Wednesday, May 26, 2010

Sumbing in Silent

Di awal perjalanan di bawah bulan purnama Ema mengutip kata-kata yang dia dapat dari milis Kisunda. Kira-kira begini kata-katanya “Terkadang jalan yang lurus-lurus saja itu bukanlah jalan yang indah. Coba berbelok sedikit, pasti akan lebih berwarna.” Dan kamipun berbelok ke kanan ke arah jalan yang antah berantah....

Mungkin itu adalah doa kecil yang didengar para bidadari dan pelantun malam yang tak kasat mata di sekeliling kami. Sehingga meskipun beberapa kali saya bertanya pada ketiga lelaki yang mendampingi kami, puncak gunung itu takk juga terlihat.
Itu adalah malam pertama kami memulai perjalanan dan mendirikan tenda somewhere only we know...

"Wondo, kok ga ketemu Pestan? "
"Lend, mana watu kotaknya? Yang itu puncak bukan sih?" Saya dan Ema berkali-kali bertanya tentang tempat tempat terkenal di seputaran Sumbing yang baru saya dengar setelah dijelaskan Lendi semalam. Dan sekali lagi jawabannya tidak menggembirakan, "bukan mbak... itu lo puncaknya di balik bukit yang itu." Jawabnya.

Lambat laun kami sadar, ini bukan jalur yang dikehendaki. Semak-semaknya terlalu tinggi dan ada punggungan panjang di samping kiri kita yang kelihatannya lebih bagus dan tidak serapat ini.

"Woiiiiiiii Salah.. salah jalurrr..." Kata suara di seberang kami. saat kami berlima berleha-leha menikmati semilir lembah di balik pohon sambil memasak makan siang di istirahat siang itu. Itu adalah hari kedua kami. Seharusnya tidak lebih dari ini. Seharusnya siang kedua itu kami sudah meraih puncak Sumbing sesuai jadwal yang sudah kami perkirakan beberapa hari sebelumnya dan nanti malam sudah menuju Sindoro.
Bukan malah diantara bukui-bukit berangin dan semak tinggi macam ini.

Satu waktu Wondo bertanya ke saya tentang sekelebatan sosok yang saya lihat turun di hari pertama kami mendirikan tenda.
"Sue, kok gak kamu panggil saja orangnya dan tanya jalur yang benar?"
"Hehehe... kirain kalian melihat. makanya aku diam saja."
Hemm ternyata pagi itu tak satupun diantara mereka tau bahwa ada yang begitu cepatnya lewat menurun saat kami sibuk menggoreng mendoan. Mungkin ia ingin mengisyaratkan bahwa kami salah jalur.
Namun kentang. kami menganggap perjalanan sudah lebih dari separoh dan nanggung sekali untuk kembali.
Di atas semak semak luas antah berantah itu saya merasakan kantuk, lapar dan haus tapi tetap menikmati perjalanan itu. Wondo tak henti-hentinya menghibur hati dua perempuan nyasar ini dengan lagu-lagu parodi yang khusus dia persembahkan di perjalanan panjang kami menuju puncak Sumbing yang tak sampai-sampai itu.

Hari kedua kami harus mendirikan tenda lagi karena hujan mulai mengguyur dan hari sudah menjelang malam. Berlima kami keruntelan lagi dalam tenda yang sedikit over capacity tersebut, di balik tebing (again) somewhere only we might know dan masih di seputaran sumbing dan sekitarnya....

Keesokannya, subuh kami bergegas lagi melanjutkan perjalanan. Puncak sumbing dan hanya puncak sumbing. Headlamp sudah digunakan untuk summit attack.
"Hem syukurlah sudah hampir di puncak, pasti bisa dapat sunrise." saya membayangkan sunrise seperti di Mahameru. Dan ah saya berjalan giat sekali. Bahkan beberapa kali ema meminta saya menunggu, saya agak sedikit congkak berkata, "puncaknya udah dekat ceu... sebentar lagi sunrise... ayo... "
Dan ternyata sodara sodara sepersumbingan... sampai headlampkami sudah saling dimatikan, dan matahari sudah mulai mebayang-bayangi bukit besar di sekitar kami, Puncaknya masih jauah di mato.

Jauh sekali. bahkan belum terlihat dengan jelas. Yang jelas hanya tanah gembur yang kami injak dan sebuah tebing yang kami kira puncak, dan di samping kiri kami jauh di sana adalah jalur yang asli.
Sejak itu kira-kira 275% lebih kami yakin kami menapaki jalur dummy alias palsu. Sempat kami berlima berhenti saking capenya menerjal dan ngos ngosan dengan kekurangan air dan hanya bisa saling melihat satu sama lain sambil kadang tersenyum tidak mesra.

"Wondo... aku haus dan lapar." menurut mereka saya pucat. Tapi kurang jelas pucat pasi atau makin putih kulitnya karena di tempat yang dingin gini gosipnya seseorang makin terlihat putih. Jadi ucapan mereka membuat saya terhibur (sedikit) karena itu menandakan saya jadi agak putihan ketika naik ke Sumbing. (beuhhhh mulai rasis oriented!)


Hanya ada susu dan roti tawar, wondo mengeluarkan sisa sisa makanan di dalam kerilnya. Tidak membuat enak malah eneg tapi disyukuri lah, setidaknya usus 12 jari saya tidak bawel bawel sekali karena tidak ada kerjaan sepanjang pagi hingga siang itu.

Kira-kira pukul 10 pagi kami menemukan tebing tingi yang masih basah. (tuh kan bener-bener gak kebagian sunrise) Ketiga laki-laki kami berinisiatif menampung tetesan air dari tebing supaya bisa kami minum dan membiarkan saya dan Ema menjalani ritual kami, menjadi fotografer dan model tetapnya.
Lalu sampai tertidur sejenak menunggui air supaya botol kami terisi lalu melanjutkan perjalanan kembali.
Hampir satu jam kami menanjak lagi disertai adegan-adegan film India (bernyanyi dan bergandengan tangan, minus tarian) saking lelahnya mencapai puncak Sumbing dengan energi yang sumbang.
Akhirnya tepat pukul 12 kami bersama-sama di Puncak dengan pemandangan bluesky (bukan merk hair-dryer neeh) dan kawah Sumbing . Hanya ada tomat dan beberapa batang cokelat yang menemani kami di puncak tapi kami puas.

Kemudian kamipun bersorak sedikit mesra ketika di perjalanan turun kami menemukan air di dekat Pestan dan tetap ditemani Wondo dengan lagu-lagu Parodi buatannya...

Ah tiga hari yang menyenangkan bersama kalian... Wondo, Lendi, Asep dan my beloved sista Ema.
Meskipun sok silen (baca si-len) dan nyasar, toh kitapun nyampe puncak Sumbing and went down happily ever after.....

2 comments: