Sunday, June 8, 2008

Langkah kecil ke Mahameru

Bembeng menyuruhku menutup mata lalu menggandeng tanganku dan memintaku berjalan perlahan ketika beberapa langkahku bersiap menapaki area savanna kecil di antara cemoro kandang dengan Kalimati.
Sepertinya mirip seorang kekasih yang ingin memberi kejutan hadiah waktu anniversary atau semacamnya ke pasangannya.
Aku bertanya GR. “Mau ngasih kue tart ya mas?”
Bembeng tidak menjawab melainkan masih menuntuku pelan sakan-akan akan memberi kejutan lebih besar dari hanya sekedar kue tart. Mungkinkah itu mobil... Apa emas batangan sekilo? Ga mungkin!! Apa mungkin penghasilan mbeng langsung diwujudkan dalam bentuk maskawin saat itu juga?
Hem… atau mungkin mbeng sudah menyiapkan laki-laki tampan semacam Nicholas Syahputra, masih single, setia, petualang sejati dengan carier di pundaknya berdiri merentangkan tangan bersiap-siap menyambutku sambil membawa bunga edelwis untukku di tangan kanannya?– ini impian perempuan jomblo yang lama medag jaya buanget deh.
“Oke San, sekarang buka matamu.”
Aku menjerit takjub, kaget dan tidak percaya bahwa lukisan itu ada di depanku.
Gunung mengerucut dengan asap di atasnya yang menyembur-nyembur indah tanpa ampun dengan dentuman-dentuman mesra menyambut langkah pertamaku menuju kakinya..
Sesudah menjerit kaget aku terdiam dan bertanya “Itu apa mas?”
“Gunung!” sambil menyalakan batang rokok dan membaginya bersama Mr. Sugianto (porter tercinta kami)
“Mahameru namanya.” Lanjutnya
Dan ini adalah langkah pertamaku menuju padanya.

Agustus ini Kalimati sangat-sangat dingin plus panas di siang hari. Tangan-tangan kami benar-benar mati untuk memasak waktu malam tiba. Tak berani tidur di tenda karena dingin, kami berlima (aku, Miss Ary, Bembeng, Sigit serta Sugianto makan malam sambil menghangatkan diri.
Tak ada yang ngecamp di sana selain kami dan 2 orang dari Bromo Tengger yang naik karena mau bersemedi di sana.

Di batas akhir Archapada………….
Sesudah berpijak dengan rantai di kanan kiri, aku sudah tak memiliki bantuan lagi untuk menahan langkahku menyusuri jalan berpasir itu.
“Mas… pegangannya di mana lagi?”
“Heh????? Ga onok, San!” (Ngga Ada!)
Aku melongo tanda tak mampu. Mengikuti Bembeng dan Ms. Ary yang kala itu masih ada di sampingku. Lama-lama mereka berjalan menjauh. Aku jatuh bangun sendiri begitu juga ketiga orang itu. Mbeng, Miss Ary, Sigit saling berkejaran. Aku bingung melihat gunung ini. Dalam hati sempat berpikir, kok ya mau naik gunung kalau disiksa secara nista macam ini. Sempat pula dalam kelelahan kami shoot foto dan mengambil video untuk direkam. Sunrise menemani perjalanan 2 up 3 down atau 3 up 5 down itu.
Sumpah ga sampai-sampai!
Entah sampai kapan perjalanan ini akan berakhir.
Berkali-kali aku menoleh ke belakang. Melihat gumpalan awan putih bagai lautan itu, atau menoleh ke arah timur, melihat srengenge (matahari) yang baru terbit dengan cakrawala warna jingga yang menggaris bagaikan pembatas antara bumi dan langit itu. Padanya tak henti-henti aku berucap Subhanallah, Allahu Akbar diantara napas yang tersengal-sengal menahan lelah dan stress melewati pasir-pasir itu.

Sesudah melintasi cemoro tunggal sejam yang lalu….

“Ayo San.. kurang dikit San… “ Aku memotivasi diri sendiri.
Namun sayang beribu sayang aku lelah… lapar..
Berhenti menikmati semilir angin dan melepas lelah serta penat.

Aku terbayang rawon di warung budeku di Malang, atau soto daging khas Malang yang sedap pakai koya kelapa plus babat goreng, minumnya fanta or sprite. Wah keknya aku harus cepat naik biar sore ini bisa segera turun ke ranupane dan langsung bablas ke Malang terus makan soto or rawon (meskipun aku ga terlalu suka karena post-effect sesudah makan rawon, tapi keknya lebih enak makan rawon daripada prusutan di pasir ini) sesudahnya aku akan tidur. Lalu besok paginya ke pasar Blimbing beli tempe kacang digoreng pakai tepung terus di makan anget-anget. Enaknya… Pasti ga akan terasa lagi siksaan ini.

Itulah isi otakku ketika sesaat malas menuju pucak. Otak berisi bayangan makanan-makanan enak itu menemaniku sampai 200 meter menuju puncak mengakibatkan aku lapar beneran. Aku memilih diam saat lelah menyerangku habis-habisan. Sudah tak ingin melangkah lagi pada puncaknya. Kulihat Ms. Ary dan Mbeng dah jauh hampir sampai ke puncak. Sigit beberapa meter di belakangku dan juga ogah-ogahan menuju puncak.
Sudah tak kuat, mataku berkunang-kunang, semua terasa gelap dan aku memilih menjatuhkan diriku di atas lautan pasir itu.
Murmuring, I said, “I can’t stand. Aku ga mau ke puncak.. aku ga mau.. aku mau turun..” sambil menangis sedih sendiri.
Dan menutup mata sampai lelah berbicara sambil menangis. Sigit menggeretku mengabarkan bahwa dia juga ga akan muncak karena sepertinya ia ga sanggup. It was his first trip too.
Aku dah no reken him waktu sadar. Beberapa menit kemudian aku keluarkan sebatang cokelat sambil mengusap air mata. Kukunyah sambil duduk di bawah matahari yang makin menyengat. It’s 8.40 a.m.
Melihat bawah dan awan-awan putih perlahan-lahan menghilang aku melihat ke bawah. Cukup jauh juga langkah ini. lebih kurang 100 meter lagi menuju puncak. Apakah akan sampai di sini saja langkahku?
...........................................

Apa kata dunia kalau kurang sekian meter saja aku menyerah untuk sampai ke dekat jonggrang saloka. Lagi pula jika ini adalah perjalanan terakhirku, mungkin aku harusnya mengakhiri dengan indah. Mungkin tak akan ada kesempatan lagi untukku menapaki keganasan pasir ini. Setidaknya kalau aku berpindah planet, akan dapat aku ceritakan bahwa aku pernah menapaki gunung sialan nan indah ini.
Huh!! Aku menarik napas panjang, sisa cokelat aku kantongi lalu melihat jam tangan. Kurang 15 menit lagi. Di atas jam 9 Mahameru sudah terlarang untuk didaki. Racunnya sudah mulai mengintai penginjaknya.
Ku katakana pada Sigit, “Git, aku muncak saja. Kalau kamu ga naik, aku nitip daypackku ya. Kalaupun hanya 1 menit di sana gapapa. Aku Cuma ingin tau puncaknya sebentar saja.”
Berbekal cokelat kecil aku ke atas tanpa memikirkan apapun kecuali menyebut namaNya. Dan hanya berhenti beberapa detik untuk menghela napas.

“Ayo San.. dikit lagi” Teriak Mbeng n miss Ary di sana. Mereka sudah terlihat lagi.
Aku makin girang. NamaNya makin cepat kudendangkan mengiringi betis jelekku yang kusiksa habis hari itu.
Lalu ketika beberapa langkah lagi aku sampai, Mbeng menyambutku. Sungguh tak kuasa aku menahan tangis yang dari tadi aku tahan sambil melangkah.
I can reach you Mahameru!!!
Aku bilang pada Mbeng, “Mas… aku bisa.” Sambil menangis di pelukannya. Mirip adik yang ngadu ke kang mas-nya. Seketika itu langsung bersujud syukur mencium mesra pasir hitamnya. Dan Miss Ary mendekatiku sambil memelukku dan ikutan menangis. Ini sudah ke-4 kalinya ia menapaki Mahameru.
Rasa haru menyelimuti perasaan kami bertiga, apalagi ketika berada di depan tugu Soe Hok Gie. Mis Ary memberiku hadiah. Sekotak susu Ultra. Aku tersenyum. Sayang sekali Sigit tak bisa bergabung karena dia memutuskan tidak ikut. Lalu kami berfoto-foto bersama dengan girangnya.

Tiba-tiba Sigit muncul!!
Ya dia akhirnya ke puncak juga.!!! Tapi sudah tidak kebagian susu Ultra karena sudah aku habiskan. Maap ya Git :p
Jonggrang Saloka menyembur dengan angkuh lewat dentumannya. Kawah yang menjadi swarga lokanya para arwah-arwah suku tengger yang mati apabila keluarganya sudah menjalankan ritual kasada ini, mungkin akan selalu indah untuk dikenang. Beberapa kali kami menunggunya muncul seperti sedang piknik di pinggir pantai.
Puas, kamipun meluncur turun sambil balapan di atas lautan pasirnya.

Kembali ke Kalimati, mulai bermunculan kaki-kaki lain yang sudah bersiap-siap meramaikan pasir semeru nan bengis dan memabukkan.

Beberapa hari sesudahnya, sebuah sms dari seorang teman menanyakan keberadaanku di semeru dengan suhu yang sudah mendekai 2 derajat Celcius.
Hem.. Pantas, tangan kami kaku dan kulit menjadi kobong. Untung ga jadi Anoman Obong.


****************
Mengenang Pertama kali menapaki Mahameru 2-5 Agustus 2007
Mahameru yang makin sulit untuk didaki akhir-akhir ini.
Semoga masih sempat anak cucu kita mencumbui pasirnya lagi..

27 comments:

  1. Romantisnya...
    baca cerita ini aja begitu terasa perjuangannya saat melewati pasir yang selalu merosot jika dipijak...apa lagi melewati, keren !!

    http://kohan2282.multiply.com/video/item/7/Ekspedisi_Semeru

    ReplyDelete
  2. asyik Mba ceritanya, ikut merinding bacanya... :)

    ReplyDelete
  3. Hehehhehe... Sue.. Sue..
    Kodek pecicilan. ngarep Nicholas di gunung... [ ehm..yukkk ]
    Miss you sista...

    ReplyDelete
  4. Oh susan, storimu ngingetin gw akan mahameru. Hikhikhik.... gw naik gunung ini saat lg broken. Untung ada mpo siti yg ngejagain gw..... Tp ntu entah brp tahun silam, udh lupa gw.

    ReplyDelete
  5. iya ta? nyebelin ya? :D sekaligus ngangenin ... Kangen disiksa

    ReplyDelete
  6. makasih mas andi. Tapi bukan merinding takut kan?

    ReplyDelete
  7. lo bisa broken juga amsi? hehehe... salam ke mpo' deh.

    ReplyDelete
  8. sapa tau ncik. Nicholas nyasar di sana :D

    ReplyDelete
  9. bukan takut, ga tau kenapa ya setiap baca catper ttg pendakian aku suka ikut merinding seperti ngerasain apa yg diceritakan di catper tersebut...

    ReplyDelete
  10. cool...
    jangan membaca aja deh. get up, ambil kerilnya dan berangkat... yukk :)
    Dijamin akan lebih merinding.

    ReplyDelete
  11. nice story...
    worth pain & sweat yah...
    huhuhu

    ReplyDelete
  12. makasih om Yo.. :)
    Jarang-jarang Om Yo mampir nih. :D

    ReplyDelete
  13. yup bang Wazee(r).. painfull but worth it.

    ReplyDelete


  14. kok ga ajak2? *________________kaboooor*

    ReplyDelete
  15. "Semoga masih sempat anak cucu kita mencumbui pasirnya lagi.."aminnnnnn

    ReplyDelete
  16. wah baru baca cerita nya....
    bagus san ;))
    jadi kangen mo kesana lagi... :P
    tapi kuat gak yah ???? hehehe.....

    ReplyDelete
  17. kuat deh mbak. ke sana lagi deh. aku tunggu di arcapada. Piye? gelem ra? hahaha

    ReplyDelete
  18. nurul merinding baca ini,, hehehehe.... romantis abis!!

    ReplyDelete
  19. hi.. sory tak share kisah selingkuhanmu sama jendarla mbenk ini..wahaahha...

    ReplyDelete
  20. ada yang tjemburu ga tg. jawab lo yah... :D

    ReplyDelete