Aku sampai di depan pintu Rumah sakit berarsitektur Belanda dengan desain yang sudah kuno namun tetap bersih dan tenang. Jauh berbeda dengan rumah sakit umum milik pemerintah yang biasanya padat akan pengunjung yang berlari ke
“Selamat siang Bu” sapanya. Aku hanya tersenyum padanya. Aku sudah tidak bisa berkata apapun sejak kuputuskan untuk berangkat menuju
“Apa ga bisa bicara ma Dian pertelpon saja Ra?”
“Mas, bukannya aku ga mau bicara per telpon dengannya. Tapi ini yang sakit Dian, bukan siapa-siapa. Mas tau
“ Ya sudah. Terus bagaimana dengan anak-anak? Sudah dibereskan urusan mereka?”
“ Aku sudah pesan ke Keiko untuk menemani mereka sepulang sekolah sampai kamu datang. Jadwal kursus Ei-go Nabila dan Dafa sudah ada di tangannya. Lagipula aku ga akan lama kok. Cuma 3 atau 4 hari aja mas“
“Ya
Ting!!
Lift terbuka di lantai 4, Segera kupercepat langkahku mencari ruang kamar nomer 423.
Apa yang akan dikatakan keluarga Abel tentangnya? Perempuan yang sudah ditunggu kedatangannya oleh Abel sejak ia tak sadarkan diri seminggu yang lalu. Perempuan yang sekarang mengenakan baju merah lengan panjang dan kerah yang keluar diantara rompi warna hitamnya, ber jeans dan berjilbab. Muslimah yang sangat preppy. Begitu kata Abel dahulu. Biarlah. Toh yang memintaku ke sini adalah Angela, istri Abel sendiri.
Ini dia kamar 423.
Di depanku tampak seorang ibu yang sudah beruban duduk sambil memegangi
“Maaf pak. Apakah ini tempat Abel di rawat?” tanyaku pada Bapak yang kebetulan berada di depanku.
Bapak tadi heran melihat
“Iya. Anda siapa? Tanyanya.
“Na…” Belum selesai kusebut namaku, seseorang memotongnya
“
“Iya.”
“Aku Angela. Istri Abel. Ini Bapak dan Ibu Mas Abel”
“
Semua karena telpon di pagi hari ketika aku berada di dalam chikatetsu menuju universitas tempat ku mengajar di tengah
“Halo Assalamualaikum. ” Jawabku.
“Halooo. Ini dengan
“Iya. Maaf ini siapa?”
“Aku Angela.”
“Angela? Siapa ya?”
“Aku istri Abel”
Aku terdiam seketika. Abel? Dia… sudah hampir 10 tahun kami tak bertemu. Sejak aku memutuskan untuk bertunangan dengan mas Rey, kami sudah tidak pernah lagi saling menghubungi dan bertukar cerita. Kudengar 3 tahun setelah aku menikah, ia akhirnya menikahi tunangan yang sudah dipacarinya 9 tahun itu. Setelah itu tak ada lagi kabar tentangnya karena aku diboyong mas Rey mengikuti ke manapun dia bertugas sebagai pegawai KBRI.
“Halo..
“Iya. Tapi maaf, sudah lama sekali saya tidak bertemu dengan Abel.
“Forget it. Abel sekarang dirawat di Rumah Sakit di Malang Ra. Jantungnya sudah lemah sekali. “
Tanganku gemetar. Dadaku sesak. Hampir saja aku terjatuh ketika Angela meneruskan kata-katanya
“Minggu kemaren sudah ketiga kali dia koma. Tapi Puji Tuhan dia masih bisa siuman”
Suara Angela masih saja terdengar bercerita tentang keadaan Abel bahwa ia mengidap jantung sejak 5 tahun lalu dan sejak itu ia sering sakit-sakitan. Bahwa ia terlalu sibuk bekerja hingga tidak sempat berolahraga dan menjaga kesehatannya. Kegiatan wajibnya.
Persetan dengan itu. yang kutahu Abel terkapar di
Getaran itu kurasakan kini. Tubuhku lemas, sepertinya semua tulang dan sendiku menjadi lunak. Getaran kekhawatiran seperti ketika ia mengkhawatirkanku ketika aku tiba-tiba diam tak bergerak selama 25 menit karena fertigo yang menyerangku saat aku hanya berada 300 meter menuju puncak Rinjani.
“
Permintaan terakhir???? Jangan manja kamu Bel. Kamu ga pernah mengajari orang untuk merajuk minta dikasihani.
Dalam Nafasku? Angela tau itu?
“Angela maaf.. darimana kamu tau antara aku dan Abel…”
”Sudahlah. Tak penting bagiku. Yang penting Abel tenang menghadapi masa-masa krisisnya. “ katanya.
Ya aku ingat Dian pernah bercerita bahwa Abel menikah dengan tunangannya yang bernama Angel yang selama mereka berhubungan,
Tak ada yang tau kecuali aku, Abel, bukit-bukit yang sering kami pijak dan juga Tuhanku dan Tuhannya yang kata orang berbeda. Tak ada yang tahu bahwa kami saling mencintai dan atas dasar cinta itu ke manapun Abel pergi berpetualang, ia akan selalu mengajakku. Tak berbeda denganku. Seandainya Abel berhalangan ikut, maka aku pun akan membatalkan rencana perjalanan dengan berbagai alasan. Bagiku saat itu tak ada yang bisa mengerti dan menjagaku di hutan belantara dan tempat yang asing kecuali Abel. Dan tak ada satupun yang tahu. Aku adalah rahasia terbesar hidupnya.
“Akan aku usahakan Angela. Tapi tak bisa secepat yang kamu minta. Aku harus mengurus banyak hal untuk pulang ke
“Kumohon secepatnya
Nggak. Abel selalu menungguku. Meskipun aku datang terlambat. Dia selalu menungguku. Dan selambat apapun aku berjalan menaiki bukit-bukit terjal dia selalu ada di belakangku menungguku melangkah dan mengambil napas.
“Iya Angela. Terima kasih. Aku pasti ke
Aku pasti ke
“Bel, seandainya salah satu di antara kita sekarat duluan gimana?”
“Ya… salah satu diantara kita harus datang melihat bagaimana tampang kita yang sekarang. Ya at least kita bisa cerita seperti apa malaikat kita masing-masing
“Maksud kamu?”
“Ya… Tuhan kita saja beda, apalagi malaikatnya. Ya
Aku hanya tersenyum.
“Aku akan datang dan kamu juga akan datang
Katanya di senja sore.
“Dan kalau aku jauh?”
”aku akan menunggu sampai kau datang”
“Kalau akhirnya aku tidak datang?”
”I’ll wait for you for the rest of my life and death”
Angela menjelaskan panjang lebar tentang Abel sambil menunggu Dokter memeriksa keadaan Abel yang kabarnya baru siuman setelah 3 hari ini dia tidak menunjukkan tanda-tanda membaik.
“Mungkin dia tau, kamu datang ya Ra jadi dia cepat-cepat bangun”
Aku tersenyum getir.
“Ra, lihat Abel sudah membuka mata. Mama… Abel sudah membuka matanya.” Angela kegirangan memberi tahu ibu mertuanya dan disambut dengan muka kagum perempuan yang dari tadi tak henti-hentinya berkomat-kamit memegangi
Dan mataku tertuju pada Abel yang berusaha berbicara pada dokter. Tak lama kemudian kulihat dokter membuka tabung napas di mulutnya.
Kulihat ia menoleh ke arah kami yang hanya dibatasi oleh jendela kaca. Mata itu menatapku. Bibirnya berusaha tersenyum. Tak berapa lama ia memberi isyarat kepada perawat di sampingnya meminta supaya ia dapat berbicara pada Angela.
“Jadi kamu
“Iya. Saya Nara. Narandita”
“Saya pernah mendengar nama itu dulu. Dia pernah cerita kalau dia memiliki teman naik gunung yang sehati, Abel bilang dia paling cocok sama dia. Katanya dia mirip orang Jepang, matanya sipit berlesung pipit. Kecil dan berjilbab tapi tetap gesit. Suka sekali dengan brownis kukus yang dibawanya tiap kali dia pergi naik gunung. Dan itu ternyata kamu ya. “
“Iya. Itu saya Bu”
Tak pernah kusangka kalau Abel akan bercerita tentang aku pada Ibunya. Brownisnya memang pasti hanya untukku. Ia akan menyisahkannya beberapa potong untukku seandainya banyak teman-teman yang mengeroyoknya.
“Brownis itu Ibu yang membuat. Abel cerita
“Iya bu. Abel juga cerita.”
Abel selalu menceritakan semua. Hampir saja air mata ini mengalir mengenang semuanya.
Abel yang baik hati dan terkenal penolong pada teman-temannya. Kami tak pernah menyinggung iman kami yang berbeda.
Tiap kali berjalan jauh dia hanya akan mengingatkanku, “Hun, udah jam berapa nih? Kamu belum sembahyang yang kedua ya? Ntar telat lo.” Aku tersenyum. Dia menyebut dhuhur sebagai sembahyang kedua. Ashar sebagai sembahyang ke tiga dan seterusnya.
Dan aku hanya akan meledeknya seadainya ia malas bangun pagi di hari Minggu.
“Hun, kamu tuh ya sudah sekali seminggu bertemu Tuhan, masih aja malas. Kurang enak apalagi sih?”
“Sore ga papa kok Hun”
“Bukannya kalo pagi lebih banyak pahalanya?
“Bukan” Katanya cuek di telpon.
Seperti itulah kami, hingga akhirnya kami sadar, kami takkan bisa bersatu dalam perbedaan ini. Dia memilih hidup dengan tunangannya meskipun ia tak punya cinta sebesar cintanya padaku. Ia tak mau mengecewakan banyak orang meskipun ia harus berkorban.
“Aku milih mengorbankan semua rasa itu hun. Aku tau kamu sakit dengan keputusan ini. Aku juga tau, aku tidak mencintainya tapi akan lebih sakit jika aku harus mengorbankan banyak hal dan mengecewakan banyak pihak. Kamu pasti bisa bahagia tanpaku.”
“Bahagiaku hanya bersamamu Bel” aku masih mendesaknya untuk mempertahankan hubungan ini meskipun aku tau sulit dan tidak mungkin.
“Bahagiamu bukan tergantung padaku. Tapi pada ini” Tangannya menempel pada dadaku. Aku menangis di pelukannya.
“
“I love you hun..” Aku makin membasahi bajunya.
“So do I. I just love the way you are. Never change anything in you. I just love you. That’s all I know.”
“Kamu ga akan bisa bahagia tanpaku Bel. Seperti aku yang ga mungkin bisa bernapas tanpamu!! Bel, kenapa kamu tidak bisa mempertahankan cintamu? Aku takkan bahagia tanpamu”
Abel terdiam. Dia tidak menjawab melainkan hanya memelukku yang masih menangis.
Nafasnya masih terasa di diantara kerudungku. Dan itu adalah pelukan Abel yang terakhir untukku.
Sentuhan Angela di pundakku mengagetkan aku. Ia memintaku untuk masuk.
“Abel ingin bertemu kamu Ra.”
aku menoleh pada ibu abel di sampingku. Masih dalam komat-kamit beriringan dengan
“Terima kasih” kataku pada Angela.
Jika rasa untuknya sudah tak ada mengapa aku masih merasakan ini? Getaran sakit itu. Aku merasa sakitmu Bel.
Ruangan itu berwarna hijau, kelambunya hijau seperti baju abel yang hijau dan bemotif l bulat putih. Aku memperhatikannya.
“
“Abel”
“Pa kabar?” katanya. Hausnya aku yang bertanya padanya.
“Baik”
“Kamu? Ngapain sih pake dikasih selang-selang seperti ini? Mulai manja ya?”
Abel hanya tersenyum namun tak sedetikpun matanya berkedip menatapku.
Mungkin dia pun melihat air mata yang hampir jatuh ini.
“Kenapa ga kirim kabar ke aku kalo kamu sedang sakit Bel?”
“Aku tak mau merepotkanmu Ra”
“Do you think I will be more fun to see u this way?”
“Therefore I didn’t want you to know.”
“Tak bisa memilikimu sudah cukup membuatku menangis Bel.”
“Kamu masih ingat percakapan kita 10 tahun yang lalu? “God will choose you the best.” Yes, He did. You got the best, you can build your dreams while you have him on your side.”
Hening
“Sudah berapa anakmu Ra?”
“Dua.”
“Bagus. Kamu bahagia
“Iya. Cukup bahagia”
“Aku juga, meskipun Angela tidak bisa memberiku keturunan. Aku tetap pada komitmen awalku. Aku hanya akan setia padanya sampai aku mati. Tuhan sudah memilihnya untukku”
“Apa tujuanmu ingin bertemu denganku Bel? Untuk menunjukkan bahwa kamu bahagia? Untuk mengetahui bahwa aku tetap mencintaimu?
Untuk apa?”
“Tidak.”
“Aku hanya ingin melihat senyummu sebelum kuterlelap.”
“Aku merasa bersalah telah meninggalkanmu. Tapi tak pernah menyesal utuk itu. Karena kamu sudah menemukan bahagiamu.”
Abel menitikkan air mata.
“
“We’ll see again someday. Meskipun kata mereka Tuhan kita beda sepertinya Surga kita berdekatan, kita pasti bertemu
“Iya. Pasti bertemu”
Aku tersenyum.
“Iya nanti kita pasti ketemuan lagi di surga. Kita ketemuan di café madu sebelah pos polisi yang di atas halte itu ya.” ujarku.
Abel ikut tersenyum.
“Iya. Tapi mungkin pos polisi sama café-nya sudah dibongkar. Jadi biar aku yang akan menjemputmu”
Kami tertawa dalam deras air mata kami masing-masing.
“Ra, maafkan aku. Aku belum sempat mengucap ini padamu saat terakhir kita bertemu.”
“Aku tak pernah merasa tersakiti olehmu Bel. Dan tak pernah menyesal bertemu denganmu dan mencintaimu.“
"So, you do believe that you are my truly love?"
"Ya.”
Abel diam dan memejamkan matanya sambil tersenyum. Wajahnya terlihat makin tenang. Setenang yang kukenal dulu. Dalam keheningannya. Genggamannya mengendur. Kulepaskan tanganku perlahan-lahan. Kusapukan tanganku pada pipinya dan kukecup keningnya untuk yang terakhir.
“Tidurlah hun.”
“Terima kasih kamu sudah mau datang Ra. Terima kasih sekali, aku harus membalas dengan apa?”
“Maafkan aku Angela” Aku memeluk Angela.
Beberapa saat kemudian, kudengar hanponku berdering.
“Iya mas. Dian sudah baikan. Tapi belum boleh bicara. Aku sudah on the way ke airport. Mas gimana? Baik-baik aja
No comments:
Post a Comment