Thursday, August 19, 2010

Berbagi Cerita dan Cinta di Sumba : Ini, kita di Sumba tho?!!

Ini mimpi. Saya beberapa kali berucap demikian pada seorang kawan. Waktu masih berada di banku kuliah dan mengambil mata kuliah MKI (Manusia dan Kebudayaan Indonesia) secara acak saya mendapat tugas presentasi makalah tentang budaya penguburan Sumba. Saya pontang panting mencari referensi karena saat itu internet belum segahar sekarang yang dengan mudah memberi kita berbagai ulasan tentang kata kata yang kita ketik di mesin pencari informasi. Kemudian sesudah menemukan data datanya saya hanya bisa membayangkan saja seperti apa Sumba, seperti apa kuburan yang dimaksud, seperti apa kepercayaan Marapu yang mereka anut, seperti apa mereka .. orang orang Sumba. Saya hanya bisa tertarik saja dan mengingat apa saja yang terjadi saat pemakaman dilakukan.

Sebelum berangkat, ibu korlap mendapat info akan adanya upacara pamakaman di desa sebelah sehingga kita bisa melihatnya juga jika mau. Saya berbinar binar dan makin semangat untuk berangkat. Saya berbinar meskipun saya belum tau tentang desa sebelah itu sejauh apa. 


Tanggal 28 Juli pagi buta saya dan kawan kawan yang jumlahnya sekitar 17 orang itu bersama sama terbang ke Sumba dengan rute Jakarta-Kupang-Waingapu dan dilanjutkan dengan truk menuju Ngadulanggi. Dari balik jendala kecil disamping tempat kami duduk di atas pesawat mata ini sudah terkagum kagum dengan pemandangan daratan di Sumba yang terlihat dari udara. Pasir putih yang memisahkan laut hijau-biru dan pulaunya, daratan yang saling menggelembung membentuk bukit bukit berwarna cokelat dari udara membuat saya melupakan rasa takut untuk menengok ke bawah. Saya hanya bisa melihat sambil berdecak kagum tentang betapa kayanya negeriku yang mengandung ranah beranak pinak yang berbeda satu dengan yang lainnya dan tanah dibawah pesawat ini adalah contohnya. Jadi kenapa harus ribut mengurus paspor dan berburu tiket pergi ke negeri tetangga jika pulau pulau di negara kita saja belum sempat kita singgahi seluruhnya. Oh iya saya lupa, sebagian menganggap kalau pernah pergi ke Singapore atau ke Malaysia atau ke Vietnam dan lain lain itu lebih keren daripada ke Sumba, ke Rote, ke Kupang dan lain lain yang berbau Indonesia. 

Sesampai di Waingapu kami disambut oleh Adipapa, Yubi dan Umbu Angga, koordinator di Waingapu dan Ngadulanggi. Juga Om CT dan Nikk yang sudah tiba dahulu di sana. Sebagai penyambutan, Dr Dani dokter di RS di Waingapu menyambut kami dengan makan siang bersama di Rumah sakit. Terima kasih dokter :)

Untuk memasuki Desa Ngadulanggi ternyata tidak muda. Kami membutuhkan 4-5 jam lamanya dari Waingapu. Kira kira pukul 6.30 malam kami mendengar suara keramaian dari alat musik gong dan kentongan yang bercampur dengan suara orang orang yang saling bersahutan sebagai tanda menyambut kami. Truk yang kami tumpangi tidak berhasil melewati sungai kecil saking banyaknya batu batu di sekitar sungai dan menyebabkan kami berjalan sendiri menuju desa. 

"Kita akan tidur di ruang kelas SD Ngadulanggi, ingat!" Kata Tyty, kordinator lapangan yang tak henti hentinya bicara dari awal acara dimulai sampai akhir.

Tari tarian selamat datang yang ditampilkan wanita wanita Ngadulanggi makin membuat suasana malam makin ramai, mereka mempersilahkan kami duduk di banku banku sederhana di bawah tenda terpal yang sudah mereka siapkan untuk kami. Tak lupa kehadiran pinang yang mereka suguhkan sebagai sambutan. "Ayo, silahkan dimakan. ini adat kami untuk menyambut tamu." Seloroh seorang wanita dengan logat Sumba yang sedari tadi mengikuti saya, nantinya saya baru tahu bahwa itu adalah istri kepala sekolah SD Ngadulanggi. Sayapun sempat mencicipi. Rasanya sepet. Tapi tetap saya makan karena rasanya aneh dan tidak bisa diungkapkan. Pinang di adat Sumba adalah jamuan kebesaran tuan rumah untuk tamunya.

Pendudukpun bergotong royong membantu kami mengangkuti berkardus kardus barang kiriman yang mengendap di rumah Kepala Desa untuk kami olah dan tata sesuai rencana. 

Nantinya saya makin mantab mengatakan kalau desa ini memang pantas menerima sumbangan dari 1n3b karena sesuai dengan misi komunitas ini "pendidikan semestinya bebas sekat geografis, suku, agama, ras, dan golongan sosial". Desa ini memang sulit dijangkau

 

Woka Ngiapaajar, Acara Sains dan Pelayanan Kesehatan

Nama Woka Ngiapaajar kami sematkan sebagai nama Rumah Baca yang kami buat di sana, desa yang berada di tanah yang cukup nyempil di tanah Sumba Timur. Jika diartikan, Woka Ngiapaajar artinya kebun/ladang untuk belajar.

Pagi pertama itu saya dibantu seorang teman bernama Liberina akhirnya berkutat dengan buku-buku yang sudah kami pesiapkan di Jakarta. Kami berdua banyak berhubungan dengan Bapak Sam, si Kepala Sekolah SD Ngadulanggi. Salah satu guru honorer di sana bernama Nona, akhirnya saya comot untuk kami ajari bagaimana cara kerja di rumah baca nantinya. Dari mulai mengkategorikan jenis buku, label dan mengimput buku ke dalam buku induk. Kegiatan di rumah baca ini menarik guru guru lainnya sehingga mereka ikut membantu Nona. Begitu juga dengan Bapak pendeta yang dengan senang hati membantu memberi stempel Woka Ngiapaajar di semua buku. Saya merasa kagum dengan hasil kerja para penduduk di sana yang bersama sama membuat salah satu rak buku dari bambu untuk menyusun buku-buku yang kami taruh di sana. Saya suka sekali dengan bentuk rak-nya, meskipun masih kasar setidaknya mereka bisa membuat rak buku dengan memanfaatkan bahan di sekitar desa. 

Hari pertama itu juga rumah baca Woka Ngiapaajar diresmihkan oleh Bapak Camat yang sekaligus membuka acara tersebut dengan sambutan "super funky" dan membuat saya tertawa tiap kali mendengarnya. 

Total buku sumbangan kami adalah 1314 buku, 262 majalah dan komik serta 732 eksemplar LKS yang kami sumbangkan untuk mengisi 2 rak di Woka Ngiapaajar. Kedua rak memang masih belum menampung semua buku yang kami berikan dan Pak Sam berkomitmen akan menyusun semua buku buku yang belum tertampung tersebut nantinya supaya lebih rapi. 

 

 

Di luar sana, suasana makin ramai dengan kehadiran teman teman desa tetangga yang juga diundang dalam acara bagi buku bagi ilmu bagi anak Negeri ini. Desa tersebut bernama Desa Pulupanjang yang datang dengan dijemput oleh truk yang sudah kami booking selama tiga hari penuh tersebut. Maklum di sini satu desa dengan yang lain terpisah oleh puluhan bukit yang jika ditempuh dengan berjalan kaki maka akan menyulitkan mereka di perjalanan. Sehingga kami memutuskan untuk mengantar jemput dan menyediakan makan siang untuk mereka yang berobat ataupun anak anak yang mengikuti permainan sains. Ini juga yang menjadi pertimbangan saya untuk tidak bertanya apakah kita bisa melihat acara pemakaman yang dimaksud? karena tentu saja waktunya tak akan memungkinkan. Hemmm menginjak tanah ini saja sudah seperti keajaiban buat saya.

Senyum bahagia di tengah terik matahari Ngadulanggi rasanya tidak menyurutkan kami untuk tetap menggelar permainan di lapangan yang letaknya di atas lembah dengan bukit bukit di keliling kami ditambah dengan muka muka ceria kawan kawan kecil yang begitu semangat dan kadang dengan usaha keras memahami bahasa Indonesia kami. Bahkan untuk memulai acara mendongeng yang digelar oleh Ijul dan Itingpun, kami membutuhkan bantuan guru guru di sana untuk mendampingi mereka supaya mengerti benar maksud cerita yang sedang mereka tonton.

Di dekat pos kesehatan, orang orang dengan wajah khas Sumba datang dengan mengenakan baju dan perlengkapan adat mereka juga terlihat antusias mendaftarkan diri ke pendaftaran dan menunggu giliran untuk dipanggil konsultasi dengan kedua dokter yang tiada sedikitpun terlihat mengeluh tersebut. Pak Kades yang akhirnyabeken dengan nama Pak Keds pun sibuk berseliweran mengatur penduduknya mengikuti acara serta dengan sigap membantu kedua dokter yang harus mentransferkan maksud mereka kepada pasien pasien.

Semua murid murid termasuk murid SD dan SMP Pulupanjang yang kami undang juga mendapatkan tas dan peralatan tulis sama dengan SD Ngadulanggi. Total orang yang kami undang kira kira 400 murid dan 700 orang untuk pelayanan kesehatan.


Pada hari H Divisi tim Rumba memang tidak sesibuk ketika mempersiapkan buku di Jakarta, sehingga kami bisa dengan leluasa menjadi bunglon untuk membantu kegiatan lain yang dilakukan oleh divisi lain mulai dari menjadi mentor dadakan, ataupun menjadi pelayan di apotek serta memberi penjelesan tentang cara mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan. Semua bekerja dengan gembira. Tak terkecuali saat tim sains melibatkan tim Rumba ketika acara mencari harta karun di rumah baca. "Hey, jangan kalian acak acak bukunya. Kalau sudah kalian kembalikan pada posisi semula!" Kata Pak Sam kepada murid muridnya yang mengikuti acara mencari harta karun tersebut. Nadanya mengeras dan siapa saja pasti menyangka Pak Sam marah. Padahal memang seperti itu cara mereka berkomunikasi. Rumah tinggal yang saling berjauhan diantara bukit bukit itu memang membuat mereka harus berkomunikasi dengan sekeras kerasnya supaya mereka saling mendengar dan itu sudah menjadi kebiasaan.

Malam harinya kami mengadakan nobar (nonton bareng) di lapangan. Laskar pelangi, Garuda di dadaku, Danias serta beberapa film dokumenter menjadi hiburan buat mereka. "Selama ini kami hanya menonton film saat menjelang Paskah atau Natal. Itu juga filmnya sama terus. Kami senang ada film lain seperti ini bagus." Ucap Nona yang mampir ke markas tempat kami beristirahat. 

Sementara ibu Sita sibuk membuat kamus mini Bahasa Sumba yang diperoleh dari sumber sumber lain yang mampir ke tempat kami malam itu, Kamipun sibuk menghangatkan diri dengan kopi dan perbincangan perbincangan akrab dengan Pak Keds, Pak Sam dan saudara saudara lain karena keesokannya kami harus sudah meninggalkan Sumba dan kembali di kota dengan peradaban modern.

 

Hal lain yang membuat saya terheran heran adalah betapa nyenyaknya saya tertidur di atas susunan meja meja yang ditata sedemikian rupa untuk alas kami tidur dengan berselimut sleeping bag. Mungkin suasana lembah di SD Ngadulanggi yang terasa panas di siang namun sangat dingin dan menyegarkan saat kami berada di bawah pohon atau shelter seperti ruang kelas ini - apalagi jika malam datang- membuat tubuh saya mudah sekali menyerah untuk terlelap.  

Malam itu adalah malam ketiga kami tidur bersama di Ngadulanggi sementara beberapa orang sudah beranjak pulang dahulu dan esoknya kami sudah harus pergi. 


Esoknya... sesudah packing kamipun harus berpamitan dengan semua warga. 

Ada rasa sesak menyapa di dada.. ntah apa itu. 

 

Ah, Ngadulanggi... Kadang saya berpikir kepergian saya  ke sana hanya mimpi karena akhirnya saya mampu menjangkau tanah marapu yang jauh sekali dari jangkauan ini. 

Teman teman kecil, kiranya kalian harusnya mendapat ilmu yang sama dengan kami, kudunya kalian mendapat perhatian yang lebih dari sekedar ruang ruang kelas usang dan jauhnya langkah kalian menaik turuni bukit bukit untuk mendapatkan ilmu seriap harinya. Harusnya kalian bisa mendapatkan ilmu lebih jika mereka yang di atas atas itu menyediakan fasilitas yang lebih untuk kalian, sehingga kalian tidak hanya akan menjadi petani pinang, atau hanya menunggu untuk siap siap dibelis  bagi adik adik perempuanku.

Apa yang kami tinggalkan di sana semoga berguna mengantarkan kalian melihat dunia luar yang lain yang belum pernah kalian dengar sekalipun...


Sampai jumpa kawan..


Sampai jumpa Ngadulanggi...


Sampai jumpa Sumba... 


3 comments:

  1. Hmmm, gak sia sia ku didik kau dari kecil mula Sue, akhirnya ada juga yang kau lakukan untuk negeri ini

    ReplyDelete