Hampir setahun aku mengenalmu
Hampir setahun kamu mengisi semua menit dan detik hidupku
Masa singkat dan membekas di hatiku
Hanya sementara dan sangat sempit waktu yang kupakai untuk mengarungi masa-masa bahagia sekaligus biadab bersama lelaki sepertimu.
Semua menyatu dalam tangis dan tawa semu. Fakta bahwa sampai sekarang aku menangisi dan menyesali bertemu dan bernista denganmu. Fakta yang harus kutelan sendiri. Sedang kau? Tertawa mencari perempuan-perempuan lain untuk kau pilih.
Masih ingat jelas di memori kepalaku betapa meyakinkannya kamu membuka sebuah pintu saat aku hancur, di dalamnya kau janjikan buah bernama bahagia.
Kamu, aku masuk menuju pintumu dengan tarian happy feet dan muka berseri. Harapku ada padamu. Hanya padamu.
Aku terseok-seok masuk menuju pintumu. Kau menungguku di situ. Dengan tangan terbuka dan lengan yang siap merengkuhku.
Tapi….
Sayang sebelum aku sampai dan menggapai gagangnya, kamu bilang padaku untuk berhenti mendadak seperti sebuah mobil yang harus mengerem mendadak. Kamu memintaku berhenti dan mundur.
“San, henti aja, kek-nya gw ga bisa masukin lw ke dalam secara gw ada tamu lain di dalam yang gw harapin. Ntar aja kalo tamunya udah pulang lw baru masuk. Nanti aje ye…”
Aku berhenti
Kamu meninggalkanku
Aku bingung mau kembali tapi sudah terlanjur aku berjalan. Sudah setengah jalan aku menuju pintu itu. Untuk kembali aku sudah ga yakin.
Aku marah karena tak diijinkan masuk.
Aku marah karena harus menunggu
Tapi aku ga beranjak, aku masih menunggunya. Di situ pasti ada bahagia yang dia janjikan.
Tak tampak lagi tamu di dalam rumahmu yang ada di
Aku? Tetap di situ menunggumu di bawah terik matahari yang menyengatkan panas, badai yang mengguyurkan hujan dan angin. Aku menunggumu keluar dan menjemputku lagi untuk benar-benar masuk ke dalamnya. sampai sekarang aku menunggu. Namun aku tak tau saat pintu itu terbuka kelak, apakah aku masih di situ, setia menunggu atau aku tetap di situ tapi akhirnya pergi karena aku akhirnya merasa bahwa aku sudah jenuh menanti????.
Saat ini, andai saja dunia tak ada kata malu dan sopan santun, mungkin pintu itu sudah kudobrak, kumasuk dan memaki-maki kamu sebagai pemiliknya. Aku akan tagih semua janji-janji yang pernah terucap untukku. Namun apalah aku? Aku hanya manusia biasa yang memang sudah kehilangan kemaluannta. Ga punya hak untuk memaksamu membuka pintumu lagi. Aku hanya bisa kecewa dan memendam luka.