gawat. Ini sudah menjelang senja. Dan dia tidak bangun juga. Hari kian petang.
“Arung… “ Kubangunkan dengan bisikan pelan di telinga kirinya. Ketika ia terbangun, ia memutuskan untuk tidak menyusul mereka. Aku sudah yakinkan berkali-kali padanya aku akan baik-baik saja di Kumbolo dengan tenda soloku yang akan aku pasang sebentar lagi.

“Aku laki-laki dan tak akan mungkin meninggalkan perempuan seorang diri. Apalagi kau baru pertama kali di sini. Lagipula Mahameru akan menungguku kapanpun aku ingin ke sana” Sergahnya beranjak mencari posisi yang tepat untuk mendirikan tenda. Ketika protesku menyeruak atas pelecehan yang secara tidak langsung ia ucapkan. Ia berkata, “Bukan apa-apa Jingga, aku bingung kudu menjawab apa kalau pasir dan asap di atas sana nanti menanyaiku, “kau tinggalkan di mana pelangi penunggu ranu yang kau temui di Kumbolo tadi itu?””

Tawaku kembali menyeruak. Dia sudah menemukan celah untuk membuatku tertawa selain tertegun dengan cerita-cerita petualangannya di alam ataupun di dunia nyata bersama setiap perempuan yang rela menunggu giliran untuk mendapat kesempatan memenangkan hatinya. Tapi sempat pula aku tersanjung oleh kata-kata manisnya senja itu. Tidak salah jika para perempuan itu takhluk dengan komparasi cerita antara alam dan keindahan dirinya sendiri yang sengaja diucapkan oleh suara seksinya itu. Masih sempat ia menambahkan kata-kata itu“Kamu bukan Jingga, tapi kamu pelangi. Karena kenyataannya warnamu bukan hanya Jingga di mataku.”
Matanya mentapku lekat, sekilas tapi merasuki tubuhku dan menimbulkan getar tersendiri di tiap inci syaraf-syaraf halus dadaku. Bahkan Kahlil tak pernah sedemikian indah menggambarkan siapa diriku.

Arung:
Senja beranjak malam. Purnama kembali menyeruak sesudah malam kemarin mengantarkan jeep yang aku sewa itu menapaki Ranu Pani.
Ranu Kumbolo sangat dingin malam itu. Beberapa cangkir teh yang ia buat juga seakan tidak bisa berkompromi lama untuk menghangatkan tubuh. Dalam tenda yang mampu menampung nyala api kompor itu, Jingga menyibukkan diri untuk berkali-kali menghangatkan air.
Terkadang dengan jelas dapat kucium harum rambut sebahunya yang menyibak dengan acuhnya menghalangi pipi halusnya. Dia tetap sibuk di sana.

Awalnya kukira ia baik-baik saja. Namun ketika ia tiba-tiba terdiam beberapa saat dan mulai melepaskan satu persatu jaket polar yang tadi sempat kuberi untuk dia kenakan. Lalu ia mulai akan melepas kaosnya, aku langsung menyalak, “Kamu mau ngapain?” aku kaget mencegahnya melakukan tarian striptease kecil di dalam tenda. Sempat aku bertanya dalam hati tentang maksud perempuan yang ada di depanku ini. “Aku kepanasan. Ini di mana?” Sergahnya. Tanganku mengarah memegang erat jemarinya. Dingin sekali! Dan ia bilang kepanasan? Di tempat yang sangat dingin ini? "Ini di mana sih panas sekali.... " Hypotermia! Ini gejalanya! Kukeluarkan sleeping bagku, ketika kubimbing ia masuk ke dalamnya, jelas tersengat aroma lavendernya. Benar-benar wangi. Ah setan apa yang merasukiku. Aku harus membuatnya hangat. Agak tenang. Segera kumasukkan air panas itu dalam botol dan kuberikan padanya yang terbaring lemah disampingku. Terkadang menggigil terkadang merasa kepanasan.
“Jingga... Ini, letakkan di atas perutmu, supaya kamu lebih hangat. Pegang dengan kedua tanganmu”

Dia terdiam. “Jangan tidur ya. Cerita lagi dong… Oh iya, siapa calon tunangan kamu tadi namanya? Kahlil ya? Kahlil siapa? Kahlil Gibran? Seberapa hebat dia sampai bisa menaklukanmu? Ga nyangka, cewe seperti mu bisa takluk juga ma cowo..” Berhasil. Jingga agak sedikit tenang dan menimpali semua perkataanku. Dia sudah mulai mendapat orientasinya kembali. Namun aku tetap saja bicara tanpa henti untuk membuatnya tetap tersadar. Hingga entah kerasukan panah birahi dari mana hingga akhirnya terlontar ucapan itu.
“I feel very cold. Warm me, please..” Mungkin tangannya sudah mati rasa hingga akhirnya botol berisi air panas itu sudah tak dapat lagi menanggulangi masalahnya. Matanya sayu. Bibirnya bergetar, keduanya tampak pucat.
Kumasukkan tubuhku ke dalam sleeping bagku yang agak lebar itu, mendampingi tubuh mungilnya di dalamnya terpekur dan menggigil, matanya memohon.
“Sorry Jingga… Gue peluk ya?” Dia hanya mengangguk sambil bergemetar.

Jingga:
Dan tubuhnya merengkuhku dengan sekuat tenaga berusaha menyalurkan hangat yang dia punya. Terkadang kurasakan tangannya membelai rambutku, belaian yang belum pernah aku rasa sama sekali dari Kahlil, belaian lembut yang kuminta, And suddenly we kissed, a prolonged kiss. Awalnya hanya sekali. Namun aku terlalu hanyut. Aku memintanya lagi dan dia memberikannya lagi dan berulang-ulang …

Arung:
Mungkin purnama kala itu sudah benar-benar bulat, entahlah kami kurang paham. Mungkin ia menikmati pula suasana romantis dalam tenda kecil kami. Seusai pelukan hangat dan pertemuan bibir kami yang saling mengait cukup lama itu menyatu dan suhu badannya kembali normal, aku berbisik pelan, “ how lucky Kahlil, yah..” Tiba-tiba ia berhenti, melihatku seakan terpana, kemudian memegang kedua bibirnya yang terkatup itu dengan tangan kanannya. Seraut tatapan penyesalan akan apa yang baru saja ia lakukan. Mukanya tiba-tiba kosong menatapku. Kemudian menggigit bibirnya sendiri.

“You are not, Kahlil! ” Katanya sambil memalingkan muka.
Iapun menyudahinya saat purnama sudah benar-benar tegak lurus dengan kami. Masih terekam kuat bagaimana kami tiba-tiba diam dan tak lagi bercerita tentang masa lalu dan masa yang akan kami hadapi. Bagaimana kami menyilangkan lengan di bahu kami masing-masing dan merapatkan pelukan dengan kaki yang kami lipat erat sambil duduk. Kulihat rambut sebahunya. Tak mengarah lagi padaku begitupun mataku padanya mencoba menghindar walaupan apa yang terjadi barusan di luar kendali, yang kutau adalah ciuman super dahsyat yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, bahkan sampai sekarangpun aku sering teringat tentang bibir lembutnya, merasakan bagaimana rambut sebahunya menyibak dan menggelitik leherku sesaat. Dan Ranu Kumbolo terasa seperti salju di antartika. Kadang kupikir dia memang melakukan itu semua untuk menggodaku dengan penyataan lucunya. “Kamu jangan aneh-aneh ya… We did it not on purpose.” Diucapkannya di sela-sela masa bibir kami bertemu. Dan ketika ia berbaring lagi di dalam sleeping bagku, aku memilih keluar dari kantung tidur yang sebernarnya masih tersisa untukku. “I’m sorry…” Kuucapkan padanya sambil menutupkan rapat-rapat resleting dan menempatkan posisi tidurnya supaya nyaman. “Good Night..”
Dan dekapan erat di lengan yang tiba-tiba itu, ia ajukan sebagai permintaan bahwa ia tak ingin sendiri. Tangannya menggenggamku memintaku supaya menempati posisi yang aku tinggalkan di dalam kantong tidur itu.

“Kalau aku masuk akan terjadi hal yang lebih. Dan kau akan lebih menyesal sesudahnya.” Ucapku sambil menatapnya. Tanganku tak lepas juga dari genggamannya.
“Just stay next to me, and hug me. Not more than that..”
Dan Jingga makin merapatkan tubuh mungilnya sambil menggigil. Aku hanya bisa menikmati pemandangan indah yang baru tadi siang aku temui sekarang sudah tergolek pasrah meminta sebuah kehangatan di balik es dingin Kumbolo yang malam itu makin deras menyerbu udara di rumputnya yang lembab.

Esoknya sebelum berkemas pulang, kulontarkan satu pertanyaan kecil yang selalu aku lemparkan pada semua perempuan-perempuan itu setelah kenakalan kecil seperti itu, atau bahkan lebih, terjadi.
“Apakah kejadian semalam akan kau anggap sebagai hal yang penting dan menuntut?“ Tanyaku padanya.
“Tenang aja, aku bukan tipe penuntut seperti fansmu yang lain. I know exactly how and to whom I should commite my heart.” Dan dia berlalu dan berhenti sesaat menoleh padaku. “With you? I guess not” sangat simpul senyumnya.

Aku juga ingat sekali bagaimana dia menegaskan ulang pernyataannya tadi ketika kami akhirnya bersama-sama turun menuju pos pendakian, sangat di luar dugaan. “Remember, I’m not one of them!”
Kata-kata itu selalu terngiang di telingaku, hanya dia satu-satunya perempuan yang tidak mau disejajarkan dengan perempuan-perempuanku yang lain.

Dan pagi itu, ia meminta perlindungan dengan muka basahnya akibat hujan yang dilalui semalam. Tidak adanya angkutan dan nomer telponku membuatnya harus berlari dan gambling mencari alamat yang sempat kuberikan padanya.

“Ini Jingga… alamatku, kalau sempat tersesat di sekitar monas, dan kamu ga tau harus berlari ke mana. Lihatlah bintang atau purnama jika sempat bertemu pelangi bertanyalah padanya harus kemana langkah mu tertuju. Bintang pasti membuatmu ingat 1 hal kalau kamu punya teman yang tinggal di satu gubug di sudut kota. Keluarkan dompetmu dan ambil kertas kecilku ini. lalu larilah padaku…”
Perempuan paling nekat yang kutau. Dari rimba belantara di ujung pulau jawa dia berani ke satu tempat asing ini? Beberapa saat setelah mengeringkan rambut dan tubuh basahnya, ia mengabariku bahwa pertunangan itu ia batalkan 3 hari menjelang hari H! 3 hari sesudah kisah singkat di Ranu Kumbolo itu terjadi.

(Bersambung...)

11 comments:

  1. nice writings as always...
    knapa ngga bikin buku aja San...

    ReplyDelete
  2. its a lovely story dear!!
    love you more and more

    ReplyDelete
  3. hhmm.....ga ada matinya susan neh
    nice sis......mmuuaacchh

    ReplyDelete
  4. ayooo terus nulis...
    nanti tak save jadi beberapa file, lumayan buat pengantar tidur ato jadi bacaan buat nemenin naik kereta "Senja Bengawan"

    ReplyDelete
  5. menarik gaya tulisannya bahkan isinya...
    berbakat nih jadi penulis handal....

    ReplyDelete
  6. baru setengah... lanjut lagi nanti....

    ReplyDelete
  7. mana lanjutannya.... tanggung neh.....
    uh... merinding...i love you juga..

    hiks, bakal ngerasa kehilangan banget nih,
    jika jingga itu kembali bermain disekitar monas...
    pelangi ranu kumbolo itu tersisa dalam sebuah kisah ini.
    dan halaman-halaman ini yang akan mengobati rinduku..

    take care, ati2 jangan manjat-manjat monas ya .. ;)

    ReplyDelete
  8. puisinya panjang banget yaaa......
    jadi pingin baca lanjutannya

    ReplyDelete
  9. aku baca lagi... dan masih menanti sambunganya.

    ReplyDelete